Mark-Up Harga dan Ubah Spesifikasi di Daerah Merajalela

KPK: Tujuh Gubernur serta 21 Bupati/Wali Kota Divonis di Pengadilan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mendorong daerah agar kreatif berinovasi tanpa takut terkena korupsi. Asalkan sesuai dengan prosedur dan undang-undang, inovasi daerah tetap mendapatkan apresiasi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M. Jasin saat diskusi dan seminar sesi pertama dalam rangka penghargaan Otonomi Awards 2010 di Grand Ballroom The Empire Palace, Surabaya, kemarin (4/8). Seminar bertema Penegakan Hukum Korupsi dan Inovasi Kebijakan di Daerah tersebut diadakan The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

Jasin menuturkan, selama tetap sejalan dengan mata anggaran, mendapatkan persetujuan DPRD, serta bersifat akuntabel, inovasi daerah tidak menjadi persoalan. "Tak ada yang dipersoalkan bila sesuai dengan jalur," kata alumnus Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya itu.

Dia menegaskan, inovasi tersebut tetap harus didorong selama kepala daerah atau pejabat tidak mengambil keuntungan pribadi. "Dalihnya inovasi, tetapi ada keuntungan yang mengalir. Itulah yang harus kami ingatkan dengan penegakan hukum," papar dia.

Menurut dia, mulanya KPK mengingatkan melalui sarana pencegahan korupsi. Namun, bila kepala daerah yang bersangkutan tetap membandel, lembaga antikorupsi itu turun tangan dengan penindakan. Dengan kata lain, KPK akan menyeret koruptor ke sidang di Pengadilan Tipikor.

Jasin membeberkan, selama ini banyak sekali modus korupsi di daerah. Modus itu dipelajari dari banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi dan ditangani KPK selama ini. Dia mencontohkan, para pejabat daerah sering bermain di arena pengadaan barang dengan mark up (menggelembungkan) harga dan mengubah spesifikasi barang. Modus itu mudah terlacak dan melibatkan banyak pejabat daerah. Bahkan, dia menyebut modus tersebut tidak hanya menggejala dalam praktik pemerintahan daerah, tetapi juga pusat.

Modus lain, terang Jasin, adalah memanfaatkan sisa dana tanpa pertanggungjawaban hingga memanipulasi sisa APBD, perizinan, gratifikasi dari dana BPD penampung anggaran daerah, dan bantuan sosial yang tidak sesuai dengan peruntukan. "Modus-modus seperti itu sudah kami lacak. Mereka (pejabat atau kepala daerah, Red) yang terungkap harus bertanggung jawab," tegas Jasin.

Dia lantas menjelaskan, sejak berdiri pada 27 Desember 2003, hingga kini KPK menyeret tujuh gubernur serta 21 bupati/wali kota ke pengadilan dan penjara karena terlibat dalam kasus korupsi. "Yang perlu dicatat, setiap upaya kami terbukti di pengadilan," ucap dia. Dengan kata lain, gubernur dan bupati/wali kota yang terjerat kasus korupsi divonis penjara oleh pengadilan.

Jasin menyatakan, KPK tidak selalu menerapkan langkah penindakan. Selama ini, KPK juga mendorong daerah memiliki inisiatif antikorupsi. Hal itu dilakukan, salah satunya, dengan survei integritas secara periodik. "Kami juga melakukan sejumlah studi penilaian terhadap daerah. Ada juga studi pengadaan publik secara elektronik," imbuh dia.

Anggota VI BPK Rizal Djalil, yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu, mengungkapkan adanya modus baru korupsi di daerah. Bentuknya adalah penyalahgunaan APBD dengan modus investasi. Salah satu yang mengemuka adalah kasus penyelewengan di Kabupaten Kutai Timur. "Sebanyak Rp 70 miliar dana daerah diinvestasikan kepada lembaga keuangan yang tidak prudent," terang mantan anggota komisi anggaran DPR tersebut.

Menurut Rizal, investasi sebenarnya merupakan langkah kreatif untuk mendapatkan dana daerah. Tetapi, yang kerap menjadi persoalan, jalur yang ditempuh tidak prosedural. Salah satunya, mengabaikan persetujuan DPRD. "Investasi macam itu baik saja. Asal, tolok ukurnya jelas," katanya.

Dia melanjutkan, modus lain yang kerap tercium penegak hukum adalah penggelembungan anggaran dalam pelaksanaan program. "Yang itu juga kerap terjadi di sejumlah daerah," beber dia. Yang paling parah, tambah dia, penggelembungan tersebut terjadi dalam pelaksanaan proyek pembangunan gedung oleh daerah. "Kami kerap menemukan uang habis, tapi kantor yang dibangun tidak ada," lanjutnya.

Selama ini, terang dia, BPK selalu mendorong daerah membikin laporan pertanggungjawaban keuangan yang akuntabel. Laporan BPK per 30 Juni 2010 menyebutkan, sudah 74 persen daerah meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan masing-masing. "Tetapi, yang perlu dicatat, meski laporan keuangan baik, belum tentu tidak ada korupsi," ucapnya.

BPK juga kerap menemukan inovasi yang dilakukan oleh kepala daerah menjelang pilkada (pemilihan kepala daerah). Langkah itu bertujuan menggaet respons masyarakat bila kepala daerah yang bersangkutan mencalonkan diri lagi.

Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo memiliki perspektif lain soal penyebab rendahnya inovasi daerah. Disinkronisasi regulasi pemerintah pusat membuat banyak kabupaten dan kota ragu menuangkan inovasi. Mereka tidak mau mengambil risiko. "Ada kekhawatiran dana sosial dikucurkan sebagai hibah. Padahal, hibah murni untuk masyarakat yang sangat miskin," ungkapnya.

Menurut Soekarwo, kata hibah dari segi gramatika sebenarnya terputus. Begitu pula yang diatur Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah. Mantan Sekdaprov Jatim itu sudah mengusulkan kepada instansi terkait soal hibah untuk masyakat yang sangat miskin. Menurut dia, seharusnya ada diskresi. "Saya sudah ketemu kepala kejaksaan tinggi dan ketua pengadilan tinggi (Jatim, Red). Kuncinya tetap ada di pusat," terang Soekarwo.

Dia menyatakan tidak bisa bertindak ketika BPK mempermasalahkan laporan hasil penggunaan (LHP) hibah tersebut dalam APBD. Sebab, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan mengharuskan pencatatan melalui belanja modal, bukan barang dan jasa. "Saya bukan Mendagri yang bisa langsung take over. Peran saya hanya mendorong," ujar Soekarwo.

Pada sesi pertama, seminar tersebut menghadirkan empat narasumber. Yakni, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, Staf Ahli Kapolri Chairul Huda, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim M. Farela, serta Direktur Investigasi Instansi Pemerintah BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) M. Yusuf. Saat itu juga terungkap dorongan agar daerah menerapkan inovasi.

Denny menuturkan, para pejabat daerah tidak perlu takut berinovasi. "Selama tidak ada keuntungan (untuk kepentingan pribadi, Red), tidak ada diskon pembelian perumahan, atau kickback dalam bentuk apa pun, saya kira inovasi mempercepat kemajuan daerah," kata sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum itu.

Menurut dia, garis demarkasi antara inovasi dan korupsi adalah persoalan meraih keuntungan pribadi. Pria yang juga menjabat sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum itu berharap aparat bertindak sangat hati-hati dalam menegakkan hukum untuk melawan korupsi. "Jangan sampai penegak hukum kemudian mengorupsi inovasi mereka (pejabat atau kepala daerah, Red) meski tidak ada keuntungan pribadi yang mengalir ke kantong mereka," ujarnya. (git/sep/kit/c11/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 5 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan