Masih Ditemukan Celah di Kasus Penyuapan di KPK

Sejumlah celah masih ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (29/9) di Jakarta. Jadi, sejumlah penggiat gerakan antikorupsi berencana melakukan uji materi terhadap peraturan itu segera setelah resmi diundangkan.

”Aturan ini menciptakan dualisme. Misalnya, Pasal 26 RUU yang menyatakan, komposisi dan jumlah hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ditentukan ketua pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketentuan ini dapat memunculkan ketidakpastian hukum,” ungkap praktisi hukum Bambang Widjojanto, Selasa (29/9) di Jakarta.

Komposisi dan jumlah hakim, kata Bambang, seharusnya tidak diubah, yaitu lima hakim dengan hakim ad hoc tiga orang. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Desember 2006 tak mengamanatkan perubahan komposisi itu. ”Kami mengajukan uji materi segera setelah RUU ini diundangkan,” tegasnya.

Sidang Paripurna DPR, Selasa, setuju mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor sebagai UU. Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan Tipikor Dewi Asmara melaporkan, RUU dibuat sebagai tindak lanjut putusan MK yang memutuskan, dalam tiga tahun perlu dibuat dasar hukum bagi keberadaan Pengadilan Tipikor.

Dalam pembahasan, kata Dewi, sejumlah materi krusial diputuskan dikembalikan ke posisi awal. Misalnya, tentang pengertian penuntut umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tetap diberi hak untuk menuntut.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Andi Mattalatta menambahkan, dengan dipertahankannya hak penuntutan, tidak ada anggapan ada usaha melemahkan KPK atau memperkuat institusi penegak hukum tertentu.

Wakil Ketua KPK M Jasin menyambut baik dipertahankannya kewenangan penuntutan itu. Jika kewenangan ini dihilangkan dari KPK, kinerja komisi itu terpengaruh. Bolak-balik pemberkasan penuntutan dari KPK ke kejaksaan amat mungkin terjadi.

Namun, Bambang curiga, sejumlah wacana kontroversial, seperti penghilangan hak KPK untuk menuntut, sengaja dimunculkan untuk menutup materi lain yang lebih penting, seperti jumlah dan komposisi hakim serta kedudukan pengadilan yang dalam waktu dua tahun harus ada di semua ibu kota provinsi.

Secara terpisah, peneliti hukum dan konstitusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Wahyudi Djafar, juga menjelaskan, pihaknya siap membawa RUU Pengadilan Tipikor setelah diundangkan ke MK untuk diuji materi. KRHN menengarai, dua pasal berpotensi menimbulkan masalah ke depan, yakni tentang komposisi hakim dan tempat Pengadilan Tipikor.

Menurut Wahyudi, jika komposisi hakim Pengadilan Tipikor tidak diatur jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dualisme putusan kasus korupsi dikhawatirkan juga akan terjadi.

Di Semarang, Jawa Tengah, Selasa, Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan, MA menyiapkan sekitar 750 hakim karier untuk ditugaskan di Pengadilan Tipikor. ”Kami belum tahu apa saja yang harus kami lakukan, tetapi penyiapan hakim adalah yang utama,” katanya. Hakim yang terpilih akan segera mendapat pembekalan.

Jaksa Agung Hendarman Supandji di Jakarta, Senin, secara terpisah menuturkan, tidak ada masalah bagi institusinya jika KPK diberikan kewenangan penuntutan.

Sejauh ini, kata Hendarman, persoalan baru terjadi bila Pengadilan Tipikor hanya ada di setiap provinsi. Anggaran untuk menggelar sidang akan membengkak.(nwo/ana/idr/den)

Sumber: Kompas, 30 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan