Mantan Bupati Natuna Ditahan KPK

Danai Tim Fiktif, Kerugian Negara Rp 72,25 miliar

Setelah sejak pertengahan Mei lalu ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana bagi hasil minyak dan gas (migas) pada APBD Natuna tahun 2004, mantan Bupati Natuna Hamid Rizal akhirnya ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK berkeyakinan, negara telah dirugikan hingga Rp 72,25 miliar karena adanya dana di APBD Natuna yang dikucurkan untuk kegiatan fiktif.

Sebelum ditetapkan sebagai tahanan pada Senin (12/10) petang, Hamid sebelumnya menjalani pemeriksaan terelbih dulu sejak pukul 10.00 pagi. Tepat pukul 19.25, Hamid dengan didampingi penyidik dan petugas kepolisian langsung dibawa ke LP Cipinang. Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulut Hamid setelah menjadi tahanan KPK.

Juru bicara KPK, Johan Budi menyatakan, Hamid diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan wewenangnya dalam pembentukan Tim Intensifikasi dan Ekstensifikasi dana bagi hasil migas natuna tahun 2004. Untuk membiayai tim tersebut, Pemkab Natuna menggelontorkan dana sebesar Rp 72,25 miliar dari APBD tahun 2004. “Nha belakangan tim itu di duga fiktif,” sebut Johan di KPK, Senin (12/10) makam.

Karenanya, Hamid disangka dengan pasal 2 ayat 1, dan atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Kita tahan di LP kelas I Cipinang untuk dua puluh hari pertama,” ujar Johan.

Namun penahanan Hamid itu diprotes pengacaranya, Tumpal Hutabarat. “Penahanan ini memang kewenangan penyidik. Tetapi Pak Hamid selalu bersikap kooperatif. Jadi saya rasa penahanan ini tidak tepat,” ujarnya.

Menurut Tumpal, kliennya sebenarnya bukanlah pihak yang mengeluarkan uang untuk membiaya tim tersebut. “Saat jadi bupati, Pak Hamid tidak pernah menyetujui pengeluaran itu, karena ada pembagian tugas dan soal pengeluaran uang itu diserahkan ke wakil bupati (Izhar Sani) yang saat ini sudah almarhum,” kilahnya.

Selain itu, sambung Tumpal, pihaknya juga memiliki bukti kuat bahwa pencairan itu sebenarnya memang tidak melibatkan Hamid. Bahkan, katanya, surat perintah pencairan justru baru ditandatangani pada tahun 2008. “Ini yang kita jadikan bukti bahwa Pak Hamid sudah tidak jadi bupati tetapi pada 2008 disuruh menandatangani surat pengeluaran uangnya. Kop suratnya juga masih tetap bupati,” lanjutnya.(ara/JPNN)

Sumber: JPNN, 12 Oktober 2009
-----------
Korupsi DBH Migas, Bupati Natuna Ditahan      
Subhan Hardi   

Mantan Bupati Natuna, Kepulauan Riau, Hamid Rizal, Senin malam ditahan oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH Migas) Kabupaten Natuna.

Hamid Rizal dimasukkan ke mobil tahanan pukul 19.30 WIB. Hamid yang mengenakan kemeja warna biru tidak memberikan keterangan kepada wartawan. Rencananya, Hamid akan ditahan di rumah tahanan Cipinang, Jakarta Timur.

Juru Bicara KPPK, Johan Budi menjelaskan, KPK perlu melakukan penahanan untuk memperlancar proses penyidikan. Johan menjelaskan, penahanan itu terkait dugaan korupsi DBH Migas di Kabupaten Natuna pada 2004. "HR diduga menggunakan dana bagi hasil untuk membentuk tim ekstensifikasi dan intensifikasi dana bagi hasil," kata Johan.

Namun, berdasar penelusuran KPK, pembentukan tim itu ternyata fiktif. Bahkan, Hamid diduga telah diuntungkan akibat penggunaan DBH Migas tersebut.

Akibat perbuatan itu, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp72,25 miliar. KPK menjerat Hamid dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Tumpal H. Hutabarat, penasihat hukum Hamid menjelaskan, kliennya tidak pernah menyetujui penggunaan DBH Migas. "Sejak menjabat sebagai bupati kan tidak pernah menyetujui beliau ini," kata Tumpal.

Dia menegaskan, kliennya juga tidak pernah menandatangani keputusan pengeluaran uang untuk tim intensifikasi. Hal itu disebabkan surat keputusan itu keluar pada 2008 ketika Hamid tidak lagi menjabat sebagai bupati.

Tumpal juga menyayangkan keputusan penyidik KPK untuk memeriksa Hamid dan Bupati Natuna, Daeng Rusnadi secara terpisah. Padahal Daeng yang ketika perkara itu terjadi menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Natuna mengetahui proses aliran dana tersebut.

Dalam kasus itu, KPK juga telah menetapkan Daeng Rusnadi sebagai tersangka.

Sumber: beritabaru.com, 12 Oktober 2009
----------------
KPK Tahan Mantan Bupati Natuna

Senin, 12 Oktober 2009 20:40 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 472 kali

Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bupati Natuna, Kepulauan Riau, Hamid Rizal, Senin malam ditahan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkiat kasus dugaan korupsi Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH Migas) Kabupaten Natuna.

Hamid Rizal dimasukkan ke mobil tahanan sekira pukul 19.30 WIB. Hamid yang mengenakan kemeja warna biru tidak memberikan keterangan kepada wartawan. Rencananya, Hamid akan ditahan di rumah tahanan Cipinang, Jakarta Timur.

Juru Bicara KPK, Johan Budi menjelaskan, KPK perlu melakukan penahanan untuk memperlancar proses penyidikan. Penahanan itu terkait dugaan korupsi DBH Migas di Kabupaten Natuna pada 2004.

"HR diduga menggunakan dana bagi hasil untuk membentuk tim ekstensifikasi dan intensifikasi dana bagi hasil," kata Johan.

Namun, berdasar penelusuran KPK, pembentukan tim itu ternyata fiktif. Bahkan, Hamid diduga telah diuntungkan akibat penggunaan DBH Migas tersebut.

Akibat perbuatan itu, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp72,25 miliar. KPK menjerat Hamid dijerat dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Tumpal H. Hutabarat, penasihat hukum Hamid menjelaskan, kliennya tidak pernah menyetujui penggunaan DBH Migas.

"Sejak menjabat sebagai bupati kan tidak pernah menyetujui beliau ini," kata Tumpal.

Dia menegaskan, kliennya juga tidak pernah menandatangani keputusan pengeluaran uang untuk tim intensifikasi. Hal itu disebabkan surat keputusan itu keluar pada 2008 ketika Hamid tidak lagi menjabat sebagai bupati.

Tumpal juga menyayangkan keputusan penyidik KPK untuk memeriksa Hamid dan Bupati Natuna, Daeng Rusnadi secara terpisah. Padahal Daeng yang ketika perkara itu terjadi menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Natuna mengetahui proses aliran dana tersebut.

Dalam kasus itu, KPK juga telah menetapkan Daeng Rusnadi sebagai tersangka.

Sumber: Antara, 12 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan