Mantan Menkeu Diperiksa Lagi; Jaksa Kasus BLBI Dapat Temuan Penting

Mantan menteri keuangan (Menkeu) di era pemerintahan B.J. Habibie, Bambang Subianto, kembali diperiksa dalam penyelidikan kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bambang diperiksa tim penyelidik yang diketuai Sriyono di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung (Kejagung), kemarin.

Bambang diperiksa mulai pukul 09.45 hingga 13.20. Selama menjalani pemeriksaan, dia tidak didampingi satu pun pengacara. Itu bisa dimaklumi, mengingat statusnya bukan tersangka maupun saksi dalam kasus yang merugikan negara triliunan rupiah tersebut.

Begitu dia keluar dari ruang pemeriksaan, sejumlah wartawan mengajukan pertanyaan. Namun, pria yang mengenakan kemeja batik biru tua itu memilih tidak berkomentar. Silakan tanya jaksanya. Saya nggak mau komentar, kata Bambang. Ditanya soal tudingan Kwik Kian Gie bahwa dirinya mengetahui secara detail kasus BLBI, dia lagi-lagi memilih bungkam.

Sebelumnya Bambang pernah diperiksa bersama Kwik dalam kasus BLBI. Seusai pemeriksaan, Kwik menegaskan, seluruh mantan pejabat di bidang ekonomi mengetahui persis kebijakan BLBI, termasuk penandatanganan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) selaku mekanisme penyelesaian utang BLBI para obligor.

Selain nama Bambang, Kwik menyebut mantan Menkeu Boediono. Khusus kepada Bambang, Kwik mengatakan, Bambang punya peran dalam kasus BLBI karena ikut membidangi pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Di tempat terpisah, Kapuspenkum Kejagung Thomson Siagian mengatakan, tim penyelidik punya temuan baru setelah memeriksa sejumlah mantan pejabat, termasuk Kwik dan Bambang. Apa temuan baru tersebut, saya tidak bisa membeberkan di sini, jelas Siagian diplomatis. Yang pasti, dalam kasus BLBI, kejaksaan berjanji menuntaskannya sesuai tenggat yang ditentukan, yakni tiga bulan sejak Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) 22 Juli lalu. Arah penanganan kasusnya bisa ditingkatkan ke penyidikan atau tetap melanjutkan penyelidikan.

Pada bagian lain, Kelompok Kerja (Pokja) Deklarasi Jihad Melawan Koruptor BLBI siap membantu kejaksaan dalam proses penyelidikan. Ketua Pokja Abdul Asri Harahap mengatakan, para obligor harus bertanggung jawab atas kerugian negara dengan membayar bunga dana penyaluran perbankan senilai Rp 60 triliun setiap tahun hingga 2030.

Menurut Asri, ada sejumlah pihak yang ingin mengalihkan perhatian fokus penanganan BLBI dengan membenturkan antarkelompok masyarakat. Padahal, upaya adu domba itu harus dihindari karena kasusnya menjadi bias. Jangan biarkan kasus ini mengambang, harus dituntaskan, kata Asri.

Dia tidak mempersoalkan para debitor yang sudah melunasi utang BLBI. Persoalannya, ada debitor yang membayar dan mendapat surat keterangan lunas (SKL), tetapi sebenarnya ada permainan dalam proses pembayaran itu. Ketika itu memang ada penilaian yang berbeda dari auditor swasta seperti Lehman Brother dan PWC. Kalau berbeda, berarti sekarang harus dicek ulang dengan lembaga independen. Kalau bermain, kita tuntut, ujarnya.

Mengenai kisruh soal iklan layanan masyarakat, menurut Asri, sebaiknya ditanggapi bijak dan dilihat inti persoalannya. Inti iklan itu sebenarnya semangat ingin menuntaskan kasus korupsi. Dia menduga ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengekspos keberatan para deklarator.

Iklan yang dimuat itu adalah deklarasi. Saya ada di situ. Seluruh penanda tangan sudah diinformasikan bahwa akan ada iklan di media massa. Tetapi, tentu tidak mungkin di forum itu disebutkan di media mana saja dan berapa kali pemuatan. Intinya, kami ingin sampaikan ke publik, pemburuan terhadap koruptor BLBI tidak main-main, tuturnya.

Deklarasi itu juga sudah dikirim ke jaksa agung dan ketua BPK. Namun, hanya Ketua BPK Anwar Nasution yang menanggapi dengan bertemu Pokja Jihad. Jaksa agung belum membuka pintu kedatangan mereka.

Informasi yang beredar, kasus BLBI itu melibatkan Grup Salim. Asri juga sudah mendapat informasi itu. Tetapi, lanjutnya, sebaiknya kejaksaan terbuka dengan menginformasikannya ke masyarakat. Dengan demikian, publik juga bisa memantau.(agm)

Sumber: Jawa Pos, 11 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan