Masyarakat Ingin Tahu Asal Kekayaan Capres dan Cawapres [13/06/04]

Meski calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) sudah menyerahkan daftar kekayaan, namun bukan berarti persoalan selesai. Pasalnya, sebagian besar menyerahkan data 2001. Selain itu, mereka juga tidak menjelaskan dari mana asal-usul uang miliaran rupiah tersebut.

Pengamat ekonomi Pradjoto, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Emmy Hafild, dan Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki menganggap penting penjelasan asal-usul kekayaan para kandidat capres dan cawapres.

Pradjoto menegaskan, masyarakat perlu mengetahui dari mana asal-usul kekayaan capres dan cawapres yang sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang muncul di tengah publik. Jangan cuma diumumkan jumlah kekayaan, kemudian persoalan dianggap selesai. Mereka juga harus menjelaskan dari mana asal-usul hartanya. Kalau sekarang ini sama saja dengan memberi tahu, ini lo saya punya uang banyak, tapi tidak dijelaskan dari mana. Kalau ini dibiarkan, bisa menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan nasional kita, katanya.

Karena itu, lanjutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus lebih mengoptimalkan kinerja, termasuk mengusahakan pengadopsian pembuktian terbalik. Kalau mereka berhasil menyelesaikan masalah ini, maka akan berkembang menjadi panutan budaya politik Indonesia, tegasnya.

Pernyataan senada juga diungkapkan Emmy yang juga mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup. Dia memandang perlunya peran KPK dalam menindaklanjuti laporan kekayaan capres dan cawapres.

KPU harus melibatkan lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Jangan sampai kejadian sebelumnya terjadi lagi. Misalnya, sebelum masa kampanye legislatif, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak menyerahkan saldo awal, tapi tidak ada sanksi dari KPU, tuturnya.

Setoran pajak

Berkaitan dengan upaya mengetahui asal-usul kekayaan capres dan cawapres, Pradjoto menyarankan agar KPK membandingkan besarnya pajak yang dibayarkan dengan nilai kekayaan yang dilaporkan. Tapi cara ini menurut dia bisa menghadapi kendala bila para capres dan cawapres tidak memberikan laporan kekayaan secara transparan.

Hal yang sama juga dikemukakan Wakil Ketua Dewan Pengawas Standar Akuntansi Keuangan dan Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Hadori Yunus. Ditemui terpisah dia mengatakan bahwa sebenarnya tidak terlalu sulit memeriksa kekayaan para kandidat capres dan cawapres.

KPK, menurut dia, bisa menelusuri pajak penghasilan yang dibayarkan. Melalui pembayaran pajak tersebut, dapat diketahui rincian daftar kekayaan capres dan cawapres. Yang jadi masalah menurut dia adalah, apakah para kandidat taat pajak dan setiap tahunnya mau mengisi Surat Pajak Terutang (SPT). Bila tidak, maka cara yang diusulkan memang tidak efektif.

Jadi harus dicari cara lain. Di antaranya bisa dengan jalan pengecekan kekayaan fisik dan juga memeriksa rekening bank yang dimiliki para kandidat. Cara terakhir bisa dilakukan dengan meminta persetujuan Bank Indonesia (BI). Karena ini menyangkut kepentingan negara, maka BI pasti akan memberi izin, kata staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.

Bila sudah ditetapkan cara-cara penelusuran kekayaan capres dan cawapres, lanjutnya, maka yang menjadi masalah berikutnya adalah, apakah yang melakukan pemeriksaan kredibel dan profesional. Kalau mereka kredibel dan profesional, maka kita yakin akan objektivitas hasilnya. Anggota KPK sekarang saya rasa cukup kredibel. Apalagi banyak yang berlatar belakang akuntan, ujarnya.

Ditemui terpisah, Emmy juga melihat kemungkinan penelusuran kekayaan para kandidat lewat pajak yang dibayarkan. Masalahnya, Ditjen Pajak tidak bisa bertindak proaktif. Pasalnya, ruang geraknya dibatasi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur kerahasiaan wajib pajak sehubungan dengan jabatannya. Jabaran kerahasiaan itu tercantum dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6/1983 yang berbunyi, 'setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak'.

Meski demikian, lanjutnya, KPK tetap bisa bekerja sama dengan Departemen Keuangan, dalam hal ini Ditjen Pajak. Meski ruang gerak mereka dibatasi oleh UU, tapi lembaga tersebut bisa melakukan penelitian atas laporan kekayaan capres-cawapres kalau ada hal yang mencurigakan. Jadi, tidak perlu menunggu permintaan KPK baru bergerak, tandasnya.

Ceroboh

Sementara itu, ditemui terpisah Teten juga menyinggung perlunya transparansi asal-usul kekayaan capres dan cawapres. Namun dia juga menyoroti kecerobohan KPU. Kecerobohan itu berkaitan dengan tidak disyaratkannya penyerahan pelaporan daftar kekayaan terakhir dalam UU Pemilihan Presiden (Pilpres).

Semestinya KPU memasukkan syarat itu di dalam UU Pilpres seperti syarat kesehatan jasmani dan rohani atau ijazah. Sehingga kalau tidak dipenuhi bisa digagalkan pencalonannya.

Teten manilai, UU Pilpres yang hanya mewajibkan para capres dan cawapres menyerahkan daftar kekayaan saja, terlalu sederhana. Repotnya, syarat ini sudah terlanjur ditetapkan oleh KPU. Ini merupakan kecerobohan KPU, tandasnya.

Sebagai jalan keluar, Teten menyarankan KPU menunjuk KPK untuk memeriksa kekayaan para calon yang bukan pejabat, seperti Wiranto, Salahuddin Wahid, dan Hasyim Muzadi. Kemudian, KPU bisa meminta para calon yang saat ini menjadi pejabat atau mantan pejabat untuk memperbarui laporan kekayaan mereka.

Sehubungan dengan adanya penyerahan daftar kekayaan 2001 (bukan yang terbaru), Teten menandaskan bahwa hal itu bisa dikategorikan sebagai laporan palsu.

Tindakan mereka bisa dikategorikan sebagai tindak pidana dan bisa dikenai sanksi penjara tiga sampai 18 bulan atau denda Rp6 juta, tandasnya.

Akan diaudit

Menjawab tuntutan pengecekan asal-usul kekayaan capres dan cawapres, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, pihaknya sudah meminta bantuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan konsultan pelacak aset untuk mengaudit kekayaan para capres-cawapres. Yang bisa dilakukan segera adalah melakukan verifikasi dokumen sambil mengkaji dari mana asal kekayaan tersebut. Diharapkan verifikasi dokumen sudah selesai sebelum 5 Juli 2004.

Sementara untuk pengecekan fisik dan melacak asal-muasal kekayaan memerlukan waktu panjang. Meski demikian, diharapkan akhir Juni KPK sudah bisa mengungkap dari mana asal-muasal kekayaan para kandidat capres dan cawapres, termasuk menelusuri kekayaan yang berasal dari hibah serta warisan.

Khusus untuk hibah, dalam pemeriksaan menurut Erry harus dijelaskan secara detail. Misalnya, hibah tersebut dari siapa, ada hubungan apa, ada benturan kepentingan atau tidak.

Harus juga dijelaskan, warisan dari siapa. Kalau dari orang tuanya, maka itu sah. Tetapi untuk mengecek itu semua tentu memerlukan waktu, katanya.

Dia menambahkan, salah satu tugas KPK memang mengungkapkan asal kekayaan para capres dan cawapres. Namun, pihaknya menurut Erry tidak berhak menilai layak tidak atau cacat tidaknya kandidat capres dan cawapres.

Saat ini, tambah Erry, pihaknya sudah menerima laporan dari sepuluh kandidat capres dan cawapres. Lima orang di antaranya menyerahkan data kekayaannya terbaru, yakni pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Wiranto-Salahuddin Wahid, dan Hasyim Muzadi.

Sedangkan lima lainnya, yakni Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Siswono Yudo Husodo, Hamzah Haz, dan Agum Gumelar masih menggunakan data yang dilaporkan pada 2001.

Berkaitan dengan hal itu, KPK akan menyurati kelima kandidat yang melaporkan kekayaannya berdasarkan data 2001 untuk segera memberikan data terbarunya. Syukur-syukur sebelum disurati sudah ada kerelaan para calon tersebut untuk memperbarui data. Bila peluang ini ditanggapi segera, ini juga merupakan kampanye positif buat mereka, tandas Erry.

Lebih jauh Erry menjelaskan, dalam aturan ditegaskan bahwa pemeriksaan kekayaan pejabat negara dilakukan saat awal menjabat dan akhir jabatan. Megawati sampai saat ini masih menjabat presiden, Amien Rais Ketua MPR, Agum Gumelar Menteri Perhubungan, Siswono anggota MPR, dan Hamzah Haz wakil presiden. Oleh karena itu, secara hukum tidak ada keharusan bagi mereka untuk memperbarui data kekayaannya.

Akan tetapi, tambahnya, alangkah baiknya seandainya ada kesukarelaan dari masing-masing capres dan cawapres untuk memperbarui data kekayaan. Dengan demikian semua data kekayaan kandidat menjadi setara. (Sdk/Rdn/Lng)

Sumber: Media Indonesia, 13 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan