Masih Banyak Celah dalam RUU PPH

Bila tidak dikawal serius, Rancangan Undang-undang Pemberantasan Pengrusakan Hutan (RUU PPH) yang kini dibahas Komisi Kehutanan DPR RI dinilai berpotensi memperlemah gerakan antikorupsi di sektor kehutanan. Rumusan delik pasal-pasal yang termuat dalam rancangan aturan tersebut memiliki banyak celah hukum.

"Harus diamati lagi secara lebih baik, struktur undang-undangnya bagaimana, kebijakan perundangannya akan diarahkan kemana. Jangan sampai lembaga ini menutup esensi kejahatan kehutanan yang terorganisir," tutur Grahat Nagara, peneliti Silvagama, saat ditemui usai media briefing tentang polemik RUU PPH yang diselenggarakan ICW di Jakarta, Kamis (29/9/2011).

Berikut petikan wawancara redaksi www.antikorupsi.org dengan Grahat Nagara:

Banyak potensi kriminalisasi masyarakat adat, perlukah merevisi rumusan RUU PPH?

Sejak awal, tujuan filosiofis dari RUU PPH salah satunya untuk memberantas kejahatan kehutanan yang bersifat luar biasa dan terorganisir. Rancangan aturan itu melihat kejahatan kehutanan sebagai sesuatu kejahatan yang berjejaring besar dan melibatkan banyak pihak. Namun kita kecewa ketika melihat rumusan deliknya ternyata tidak diarahkan kesana, justru banyak mengarah kepada masayarakat lokal yang memang hidup di kawasan hutan.

Kelemahan ini dikarenakan rumusan deliknya lemah. RUU ini hanya menyadur UU 41 tanun 1999 tentang Kehutanan yang jelas secara substansif rumusan deliknya memang lemah.

Apa yg harus diperbaiki?

Memperbaiki rumusan deliknya agar dapat dengan tepat membidik para aktor kejahatan kehutanan yang luar biasa besar dan terorganisir. Rumusan mengenai "kawasan hutan", misalnya, seharusnya dijelaskan secara lebih rinci, dimana, kawasan hutan apa yang dimaksud. Ada banyak kategori kawasan hutan. Dari segi kepemilikan, ada hutan adat, hutan negara dan hutan hak. Perlu dibedakan juga berdasarkan fungsi hutan, fungsi konserfasi, fungsi produksi, fungsi lindung. Akan sangat berbeda dampaknya ketika penjelasan secara definitif ini turut dirumuskan dalam RUU. Jika tidak, akan ada potensi kriminalisasi terhadap aktor yang tidak berkaitan dengan kejahatan yang terorganisir.

Sayangnya, Komisi Kehutanan DPR justru membahasnya secara tertutup, tidak transparan sehingga meminimalkan peran masyarakat sipil...

Ini juga jadi permasalahan. Sebelumnya kita sudah pernah masuk ke dalam pembahasan, memberikan serta membuat daftar inventarisasi masalah. Tapi karena prosesnya tidak akuntabel dan transparan, kami tidak tahu bila setelah itu DPR kembali berdiskusi secara politik dengan pihak lain  dan terjadilah negosiasi.

Intervensi masyarakat sipil harus ada untuk mengawal prosesnya. Kalau tiba-tiba terbit sebelum matang betul rumusannya, bisa jadi RUU ini memang hanya menjadi bahan politik kosmetik saja ke dunia internasioal bahwa Indonesia tampak serius mengatasi kejahatan kehutanan. Padahal pada intinya tidak ada perubahan darui UU sebelumnya bahkan lebih buruk karena tidak belajar dari kesalahan masa lalu.

Lebih buruk?

Lebih buruk karena tidak belar dari UU Kehutanan yang lemah. Saya melihat RUU ini juga berpotensi memperlemah upaya pemberantasan korupsi di sektor ini. Ada kemungkinan bila telah dibentuk lembaga khusus yang menangani kasus kejahatan kehutanan, peran KPK akan dieliminasi. Ini mungkin ini kekhawatiran pribadi, tapi saya melihat ada upaya yang mengarah kesana.

Jadi Anda tidak setuju dengan dibentuknya lembaga khusus yang akan menangani kasus kejahatan kehutanan?

Harus diamati lagi secara lebih baik, struktur perundangannya bagaimana, kebijakan perundangannya akan diarahkan kemana. Kalau kita lihat memang KPK tidak cukup, secara sumberdaya terbatas sementara agenda antikorupsi nasional sangat luas.

Sebenarnya saya setuju dengan adanya lembaga khusus itu, tapi kita harus mengkaji lagi lebih dalam jangan sampai lembaga ini menutup esensi kejahatan kehutanan yang terorganisir. Jangan sampai terjadi, lembaga ini justru memblokade peran KPK dan PPATK. Intinya, setuju badan ini dibentuk dnegan beberapa catatan.

Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan