Mantan Kadishub Cirebon Somasi Lembaga Mahasiswa; Merasa Difitnah dengan Tuduhan Sebagai Koruptor

Mantan Kadishub (Kepala Dinas Perhubungan) Kota Cirebon, Drs. Djajadi menyomasi sejumlah lembaga mahasiswa yang dalam sebulan terakhir berkali-kali berunjuk rasa menuduh dirinya sebagai koruptor. Dalam somasinya, Dja-jadi yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Kimpraswil, meminta mahasiswa mencabut seluruh tuduhan bahwa dirinya melakukan tindak korupsi pada projek pembangunan tempat pengujian kendaraan.

Somasi itu dikemukakan Djajadi melalui kuasa hukumnya, Agus Effendi S.H, M.H. dan Ibnu Kholik, S.H. kepada wartawan, Senin (9/8) di Kampus FH-Untag Cirebon di Jalan Perjuangan. Ikut pula hadir pada jumpa pers tersebut, Djajadi dan Pimpro Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB), Ujianto Wahyu Utomo. Dalam waktu dekat somasi akan kami layangkan ke sejumlah lembaga mahasiswa. Somasi ini merupakan langkah awal. Selanjutnya, kita bisa membawa ke proses hukum. Namun tergantung dari sikap mereka, ujar Agus yang juga Dekan FH-Untag.

Ada lima lembaga mahasiswa yang disomasi. Masing-masing Front Aksi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Cirebon (FAM-UMC), Badan Eksekutif Mahasiswa Untag (BEM-Untag), Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag (KAM-Untag), Forum Mahasiswa Demokrasi (FMD) Unswagati dan Paguyuban Pegat Syaraf Revolusioner.

Kelima lembaga mahasiswa itu selama ini berkali-kali berunjuk rasa. Dalam aksi itu, mahasiswa telah menuduh Djajadi terlibat korupsi pada projek pembangunan tempat PKB menilai Rp 3 miliar lebih. Lewat somasi, kami meminta mahasiswa mencabut seluruh tuduhan terhadap Pak Djajadi dan minta maaf. Selama ini, mahasiswa telah menuduh klien saya korupsi, padahal belum terbukti, ujar Agus.

Tindakan mahasiswa, bisa dikategorikan melanggar pasal 310 KUH Pidana. Melalui aksi unjuk rasa, mahasiswa telah menyebarkan fitnah, ditambah lagi laporannya sumir karena banyak kejanggalan. Misalnya soal projek yang menurut mahasiswa masuk APBD 2001, yang benar itu APBD 2002. Mahasiswa juga menyederhanakan masalah. Ini cermin bahwa selama ini mahasiswa menuntut, tapi apa yang dituntut tidak paham, tuturnya.

Menurutnya, tindakan mahasiswa sangat gegabah. Bila ini dibiarkan, mahasiswa menjadi tidak terdidik, karena berunjuk rasa tapi tidak memahami lebih dulu secara mendalam materi yang diusung dalam aksi. Sikap mahasiswa itu menjadi preseden buruk, baik bagi pembelajaran demokrasi maupun penghormatan terhadap aspek hukum. Mahasiswa tidak bisa begitu saja mengumbar tuduhan tanpa ada kejelasan lebih dulu perkaranya. Nanti semua orang bisa menuduh orang lain secara sembarangan tanpa takut konsekuensi hukum. Dalam kasus Djajadi, akibat tuduhan itu, banyak dirugikan secara moral. Konsentrasi terganggu saat kerja maupun dalam mobilitas sosialnya, tandas Agus.

Somasi sama sekali tidak dimaksudkan mematikan hak demokrasi mahasiswa. Justru sebaliknya, ini menjadi pelajaran agar ke depan, ketika harus berunjuk rasa, agenda yang diusung harus dipahami benar.

Cabut laporan
Di sisi lain, Agus juga membacakan surat dari LSM Ammpel (Aliansi Mahasiswa/Masyarakat Peduli Lingkungan) yang ditandatangani Sekjennya, D. Supriyanto, S.Pd.I. Dalam suratnya, Ammpel menyatakan laporan tuduhan korupsi terhadap Djajadi ke kejaksaan itu bukan keputusan organisasi. Ammpel bahkan mencabut pernyataan dan menyatakan laporan tuduhan korupsi projek PKB yang masuk ke kejaksaan itu di luar tanggung jawab organisasinya, ujarnya.

Ujiyanto selaku pimpro sempat menjelaskan sejumlah hal terkait tuduhan mahasiswa, di antaranya soal alat PKB yang dituduh beli dari Yogyakarta, bukan dari Jepang. Ujianto menjelaskan, alat PKB yang ada sesuai aturan memang harus produksi dalam negeri. Alat itu dibeli dari Bandung oleh perusahaan pemenang tender, PT Reksa Jaya Persada Bandung.

Memang mereknya 'Kimori'. Mungkin karena merknya, mahasiswa lantas menuding kalau alat itu dari Jepang. Alat itu dibeli dari Bandung dan telah ada uji kelayakan teknisnya, tuturnya.

Ujianto juga menjelaskan tuduhan soal kerusakan dan tidak lagi beroperasi. Alat itu memang pernah rusak, tapi masih dalam masa perawatan, dan sampai sekarang masih beroperasi. Tidak pernah karena rusak lalu berhenti beroperasi. Saya tidak tahu, mahasiswa dapat data dari mana. Asal tahu saja, setelah alat itu dioperasikan, mampu mendatangkan PAD sampai Rp 1,1 miliar/tahun. Sebelumnya, ketika masih pakai alat lama, PAD selalu di bawah Rp 300 juta, tutur dia.(A-93)

Sumber: Pikiran Rakyat, 9 Agustus 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan