Materi Inpres Alih Tugas Puteh Hanya Akal-akalan [23/07/04]

Substansi Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2004 dikritik oleh ahli hukum tata negara, Satya Arinanto, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, Hendardi. Keduanya menilai inpres itu akal-akalan. Namun, anggota DPR dari PDI-P, Trimedya Panjaitan, membantah bahwa inpres tersebut hanya akal-akalan dari Presiden Megawati Soekarnoputri.

Instruksi Presiden (Inpres) No 2/2004 tentang Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Proses Hukum oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penyelenggaraan Pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu dipuji Abdullah Puteh sebagai kebijakan yang cerdas.

Satya dan Hendardi menyayangkan ketidaktegasan sikap Presiden Megawati dalam melihat kasus dugaan korupsi yang dilakukan Gubernur NAD Abdullah Puteh.

Satya mengatakan bahwa inpres tersebut sama sekali tidak menjawab surat perintah yang dilayangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tanpa adanya inpres ini, proses pemeriksaan yang dilakukan KPK sudah berjalan. Materi inpres ini akal-akalan, katanya.

Ia menjelaskan, inpres tersebut hanya memuat subyek hukum yang menyangkut wakil gubernur dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) yang akan mengambil alih tugas Abdullah Puteh. Namun, subyek hukum (Puteh) sendiri dalam inpres itu sama sekali tidak disinggung. Inpres tersebut dibungkus sedemikian rupa sehingga status Puteh menjadi samar-samar.

Menurut Satya, interpretasi Puteh maupun kuasa hukumnya, yang mengatakan dirinya tetap bisa menjabat sebagai gubernur saat pemeriksaan selesai, bisa dibenarkan. Sebab, inpres itu membuka peluang interpretasi macam-macam. Kalau interpretasi proses pemeriksaan, menurut saya, sejak menjadi tersangka sampai proses pemeriksaan selesai. Namun, pengertian itu direduksi dengan keluarnya inpres. Akibatnya, masyarakat jadi bertanya, kepentingan politik apa yang ada di balik inpres tersebut. Apa pula maksudnya menahan-nahan Puteh dengan tidak dikeluarkannya perintah penon-aktifan? kata Satya.

Ia mengkritik argumen pemerintah yang menolak pemberhentian sementara dengan menggunakan dasar Undang- Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Kekhawatiran pemerintah soal upaya Puteh dan kuasa hukumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga tidak logis.

PTUN itu untuk sebuah putusan yang bersifat konkret, final, dan individual. Kalau diberhentikan sementara, itu belum tergolong final. Finalnya kalau dipecat. Lagi pula presiden tidak usah khawatir di-PTUN kalau benar, kecuali kalau alasannya lain, kata Satya menjelaskan.

UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP No 108/2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, lanjut Satya, memang selalu menjadi pintu dalam pemberhentian kepala daerah. Di dalam kedua peraturan itu disebutkan ada tiga hal yang bisa memberhentikan kepala daerah, yakni pada akhir masa jabatan, akhir tahun anggaran, dan keadaan tertentu, seperti adanya desakan masyarakat.

Ketiga hal itu dapat dilakukan kalau dalam keadaan normal. Kalau untuk kasus korupsi, apalagi politik hukum kita telah mengarahkan korupsi sebagai extraordinary crime, maka jika digunakan UU No 22/1999 untuk menjawab kasus Puteh, hal itu menjadi tidak logis. Seharusnya pemerintah menggunakan pijakan UU No 30/2002, ujarnya.

Apalagi jika dilihat UU No 30/2002 sudah sangat kuat menganut dua asas hukum, yakni lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum) dan lex posterior derogat lex priori (hukum yang kemudian mengesampingkan hukum sebelumnya).

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Hendardi menyebut inpres yang dikeluarkan Presiden Megawati sebagai inpres malu-malu. Dalam konteks momentum politik dengan intensitas high politics seperti ini, sangat mungkin perilaku akal-akalan itu muncul. Inpres tak berani mengatakan non-aktif sehingga interpretasi orang bisa politis. Hanya pantas-pantasan saja agar credit point-nya menjelang pemilihan presiden ini tidak turun, katanya.

Inpres tersebut, lanjut Hendardi, justru dapat menjadi bumerang bagi Megawati yang akan maju dalam pemilihan umum presiden putaran kedua.

Jangan tafsir sempit

Trimedya Panjaitan mempunyai pandangan berbeda. Saya kira instruksi presiden kepada Puteh untuk menaati permintaan KPK sebagai wujud komitmen presiden memberantas korupsi, katanya.

Ia mengatakan, substansi dari inpres jangan ditafsirkan sempit. Artinya, bukan kalau tidak diperiksa, Puteh kemudian tetap sebagai gubernur. Kita harus melihat substansi inpres itu adalah sampai berakhirnya proses peradilan, ujarnya.

Ketika ditanya bagaimana kalau pihak Puteh maupun kuasa hukumnya menafsirkan lain, Panjaitan mengatakan, Ya presiden atau KPK harus menjelaskan apa maksud dari substansi inpres itu.

Instruksi Mendagri

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Siti Nurbaya, seusai pertemuan di KPK, mengatakan bahwa Depdagri saat ini sedang menjabarkan inpres itu secara lebih teknis dalam bentuk instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Hal ini untuk menghindari adanya multipersepsi atas kekuasaan di NAD. Kami di Depdagri sudah memperhitungkan dampak politiknya. Kemarin sore saya sudah diminta Mendagri dan sore ini akan dibahas lagi. Akan diatur secara teknis, mana kewenangan gubernur dan mana kewenangan wakil gubernur, kata Siti.

Mendagri Hari Sabarno mengatakan, Inpres No 2/2004 memungkinkan Puteh tetap menjabat dan menjalankan tugas sebagai kepala daerah meski berstatus tersangka kasus korupsi. Apa ada hak yang melarang? Kalau tak ada, ya sudah, katanya, ketika ditanya apakah sekembalinya ke Aceh Puteh bisa menjalankan tugasnya kembali sebagai kepala daerah.

Sebelumnya, kuasa hukum Puteh menginterpretasikan, selama jeda waktu dari pemeriksaan terakhir tanggal 21 Juli hingga 2 Agustus mendatang, logika hukumnya adalah karena pemeriksaan selesai dilaksanakan, maka Puteh dapat kembali menjalankan tugasnya selaku Gubernur NAD. Terserah interpretasi mereka. Anda tidak usah mencari-cari persoalan. Ikuti saja secara alamiah, kata Hari kepada wartawan.

Sebagai Menko Polkam ad interim, Hari mengatakan belum menunjuk siapa yang akan mewakili dirinya sebagai pengganti Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). Ia menambahkan, keputusan mengenai siapa yang akan mewakilinya di NAD masih menunggu saran staf Menko Polkam dan juga tim asistensi darurat sipil.

Siang kemarin Puteh bertemu dengan Sekjen Depdagri Siti Nurbaya. Ketika ditanya tentang isi pertemuan yang berlangsung selama dua jam, sejak pukul 13.30 hingga 15.30, itu Puteh hanya mengatakan pihaknya membicarakan tugas wakil gubernur yang menggantikan dirinya sebagai kepala daerah. (vin/sie/bdm)

Sumber: Kompas, 23 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan