Mantan Bupati Tersangka Korupsi Buku
Penetapan tersangka dilakukan setelah serah-terima jabatan.
Status sebagai tersangka langsung disandang mantan Bupati Klaten Haryanto Wibowo seusai serah-terima jabatan kepada penggantinya, Soenarno, kemarin. Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp 4,7 miliar dan kasus penggunaan dana anggaran pendapatan belanja daerah untuk perjalanan ke luar negeri.
Senin (5/12) pekan depan ia akan diperiksa sebagai tersangka, kata Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta Komisaris Besar Abdul Madjid di Solo, Jawa Tengah, kemarin.
Polwil Surakarta, kata Madjid, telah memeriksa mantan Kepala Dinas Pendidikan Klaten Sidik Pramono. Pengadaan buku paket untuk SD, SMP, dan SMA tersebut dinilai menyalahi ketentuan karena dilakukan tanpa tender terbuka. Pemerintah Kabupaten Klaten menunjuk tiga rekanan untuk mengerjakan proyek tersebut. Sejumlah rekanan penerbit dan lembaga swadaya masyarakat kemudian mengajukan protes karena menganggap penunjukan tersebut tidak adil dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Itu memang melanggar hukum, katanya.
Di luar pengadaan buku, kasus lain yang disangkakan kepada Haryanto Wibowo adalah perjalanannya ke Jepang dalam rangka memenuhi undangan Japan International Agency (JAICA), Juli 2001. Kala itu, Haryanto menemani sejumlah pengusaha Klaten yang diundang JAICA. Bupati mendapatkan uang saku sebesar Rp 58 juta. Anehnya, ketika dia kembali dari Jepang pada November 2001, muncul anggaran yang sama senilai Rp 65 juta. Surat panggilan sebagai tersangka sudah dikirim, kata Abdul Madjid.
Haryanto, yang ditemui setelah menyerahkan jabatannya kepada Soenarno, mengaku belum menerima panggilan polisi. Dia menuding ada motif politik di balik penanganan kasus itu yang akhirnya menyeretnya menjadi tersangka. Saat menjadi bupati, Haryanto pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Klaten karena kasus penjualan aset daerah. Namun, ia tak pernah menjalani pemeriksaan hingga masa jabatannya berakhir dengan alasan Kejaksaan tak pernah menerima izin dari presiden. Itu jelas bermuatan politis, katanya.
Menurut Haryanto, pengadaan buku paket senilai Rp 4,7 miliar dilakukan atas usulan satuan kerja terkait, dalam hal ini dinas pendidikan. Usulan ini kemudian dibahas Panitia Anggaran DPRD. Dia mengatakan bahwa pengadaan buku dan proses penunjukan rekanan atas persetujuan DPRD. Dia mengatakan, meski tanpa tender, nilai proyek justru di bawah pagu yang ditetapkan sehingga bisa menyelamatkan uang negara sebesar Rp 750 juta. BPK juga sudah memeriksa dan menyatakan tidak ada unsur kolusi dengan penerbit, ujarnya.
Soal apakah ia perlu atau tidak untuk memenuhi panggilan penyidik, Haryanto berkelit. Bagaimana mau menjawab kalau surat panggilannya belum saya terima, katanya. IMRON ROSYID
Sumber: Koran Tempo, 3 Desember 2005