Masih Juara Korupsi Juga

Tanpa tindakan-tindakan yang mendobrak, suatu kali Indonesia bisa menjadi entri dalam ensiklopedia yang memaparkan betapa sebuah negara kaya sumber alam pada akhirnya jadi compang-camping karena terus-menerus digerogoti korupsi. Hal ini bisa terasa kian dekat karena sejauh ini kita tak pernah menyaksikan tindakan yang kita dambakan bersama itu. Kita malah, untuk kesekian kali, mendapat kehormatan untuk menyandang gelar sebagai negara paling korup di Asia.

Gelar mutakhir itu datang dari Political and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC). Berdasarkan surveinya terhadap lebih dari seribu eksekutif perusahaan asing di seluruh Asia, lembaga konsultan risiko dari Hong Kong ini melaporkan temuannya akhir pekan lalu. Laporan yang dikutip kantor berita AFP ini menyebutkan, angka persepsi responden mengenai korupsi di Indonesia memang membaik, dari 9,33 menjadi 9,25. Tapi dibandingkan dengan skor negara-negara lain, Indonesia belum beranjak dari posisinya pada survei sebelumnya (2003).

Persepsi memang tak serta-merta mencerminkan kenyataan, yang sesungguhnya bisa saja lebih baik--bisa pula justru lebih buruk. Jika kita bukan warga negeri ini, pasti sulit membayangkan tingkat korupsi yang dipersepsikan buruk itu. Tapi karena sehari-hari kita berhadapan dan bergelut dengan kenyataannya, seharusnya lebih mudahlah buat kita untuk menerima penilaian itu.

Pahit? Pasti. Masalahnya perasaan ini selalu datang berulang dan di masa lalu kita tak pernah menjadi terdorong untuk mendesak pemerintah dengan keras agar tak mengobral omong kosong tentang pemberantasan korupsi. Dalam pemilu tahun lalu pemerintah baru dipilih karena menjanjikan kesungguhan dalam perang melawan korupsi. Ketika tak ada tanda-tanda yang meyakinkan mengenai upaya mewujudkan janji itu sebagian besar dari kita masih bisa menerima dan berusaha memahami.

Harus diakui, selama pemerintah baru ada upaya untuk memproses kasus-kasus korupsi dan membawanya ke pengadilan, terutama yang melibatkan figur-figur kuat. Bisa disebut contoh kasus korupsi dalam pembelian helikopter di Aceh yang menjadikan Abdullah Puteh, Gubernur Aceh nonaktif, sebagai terdakwa. Tapi harus ditunjukkan dengan gamblang pula bahwa kasus ini bukanlah apa-apa dibanding gunung raksasa kasus-kasus korupsi yang ada dan belum diapa-apakan.

Tekad saja--kalaupun benar ada--tak cukup untuk melancarkan perang besar melawan korupsi. Kemauan di tingkat atas bisa macet karena mesin birokrasi dan instansi penegak hukum tetap bekerja dengan cara dan personel yang itu-itu juga. Dengan instansi baru sekalipun, kalau tak ada tanda-tanda kesungguhan untuk memberinya wewenang, misalnya terus menahan gaji hakim tindak pidana korupsi, angin juga yang bakal ditangkap.

Membiarkan semua itu berlangsung, sama saja rela Indonesia menjadi entri yang mendefinisikan daya rusak korupsi--sebuah prestasi buruk yang bakal dibaca oleh jutaan orang.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 9 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan