Mark Up Terjadi Sejak Rencana Anggaran; Audit Sebaiknya Mulai dari Depkeu dan Bappenas

Penggelembungan anggaran atau mark up belanja barang diperkirakan telah terjadi pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri. Pengadaan barang dilakukan dengan harga yang jauh di atas harga pasar, sehingga diperkirakan jumlah penggelembungan anggarannya bisa berkisar antara 30 persen dan 50 persen dari harga berlaku.

Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiardi mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Selasa (8/8).

Menurut Kusfiardi, ide penggelembungan anggaran biasanya berawal dari usulan perusahaan-perusahaan produsen barang atau alat-alat tertentu yang berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional atau pemerintah di negara-negara kreditor. Perusahaan tersebut menawarkan sejumlah barang yang sudah mendekati kadaluarsa untuk dijual di Indonesia dengan harga di atas standar.

Setelah itu, lembaga keuangan dan negara kreditor akan mendekati Departemen Keuangan (Depkeu) dan Bappenas, kemudian menawarkan pinjaman dengan syarat seluruh barang yang digunakan dalam proyek tersebut harus dibeli dari negaranya atau perusahaan tersebut, katanya.

Untuk mendorong pemerintah menerima tawaran pinjaman tersebut, Kusfiardi mengatakan, tidak menutup kemungkinan tawaran utang itu disertai paket bunga yang ringan. Atas dasar itu, Departemen Keuangan dan Bappenas menerima tawaran pinjaman tersebut. Kemudian Bappenas akan menentukan proyek dan daerah yang akan dibiayai oleh pinjaman tersebut.

Seringkali orang daerah tidak tahu menahu dengan proyek tersebut, bahkan tidak membutuhkan proyek itu. Akibatnya, proyek tersebut tidak berguna. Bisa jadi ada perusahaan pendamping dari lokal, namun porsinya sangat kecil, katanya.

Contoh-contoh proyek yang tergolong berlebihan, menurut Kusfiardi, antara lain adalah Proyek Pembangunan Infrastruktur Perkotaan dan Proyek Pengembangan Struktur Perairan di Bali senilai 350 juta dollar AS. Proyek tersebut membangun berbagai sarana perkotaan, mulai dari tong sampah hingga selokan.

Masa hanya untuk membangun tong sampah dan selokan harus dibiayai dengan dollar AS. Sementara proyek pengembangan sumber daya air terdapat motif-motif bisnis asing dalam penguasaan sumber daya air. Ini yang menyebabkan ada perusahaan pengolahan air minum menguasai aliran sungai atau membelokkan aliran sungai, katanya.

Atas dasar tersebut, Kusfiardi menegaskan, BPK sebaiknya memulai audit pengadaan barang dari Depkeu dan Bappenas, bukan dari departemen teknis. Kondisi itu disebabkan karena seluruh rencana program dan proyek yang disusun departemen teknis akan diverifikasi oleh Depkeu dan Bappenas. Proyek yang dinilai layak untuk dibiayai oleh APBN akan diajukan ke DPR dengan salah satu sumber pembiayaannya dari pinjaman luar negeri.

Dengan kondisi tersebut, hanya Depkeu dan Bappenas yang menjadi penyaring kelayakan proyek. Mereka yang tahu, apakah anggaran proyek itu masuk akal atau tidak rasional. Sehingga seharusnya BPK memperkuat auditnya di Depkeu dan Bappenas terlebih dahulu, kata Kusfiardi.

Tidak taat aturan
Sementara itu, Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan Achmad Rochjadi mengatakan, penggelembungan anggaran belanja barang terjadi karena para pelaksana proyek tidak menggunakan tolok ukur pemerintah yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Aturan tersebut mengawasi pengadaan barang secara ketat.

Itu artinya, harus ada tender. Tender itu salah satu cara untuk mencegah mark up karena ditawarkn secara terbuka. Tawaran-tawaran itu harus sesuai dengan aturan ini, dimana yang paling rendah menjadi yang menang. Kalau terjadi mark up itu berarti tidak mengikuti ketentuan tersebut, katanya.

Achmad mengatakan, keputusan BPK untuk mengaudit Departemen Pekerjaan Umum, Kesehatan, dan Departemen Pendidikan Nasional perlu dijelaskan alasannya. Jika didasarkan atas penggunaan anggaran, maka Departemen Pertahanan juga perlu diaudit karena menjadi pengguna anggaran terbesar kedua setelah Departemen Pendidikan Nasional.

Kalau dari ukuran anggaran, yang paling besar itu adalah Departemen Pendidikan Nasional, kedua TNI/Dephan serta Polri, lalu Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Kesehatan, katanya.

Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono mengatakan, pemerintah menyerahkan audit pengadaan barang tersebut kepada BPK. Langkah itu dilakukan karena audit tersebut merupakan kewenangan BPK.

Anggaran di ketiga departemen itu memang besar sekali. Saya kira BPK melakukan hal itu ada alasannya. Pengadaaan barang dan jasa memang banyak terjadi di departemen seperti itu. BPK itu memiliki alat untuk melakukan audit itu, katanya.(OIN)

Sumber: Kompas, 9 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan