Masa Depan Hutan Indonesia, Kuncinya Ada di Moral dan Komitmen
Banyak kalangan berpendapat, hancurnya hutan Indonesia sekarang ini adalah akibat dari kombinasi dari kerakusan manusia, kebijakan pemerintah yang blunder semasa Orde Baru, serta sistem ekonomi dan politik yang penuh nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme. Tetapi, lebih dari itu, kehancuran hutan dalam skala masif beberapa tahun terakhir juga menjadi cermin dari bobroknya moral dan disiplin bangsa ini. Dengan demikian, untuk membangun kembali hutan Indonesia, pembenahan moral dan disiplin masyarakat diyakini menjadi kunci utama, di samping juga komitmen semua pihak yang berkepentingan (para stakeholder) dan penegakan hukum.
TAHUN 1995, Indonesia masih berada di urutan kedua setelah Brasil dalam penguasaan hutan tropis, dengan luas hutan mencapai 100 juta hektar atau sekitar 10 persen dari hutan tropis yang tersisa di dunia saat itu. Namun, berdasarkan data beberapa tahun terakhir, Indonesia sudah tergeser ke urutan ketiga, setelah Brasil dan Zaire. Dewasa ini, lebih dari 70 persen hutan perawan di Indonesia sudah lenyap; dijarah, ditebang, dibakar, digunduli, menjadi tipis, atau dialihfungsikan.
Setiap tahun, ada tambahan sekitar 3,8 juta hektar hutan rusak. Luas hutan yang rusak sekarang ini empat kali lipat lebih dibandingkan dengan tahun 1970-an. Dengan skala dan laju kerusakan hutan (deforestasi) seperti sekarang ini, hutan tropis di seluruh Sumatera diperkirakan punah pada tahun 2005 dan di Kalimantan tahun 2010.
Penyusutan secara dramatis hutan alam itu akibat pengelolaan hutan yang mengabaikan prinsip kelestarian, termasuk eksploitasi secara berlebihan, penebangan liar, dan alih fungsi lahan yang sulit dibendung. Jika tidak segera diambil tindakan, hutan yang seharusnya menjadi warisan berharga untuk anak cucu hanya akan menjadi bagian masa lalu bangsa ini.
Deforestasi yang dibarengi dengan penurunan kualitas (degradasi) hutan itu, menurut Kepala Pusat Informasi Kehutanan Transtoto Handadhari, terutama diakibatkan oleh penebangan kayu secara berlebihan (over-cutting), yang sebagian besar dilakukan tanpa izin (illegal logging). Fenomena ini terjadi sejalan dengan pertumbuhan industri pengolahan kayu yang begitu cepat di dalam negeri beberapa dekade terakhir, serta maraknya praktik penyelundupan kayu ke luar negeri.
Proses perusakan hutan dalam skala masif dimulai sejak pemerintahan Orde Baru, dengan dikeluarkannya konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) ke tangan segelintir kroni atau orang dekat Soeharto. Pada saat itu, pemerintah mengklaim seluruh kawasan hutan (termasuk yang sebelumnya dikelola masyarakat adat) sebagai kawasan hutan negara dan sekitar 70 persennya dinyatakan boleh ditebang.
Hutan negara inilah yang kemudian dibagi-bagi ke dalam wilayah konsesi yang dikuasai para kroni dan keluarga Soeharto. Pada pertengahan tahun 1990-an, para kroni menguasai lebih dari delapan juta hektar hutan dan melakukan praktik penebangan yang mengabaikan kelestarian hutan, tanpa kewajiban melakukan penanaman kembali.
Tumbangnya rezim Soeharto menyusul krisis moneter tahun 1997/1998 meletuskan pula kekacauan dalam instabilitas politik dan ekonomi. Situasi ini melahirkan sekelompok raja kayu baru di daerah, yang ikut berebut lahan hutan dengan para kroni Soeharto. Para raja kayu baru itu beroperasi dengan aturan main mereka sendiri dan menyuap para politisi, polisi, dan militer untuk mengamankan aksi mereka dalam penjarahan hutan. Periode lima tahun terakhir ditandai oleh penjarahan yang semakin gila-gilaan terhadap hutan, termasuk hutan lindung dan taman nasional.
Upaya membendung praktik penebangan liar baru ditempuh oleh pemerintah pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Menteri Kehutanan M Prakosa, setelah ada tekanan dari dunia internasional dan ada bukti-bukti skala masif mengenai praktik-praktik itu.
Pada Agustus 2001, pemerintah melarang penebangan kayu ramin dan memasukkan kayu ramin dalam Appendix III Konvensi Perdagangan Internasional terhadap Spesies-spesies Langka, dengan kuota nol, yang berarti melarang sepenuhnya perdagangan kayu ramin.
Kemudian, pada Oktober 2001, pemerintah melarang ekspor kayu bulat (log) dan membatasi kuota penebangan kayu dari sekitar 20 juta meter kubik per tahun sebelumnya menjadi hanya 6,4 juta meter kubik tahun 2003. Secara berkala, pemerintah juga melakukan razia ke industri pengolahan kayu.
Pemerintah juga menandatangani kesepakatan dengan sejumlah negara untuk mendapatkan dukungan internasional dalam memerangi praktik illegal logging. Tahun 2002, pemerintah mengeluarkan larangan bagi kapal-kapal asing untuk mengangkut kayu di perairan Indonesia dan mewajibkan seluruh eksportir kayu mendaftarkan diri.
Meski sudah banyak langkah di tempuh, hasilnya belum memuaskan. Praktik penebangan liar terus marak dan semakin menjadi-jadi dari tahun ke tahun. Hal itu antara lain karena tidak adanya komitmen dari berbagai pihak terkait untuk memberantas praktik tersebut. Yang terjadi, oknum aparat seperti militer dan pihak berwenang lain, yang seharusnya bertindak, justru memfasilitasi dan berada di belakang para pelaku penebangan liar.
Penebangan liar dan penyelundupan kayu secara ilegal yang semakin menjadi-jadi itu juga dipicu oleh meningkatnya kebutuhan kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan kayu dan mebel di dalam negeri dan meningkatnya permintaan dari negara lain, seperti China dan India. Langkah membatasi volume penebangan yang tidak dibarengi dengan upaya rasionalisasi terhadap industri pengolahan kayu juga membawa bumerang tersendiri.
Sebagai gambaran, tahun 2003 volume kayu bulat yang diizinkan untuk ditebang dibatasi hanya 6,4 juta meter kubik dan tahun 2004 sebesar 5,743 juta meter kubik. Sementara kebutuhan kayu bulat untuk industri diperkirakan di atas 80 juta meter kublik, termasuk sekitar 20 juta meter kubik untuk kayu lapis, empat juta meter kubik untuk kayu gergajian, dan 15 juta meter kubik untuk pulp (bubur kertas).
Angka itu belum memperhitungkan kebutuhan industri- industri pengolahan kayu skala kecil tanpa izin yang banyak bermunculan setelah Soeharto tumbang, yang jumlahnya mencapai ribuan dan tersebar di daerah-daerah sekitar hutan, dengan memanfaatkan kayu- kayu tebangan liar.
Kesenjangan antara kebutuhan industri dan pasokan dari penebangan resmi itu disinyalir oleh sejumlah kalangan ditutup dari kayu curian. Laporan Bank Dunia dan Forest Watch Indonesia menyebutkan, 70-80 persen kebutuhan kayu nasional sekarang ini ditutup dari illegal logging. Memberlakukan pembatasan tebang, moratorium atau kebijakan soft landing tanpa diikuti langkah rasionalisasi industri kayu sama saja memacu illegal logging.
Penyebab lain deforestasi dan degradasi hutan adalah kegiatan konversi lahan hutan ke usaha non-kehutanan yang menurut Bank Dunia menyumbang 67 persen dari penyebab deforestasi. Konversi hutan ini antara lain dilakukan untuk hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, pertambangan, pertanian, transmigrasi, dan sebagainya.
Luas areal perkebunan (baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat) terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan luas paling spektakuler terjadi pada perkebunan kelapa sawit, yakni rata-rata 14 persen per tahun. Tidak jarang, pengembangan kebun kelapa sawit menjadi kedok untuk mencuri kayu. Tidak adanya tindakan tegas terhadap praktik serupa di masa lalu membuat praktik seperti ini kembali muncul akhir-akhir ini.
Sejumlah sindikat pencuri kayu, yang berdalih sebagai investor perkebunan sawit dari Malaysia, membuka lahan dan hutan dengan berkedok untuk dikembangkan menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi, setelah hutan disapu habis, mereka kabur karena yang mereka incar sebenarnya memang hanya kayu hasil tebangannya. Pembangunan HTI dan perkebunan juga sering tumpang tindih dengan kawasan konservasi hutan.
Selain itu, penyebab lain deforestasi adalah perambahan kawasan hutan oleh masyarakat. Menurut Transtoto, dewasa ini terdapat 10 juta lebih peladang berpindah atau pemukim yang menetap di dalam kawasan hutan negara. Kemudian, faktor pemicu deforestasi berikutnya adalah kebakaran hutan (baik disengaja maupun tidak) yang masih sulit dikendalikan dan memusnahkan jutaan hektar hutan alam serta hutan tanaman dalam beberapa tahun terakhir.
Juga ikut menyumbang kerusakan hutan adalah perubahan politik penyelenggaraan negara, seperti pelaksanaan otonomi daerah yang tidak dipersiapkan secara memadai dan matang sehingga menyebabkan hutan menjadi sasaran sumber pendapatan daerah dan sasaran penjarahan yang sulit dihentikan.
UPAYA reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan yang rusak juga sudah banyak ditempuh oleh pemerintah dan berbagai kalangan masyarakat, namun sejauh ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Anggota Komisi IV DPR, Suswono, pada suatu lokakarya di Jakarta bulan lalu mengatakan, sejak dicanangkan tahun 1985, sudah ada 161 perusahaan yang mendapatkan hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) untuk tujuan rehabilitasi hutan.
Namun, dari target rehabilitasi seluas 6,2 juta hektar selama 15 tahun, yang terealisasi baru 2,5 juta hektar. Angka realisasi yang dilaporkan ini pun masih diragukan kebenarannya. Menurut perkiraan Transtoto, angka riilnya di lapangan paling maksimal hanya 60 persen dari yang dilaporkan.
Sementara dana reboisasi (DR) yang tersedot untuk keperluan itu mencapai 2,342 triliun. Penyebab gagalnya program pembangunan hutan tanaman HTI ini, menurut Transtoto, adalah sistem perencanaan yang tidak jelas dan pengawasan yang lemah.
Selain itu, kecenderungan yang terjadi , pemegang izin HPHTI hanya mengincar kayu di lahan calon hutan tanaman dan memanfaatkan fasilitas dana reboisasi (DR) yang ditawarkan dengan bunga nol persen. Adanya konflik dengan pemerintah setempat atau antarpengusaha HTI juga menjadi penyebab gagalnya pengembangan HTI.
Faktor lainnya, kebijakan pemerintah (Departemen Kehutanan) sendiri dinilai tidak konsisten dan tidak kondusif. Kebijakan dimaksud antara lain kebijakan penghentian kucuran dana reboisasi tahun 2002 dan kebijakan pencabutan Surat Keputusan Menteri Kehutananan Nomor 15 Tahun 2000 tentang HPHTI, yang menyebabkan pembangunan HTI juga menjadi tersendat.
Upaya reboisasi dan rehabilitasi hutan lainnya, yakni program penghijauan, diperkirakan Suswono hanya mampu memulihkan 50.000-100.000 hektar hutan yang rusak setiap tahunnya. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNHRL/Gerhan) diluncurkan pada era pemerintahan Megawati, sebagai gerakan moral untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis di daerah aliran sungai (DAS), dengan target seluas tiga juta hektar dalam lima tahun. Berdasarkan program ini, pada tahun 2004 direncanakan dilakukan penanaman satu miliar bibit sehingga dalam kurun lima tahun mencapai 4-5 miliar bibit.
Namun, seperti program- program sebelumnya, hasilnya belum menggembirakan, antara lain karena pelaksanaannya di lapangan masih dilakukan dengan pendekatan sistem keproyekan, selain juga karena beberapa kendala seperti koordinasi di lapangan yang lemah, kucuran pendanaan yang seret, dan kurangnya penyiapan bibit yang bermutu.
TRANSTOTO sendiri meyakini, penyebab utama kehancuran hutan Indonesia bukan karena kemampuan mengelola hutan yang rendah, tetapi lebih menyangkut persoalan moralitas. Ia mencontohkan, banyak insinyur kehutanan yang semasa kuliah diajari untuk melestarikan hutan, tetapi ternyata setelah bekerja mereka tidak malu-malu menerima suap untuk setiap izin pembuatan rencana karya tahunan (RKT) atau untuk memanipulasi potensi hutan dan menutupi pencurian kayu.
Selain moral, juga tidak ada pengorganisasian terpadu antarinstansi, misalnya antara kehutanan, Angkatan Laut, dan polisi. Selain itu, disiplin bangsa kita yang rendah dan tidak adanya komitmen terhadap kelestarian serta keselamatan bangsa dan anak cucu. Semua itu kesalahan dari pemimpin kita yang tidak memerhatikan pendidikan moral dan kedisiplinan, ujarnya.
Selama ini, kampanye antiperusakan hutan melalui pendekatan pada rakyat dengan membangun kesadaran ekologi serta mendesak negara-negara konsumen kayu dunia untuk tidak membeli kayu tropis dan produk-produk turunanya juga sudah dilakukan.
Akan tetapi, fenomena illegal logging dan deforestasi terus berlanjut dengan laju yang bahkan semakin cepat dari tahun ke tahun. Sejumlah nota kesepahaman (MoU) dan kesepakatan, baik multilateral maupun bilateral, telah ditandatangani untuk menghentikan perdagangan kayu ilegal dan produk turunannya, termasuk dengan Malaysia, China, Jepang, negara-negara Asia Timur lain, Inggris, dan Norwegia.
Namun, tidak ada tindak lanjut konkret di lapangan. Setiap tahun, sekitar 3,8 juta hektar hutan digunduli secara ilegal dan praktik ini melibatkan sindikat mafia lintas negara.
Dalam kasus illegal logging dan perdagangan kayu Merbau dari Papua, misalnya, menurut Environmental Investigation Agency (EIA)/Telapak, ikut bermain para cukong atau broker dan petinggi militer di Indonesia yang bertugas mengupayakan dokumen surat keterangan hasil hutan (SKHH) palsu, menghubungkan dengan pembeli di luar negeri atau mengamankan pelaksanaan illegal logging di lapangan.
Pengusaha Malaysia bertugas menjalankan operasi penebangan, menyiapkan logistik, dan membuat dokumen asal kayu (country of origin) palsu, seolah-olah kayu curian dari Indonesia tersebut berasal dari Malaysia. Pengusaha Singapura menyediakan kapal dan mengurus transportasi kayu keluar dari Indonesia serta menemukan pembeli dari luar negeri.
Kalangan perbankan Singapura juga mendukung dengan menyediakan surat kredit (letter of credit atau L/C) untuk keperluan tersebut. Singapura sudah menjadi semacam major regional hub untuk bisnis illegal logging dan perdagangan kayu curian dari Indonesia.
Pengusaha di Hongkong bertugas menghubungkan penjual di Indonesia dengan pembeli di China atau India. Dan, pedagang di China sebagai pembeli yang kemudian menjual kayu curian itu ke industri-industri pengolahan kayu setempat yang membutuhkan.
Kampanye anti-illegal logging dan perdagangan kayu curian selama ini ibarat gaung suara yang menubruk dinding tembok. Tidak adanya sanksi atau tekanan internasional yang kuat membuat pemerintah beberapa negara yang perekonomiannya diuntungkan oleh kegiatan ilegal ini, seperti Malaysia, China, Singapura, Hongkong, dan India, terus menutup mata.
Sementara Pemerintah Indonesia sendiri juga tidak pernah berupaya serius menghentikan aksi penjarahan hutan tersebut. Aparat militer yang disuap justru memfasilitasi dan berdiri di belakang para pencuri kayu.
Oleh karena itu, Transtoto dan Susmono berpendapat perlu dilakukan pendekatan lain yang komprehensif dan arif untuk mengamankan kekayaan sumber daya hutan Indonesia.
Pendekatan baru yang ditempuh Departemen Kehutanan, menurut Transtoto, menekankan pada pemberian pemahaman dan pendidikan kepada masyarakat yang hidup di sekitar wilayah hutan yang jumlahnya sekitar 60 juta orang dan juga masyarakat lainnya untuk ikut menjaga dan mengamankan sumber daya hutan. Termasuk di dalamnya pendidikan mengenai nilai-nilai moral yang mengajarkan bahwa mencuri kayu merupakan perbuatan tercela dan melawan hukum.
Dirjen Kerja Sama Hubungan Ekonomi Luar Negeri (HELN) Departemen Luar Negeri Rudi Widagdo mengatakan, dalam forum seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), asosiasi pembeli dan asosiasi perdagangan kayu dunia, pihaknya sudah menyuarakan bahaya lingkungan yang bakal dihadapi dunia jika dunia tidak bersatu menghadapi illegal logging.
Suswono dan Transtoto sependapat, peranan terpenting dari upaya pelestarian hutan ada di tangan masyarakat umum yang tinggal di kawasan sekitar hutan atau yang menggantungkan kehidupannya secara ekonomi dan sosial pada sumber daya hutan ini. Untuk itu, upaya rehabilitasi hutan dan lahan harus dijadikan bagian dari kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat di sekitar kawasan hutan perlu dilibatkan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengendalian upaya rehabilitasi tersebut.
Partisipasi masyarakat di sekitar kawasan hutan ini juga harus dibarengi dengan penghormatan terhadap hak-hak mereka sebagai masyarakat yang turun-temurun hidup berdampingan dan berinteraksi dengan sumber daya hutan yang menjadi lingkungannya.
Untuk pembangunan sektor kehutanan secara keseluruhan, Departemen Kehutanan bersama stakeholder lain sekarang ini tengah menyusun semacam masterplan rencana pembangunan kehutanan jangka panjang (RPKJP). Sasaran RPKJP adalah menjamin pengelolaan hutan secara lestari (sustainable forest management), serta meningkatkan output hutan, fungsi sosial dan ekonomi hutan, serta perlindungan lingkungan secara optimal.
Strateginya antara lain dengan mempercepat penanaman dan rehabilitasi hutan, menghilangkan illegal logging, mendorong penelitian, dan sebagainya. Termasuk di sini dengan bekerja sama dengan Departemen Pertanian untuk mengembangkan usaha pertanian di wilayah yang berbatasan dengan hutan sehingga masyarakat yang dulu hidup dari mencuri kayu di hutan atau bekerja pada mafia pencuri kayu nantinya bisa memiliki sumber penghidupan baru dari bertani.
Konsep pembangunan kehutanan dan social forestry seperti disebut Transtoto itu sendiri bukan konsep yang baru sekarang-sekarang ini muncul. Dari rezim Menteri Kehutanan (Menhut) satu ke Menhut lainnya, konsep seperti itu terus muncul, dengan sedikit perubahan di sana-sini. Akan tetapi, bisa dikatakan konsep ini tak pernah jalan. Bukan karena tak applicable, tetapi karena memang kurangnya komitmen pemerintah dan semua pihak untuk melaksanakannya. Suatu penyakit klasik dan kronis bangsa ini.
Jadi, apakah konsep yang sekarang ini akan berjalan atau tidak, semuanya kembali tergantung pada komitmen pemerintah dan semua pihak. Tanpa adanya itu, penyusunan konsep yang menyita banyak energi dan waktu akan sia-sia saja dan mungkin pula tidak ada yang namanya masa depan hutan Indonesia. Menurut Transtoto, beda antara konsep yang disusun Departemen Kehutanan sekarang ini dengan yang sebelumnya adalah: konsep-konsep sebelumnya umumnya sangat parsial dan temporer, sering tidak konsisten, dan saling tumpang tindih.
Konsep baru ini nanti akan menjadi dasar dari pembangunan sektor kehutanan yang komprehensif, utuh, dan berkesinambungan, dengan prioritas dan perincian target waktu yang jelas untuk setiap tahapannya. Jadi, menteri kehutanan berikutnya nanti tinggal melanjutkan saja, sesuai tahapan RPKJP yang sedang disusun sekarang ini, ujarnya.
RPKJP tersebut ditargetkan selesai dalam tahun ini. Seperti apa bentuknya dan bagaimana pelaksanaannya di lapangan, serta apakah itu bisa menjadi solusi tuntas bagi persoalan kehutanan yang kita hadapi sekarang ini, masih harus kita tunggu. (tat/ely)
Sumber: Kompas,5 Maret 2005