Masalah Audit Dana Kampanye

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dipimpin oleh Abdul Hafiz Anshary Terus-menerus menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Selain perjalanan dinas keluar negeri anggota KPU yang bermasalah, sejauh ini masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh KPU, seperti soal aturan main dari KPU tentang tata cara pemantauan, penanganan pelanggaran pemilu, hingga aturan mengenai audit dana kampanye. Khusus mengenai audit dana kampanye, harus diakui pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) lebih rumit dibanding aturan pemilu sebelumnya (UU Pemilu Tahun 2003). Auditor yang diperlukan untuk melakukan audit dana kampanye jumlahnya jauh lebih banyak.

Ada pula kewajiban bagi partai politik peserta pemilu, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota dan perseorangan untuk membuat dan menyerahkan laporan dana kampanye kepada kantor akuntan publik (KAP) untuk diaudit oleh KAP. KAP hanya memiliki waktu 30 hari untuk menyelesaikan pelaksanaan audit seluruh laporan dana kampanye. Atas kewajiban-kewajiban di atas, ada kendala teknis yang menjadi masalah dalam pelaksanaan audit dana kampanye, baik bagi KAP maupun KPU. Pertama, adanya kewajiban bagi setiap peserta pemilu, baik partai politik maupun calon DPD untuk membuat laporan dana kampanye sebenarnya sangat baik karena memiliki tujuan mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan kampanye peserta pemilu.

Akan tetapi, kewajiban ini menimbulkan konsekuensi pada banyaknya entitas laporan dana kampanye yang harus diaudit oleh KAP. Dalam kalkulasi umum yang telah dibuat oleh IAPI, paling tidak ada 20 ribu entitas laporan keuangan dana kampanye. Hal ini menimbulkan masalah karena jumlah laporan dan kampanye yang besar tidak sebanding dengan jumlah KAP. Kebutuhan audit terhadap dana kampanye dalam jumlah laporan yang besar menimbulkan masalah karena perlu SDM yang besar, baik dari sisi auditor maupun dari sisi KPU, yakni pada saat mengelola proses audit. Pada akhirnya ketika SDM yang dibutuhkan besar pasti akan membutuhkan anggaran yang besar pula.

Selain itu, masalah bagi KAP adalah bila audit tersebut dikonsentrasikan di tingkat pusat, maka AP membutuhkan SDM yang sangat besar, paling tidak untuk melakukan audit 400-500 rekening dana kampanye. Akan tetapi jika audit tetap dilakukan di masing-masing level partai politik, akan ada penurunan kebutuhan SDM, tetapi akan meningkatkan kebutuhan jumlah AP/KAP. Masalah lain bagi KAP adalah infrastruktur dana kampanye yang buruk, baik dari segi peraturan maupun dari personel. Sementara saat ini tidak ada peraturan yang lebih baik/detail tentang dana kampanye, termasuk tidak adanya pedoman pelaporan padahal kampanye sudah berjalan, dana kampanye sudah masuk dan sudah dibelanjakan oleh peserta pemilu.

Dari sisi personel, audit dana kampanye pilkada menunjukkan bahwa integritas dan kapabilitas pengelola dana kampanye kurang baik. Potensi dana-dana tidak dicatat dan tidak dilaporkan besar. Atau dicatat dengan tidak benar, seperti mengatasnamakan karyawan, pembantu, sopir, dan tukang kebersihan. Pilpres 2004 juga menunjukkan hal tersebut. Padahal audit dana kampanye bisa berjalan jika dana-dana tersebut dicatat dan dilaporkan. Siapa pun yang melakukan audit pasti hasilnya akan jauh memenuhi harapan publik tentang akuntabilitas dan transparansi dana kampanye.

Ketiga, kondisi darurat ini diperparah dengan waktu yang sangat terbatas bagi KAP untuk melakukan audit. UU hanya memberikan waktu 30 hari bagi KAP untuk menyelesaikan semua audit. Waktu yang teramat pendek itu tidak akan dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas atau menemukan adanya pelanggaran terhadap aturan dana kampanye. Atas berbagai kendala di atas, tidak ada jalan kecuali KPU secepatnya mengajukan terobosan hukum. Pilihan pertama, mengajukan amendemen UU Pemilu atas beberapa pasal yang menyulitkan, terutama untuk memberikan ruang bagi sumber daya auditor lain, seperti BPK atau BPKP untuk dapat terlibat dalam melakukan audit, menambah waktu pelaksanaan audit dana kampanye.

Yang harus dipikirkan jika ada gagasan untuk memangkas jumlah entitas laporan dana kampanye, adalah konsekuensinya terhadap berkurangnya kadar akuntabilitas dan transparansi yang merata pada setiap peserta pemilu. Langkah kedua yang bisa diambil KPU adalah mendesak pemerintah membuat perpu. Mengingat kondisi ini darurat, sangat dimungkinkan bagi pemerintah mengeluarkan perpu. Kedua, KPU membuat peraturan yang lebih maju tentang pelaporan dana kampanye untuk mendorong potensi masalah dana kampanye menjadi sangat minimalis. Aturan ini sangat ditunggu oleh partai-partai. Menurut UU Pemilu, partai harus melaporkan semua pemasukan dan pengeluaran untuk kampanye, termasuk yang dilakukan oleh calon anggota legislator. Kewajiban ini juga berlaku bagi calon anggota DPD.

Ketiga, perlu ada pendidikan bagi peserta pemilu (pengelola dana kampanye) tentang pentingnya akuntabilitas dana kampanye/politik. Pilihan ketiga ini meskipun sulit, tetap harus didorong dan diwacanakan baik oleh kalangan eksternal maupun internal partai. Tanpa terobosan hukum yang cepat, tepat dan berani, pelaksanaan pemilu 2009 secara keseluruhan akan mengalami gangguan. Menunda-nunda langkah ini akan membuat anggota dewan dan partai-partai telat mempersiapkan laporan keuangan yang akuntabel. Padahal, baik samar-samar maupun terang-terangan kampanye telah dimulai, berbagai sumbangan pun sudah mengalir ke partai dan calon legislator.

Jika persoalan audit dana kampanye ini tidak segera direspons dengan tepat dan cepat oleh KPU, pemerintah dan DPR maka akan ada beberapa konsekuensi serius. Pertama, hasil pemilu 2009 bisa dinyatakan cacat secara hukum karena tidak semua tahapan pemilu dilaksanakan oleh KPU. Kedua, hasil pemilu 2009 tidak terjamin akuntabilitas dan transparansinya karena pelaksanaan audit dana kampanye terjebak pada formalitas. Ketiga, hasil pemilu 2009 akan rentan dengan gugatan dari setiap peserta pemilu yang dirugikan. Dampaknya akan sangat berbahaya bagi stabilitas sosial-politik pascapemilu.

Emerson Yuntho,Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Republika, 22 Nopember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan