Mari Korupsi!

Biarpun China, Korea (Selatan), maupun Jepang kerap menjadi referensi bagi anggota parlemen kita untuk adu tinju dan beradu premanisme, atau berselisih politik lantaran sebab yang kadang tampak remeh, sebaiknya kita tidak lupakan satu pelajaran penting yang dapat diambil dari mereka dan membuat kekonyolan di atas tak bernilai kemudiannya.

BERSAMA India, ketiga negara itu menjadi contoh terbaik dalam hal pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan negeri secara umum, yang membuat mereka menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang mulai mencemaskan established power/countries di belahan dunia lain.

Satuhal utama dalam sukses keempat negara itu adalah: etos kerja dan proses pengembangan diri yang luar biasa dalam tradisi modern masyarakatnya. Bagi orang Jepang, seluruh dunia mengakui, sejak restorasi Meiji di paruh akhir abad ke-19, mereka memiliki keuletan dan ketangguhan tiada tara untuk meraih kemajuan yang setara, bahkan lebih maju lagi ketimbang masyarakat Eropa dan Amerika. Semangat bushido dan kekecewaan akibat Perang Dunia II menjadi trigger bagi bangsa Jepang untuk berperan sebagai sumber kecemburuan dunia lantaran hebatnya invasi ekonomi dan budaya mereka.

Bangsa Korea lebih hebat lagi. Negeri kering hanya bermodal batu dan bukit kapur itu kini menjadi salah satu raksasa ekonomi lantaran satu ambisi besar: melebihi Jepang dalam segalanya. Di banyak kalangan terkenal ungkapan: Jika Jepang mampu berkembang luar biasa, maka Korea mesti bisa lebih dari itu.

Dalam dunia akademik, misalnya, di Eropa orang Jepang dikenal karena kegigihan dan kerajinannya. Namun, orang Korea seperti keranjingan atau gila belajar. Jika mahasiswa Jepang belajar di perpustakaan hingga pukul sepuluh malam, saat mahasiswa Indonesia memenuhi bar atau pulas di kamarnya, maka mahasiswa Korea belajar dan tidur di tempat yang sama, dari pagi ke pagi.

Untuk orang China, kita mafhum. Dari tingkat elitenya hingga strata bawah, mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam melihat peluang bisnis yang mudah, murah, efisien, tetapi memberi untung besaarr! Hal itu seperti naluri purba yang membuat orang China survive di mana dan kapan saja berada. Jaringan produksi film atau musik dalam kepingan, misalnya. Belum lagi new release movie di-premiere-kan di Hollywood, kepingan kopinya sudah menumpuk di Glodok dan pasar semacam di berbagai negara. Belum habis kita terkejut oleh tsunami, hanya lewat 2-3 hari dari bencana itu, VCD tsunami yang sangat up to date sudah keleleran di emperan toko Blok M, Senen, dan sebagainya.

Dan India punya ceritalain lagi. Tenaga-tenaga profesionalnya yang supercerdas, bermartabat, hardworker, dan adaptif, menjadi ekspor utama penyumbang utama devisa negeri itu. Banyak sudah lembaga internasional atau perusahaan multinasional yang menempatkan tenaga kerja India sebagai CEO atau eksekutif puncaknya. Di negerinya sendiri, 100 juta anggota kelas menengahnya menjadi daya dorong dahsyat bagi kemajuan India yang mengancam siapa pun, dalam hitungan tahun jari-jari kita.

BEBERAPA negara lain, seperti Thailand dan Malaysia, tentu memiliki juga keutamaan pribadi (bangsa) semacam, yang membuat negara-negara itu berhasil mengatasi kesulitan, hingga siap berkompetisi dengan siapa pun yang lebih dulu maju. Di kawasan lainnya, seperti Arab, Afrika, atau Amerika Latin, tampaknya mereka pun tengah bekerja keras untuk menemukan satu nilai modern, etos kerja atau kapabilitas bangsanya yang utama, untuk mendongkrak kemajuan di tengah pergaulan politik dan ekonomi global yang kian kasar dan tidak fair.

Persoalan menarik, dengan ilustrasi panjang di atas adalah: bagaimana dengan realitas di negeri sendiri? Adakah upaya serupa telah kita lakukan? Adakah kita telah memiliki satu modus pengembangan diri, nilai utama yang dapat efektif kita terapkan untuk menciptakan progres signifikan, atau etos kerja yang bisa mengatasi njelimet-nya persoalan negeri ini? Keramahtamahan, kerendahhati(diri)an, fleksibilitas kultural, kapasitas sinkretik, variasi adat dan kultur, hiperpragmatisme, materialisme/spiritualisme, atau apa?

Satu per satu dapat kita periksa jawabannya, hanya untuk sampai pada kesimpulan: ternyata bukan itu semua! Selain tidak selalu terbukti, hal-hal di atas menjadi standar nilai/moral bangsa ini, semuanya-jika pun ada-tak pernah berhasil mengangkat bangsa ini dari keterpurukan yang dalam. Frustrasi di banyak kalangan menjadi umum. Ide baru bermunculan, jika tidak oportunistis, plagiatis, kebanyakan medioker. Tak ada yang mampu menjadi sumber ide(ologis) bagi keseluruhan umat di negeri ini.

Tapi, tunggu dulu. Masih ada satu, hal di mana kita semua akan setuju, tertawa lebar, dan barangkali memberi harapan. Indonesia memiliki satu kemampuan, bahkan sudah menjadi etos, mungkin juga nilai, yang bisa kita depankan di hadapan bangsa-bangsa lain (dengan bangga, seharusnya) yakni korupsi. Serius. Dalam hemat saya, kapasitas dan kapabilitas bangsa kita untuk satu hal ini cukup disegani dunia. Bukan hanya karena kecerdasan, kecermatan, kelicikan, penciptaan varian, mengatasi hambatan-hambatannya, tapi juga jalan pikiran dan jalan perasaan yang begitu indah dan integratif dalam memproduksi tindak koruptif, sehingga korupsi tidak milik golongan atau kelas tertentu, tapi imanen dalam perikehidupan bangsa ini.

SEMUA kalangan pasti setuju jika korupsi diposisikan sebagai kejahatan besar dan penyebab vital keruntuhan kejayaan bangsa ini. Kejayaan? Kata ini tentu perlu diperiksa kembali. Tapi jika korupsi kita lihat korupsi sebagai kekuatan utama bangsa ini, jangan-jangan soal keruntuhan bisa juga diperiksa kembali. Pasalnya, kita kini melihat korupsi bukan lagi sebagai kelemahan, kejahatan, dark side, peradaban negatif dan sebagainya, tapi kita jadikan saja sebagai modal penting bangsa ini. Serius.

Bukan hanya karena kita mengamini korupsi sebagai potensi tertinggi kita masa kini, tapi juga lantaran korupsi bisa menjadi modus seseorang untuk survive, bahkan untuk maju dan daya kompetisi yang tinggi. Untuk itu kita mesti berani memilin korupsi 180 derajat dan menjadikannya satu hal yang positif, bermoral, dan bernilai tinggi, legal, bahkan jadi standar hidup yang diakui. Karena memang demikianlah kenyataannya. Pegawai negeri dengan gaji sejuta perak sebulan, memiliki dua rumah, dua bini, dua sedan terbaru, dua kali wisata luar negeri, dan sebagainya, dianggap biasa saja oleh lingkungan sekitar. Karyawan dengan gaji dua juta rupiah, tetapi punya sampingan 10 juta, juga dianggap biasa.

Bahkan seorang kenalan, pemilik sebuah perusahaan, bertahun-tahun mengorupsi usahanya sendiri sampai bangkrut. Tidak menjadi masalah bagi tetangga, rumah tangga, bahkan koneksi bisnisnya. Karena ia kini sudah jauh lebih kaya dari perusahaannya sendiri. Manusia Indonesia adalah kecerdasan membengkokkan aturan, menipu diri sendiri, manipulasi jabatan, berteater (berpura-pura tak berdosa), atau mengeruk keuntungan dari hak orang lain tanpa rasa bersalah.

Maka, mari kita legalkan saja itu semua. Karenanya, jika seseorang yang berpenghasilan Rp 500.000 tetapi dapat korupsi Rp 5 juta, ya kita terima dengan baik-baik. Bahkan kita bisa tempatkan ia sebagai ideal, jadi standar sukses. Dan inilah moralitas baru, keabsahan serta hak alam seseorang untuk bertahan dan maju. Bayangkan, jika 200 juta lebih manusia Indonesia melakukannya tanpa rasa malu dan perasaan bersalah, jumlah orang kaya akan meningkat luar biasa. Pekerjaan formal jadi sampiran, korupsi adalah tugas utama.

Bayangkan lagi, jika experts di bidang itu kita ekspor ke berbagai lembaga dan perusahaan internasional, berapa keuntungan juga devisa bisa kita keduk. Soal aturan? Seketat apa pun, orang Indonesia adalah belut listrik terlihai untuk mengatasinya. Siapa pun akan tergerak belajar padanya. Dan revolusi nilai seperti ini, yang tak ada presedennya dalam sejarah peradaban dunia, bisa diyakini akan mendongkrak posisi ekonomi Indonesia di mata dunia. Hingga berimbas ke dunia politik, budaya, militer, dan seterusnya.

Untuk itu, tidak perlu malu, sembunyi-sembunyi, atau khawatir dituduh melakukan money laundering jika beberapa koruptor menyumbang untuk masjid, panti asuhan, lembaga sosial, atau kerja kesenian. Semua menjadi sah dan lumrah. Dan publik pun tak perlu sungkan dan merasa muka tebal untuk menerima, menghargai, atau menghormati pemberian harta hasil korupsi itu. Karena ia sudah menjadi standar kemajuan. Karenanya, saudara, jangan segan untuk korupsi. Asahlah sehebat-hebatnya agar ia jadi kekuatan bangsa. Tak peduli jika yang harus dikorupsi itu adalah sahabat, saudara, orangtua, anak, guru, agama, negara, Tuhan, atau diri sendiri. Ini kan juga hasil peradaban kita. Benar, kan?(Radhar Panca Dahana Sastrawan, Tinggal di Tangerang, Banten)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 14 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan