Manifesto Antikorupsi ICW Bagi Pasangan Capres-Cawapres

Indonesia Corruption Watch menyatakan Manifesto Antikorupsi sebagai tuntutan bagi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Harapannya, siapapun yang terpilih, mampu menjalankan mandat pemberantasan korupsi.

ICW memetakan masalah korupsi politik, penegakan hukum, keterbukaan informasi dan keuangan negara, pelayanan publik, dan pendapatan negara dari sektor pajak dan sumber daya alam. Kelima masalah di atas dibahas secara rinci oleh masing-masing Koordinator Divisi di ICW yang membawahi lima divisi, yaitu: Korupsi Politik, Hukum dan Monitoring Peradilan, Investigasi, Monitoring Pelayanan Publik, serta Monitoring dan Analisis Anggaran.

Berantas korupsi politik

Koordinator Divisi Korupsi Politik Abdullah Dahlan berharap pemerintahan selanjutnya harus mampu menuntaskan korupsi politik yang salah satunya disebabkan kondisi partai politik yang tidak sehat. Pemerintah ke depan harus mampu mengatur partai politik dengan lebih ketat, terutama soal pendanaan partai.

“Banyak korupsi bermula dari kader atau struktur partai untuk menjaga eksistensi partai politik,” ujar Abdullah dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (9/6) lalu.

Abdullah juga menyoroti mekanisme pemilu berbiaya tinggi yang menghasilkan politik uang. Menurut dia, ketentuan pemilihan umum harus diperbaiki menghasilkan pemilu berintegritas, apalagi pada 2019 nanti, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan digelar berbarengan.

Pemerintah yang baru juga harus mampu meredam konflik kepentingan dalam menyandang jabatan publik. Rezim baru harus berani memisahkan kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah, dengan tidak merangkap jabatan di partai politik maupun bisnis, dan untuk tidak “berkelindan pada relasi politik-bisnis yang tidak sehat”.

Dewan Perwakilan Rakyat juga harus dibenahi. Pemerintah harus mulai mengusulkan revisi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dinilai turut menyebabkan korupsi politik. Pemerintah ke depan harus memutar otak untuk menutup celah politik transaksional di DPR, sebab wewenang legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR selama ini membuka ruang berbuat lancung.

Penegakan hukum

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Emerson Yuntho meminta presiden dan wakil presiden terpilih untuk mendorong perbaikan dan penambahan peraturan antikorupsi, seperti Revisi UU Tindak Pidana Korupsi, Perampasan Aset, serta Perlindungan Saksi dan Korban.

Emerson menilai rancangan undang-undang bidang hukum yang memang menjadi prioritas di Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yaitu Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), harus dipastikan untuk  tidak menghambat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dan mendorong penegakan hukum.

“Bukan komitmen pemberantasan KPK, tapi komitmen pemberantasan korupsi,” ujar Emerson.

Pemerintah ke depan juga dilarang mengintervensi proses penegakan hukum di KPK dan selalu menjaga kemandirian KPK dalam memberantas korupsi. Emerson juga mengangkat poin tentang rekrutmen penyidik di KPK, penambahan anggaran dan regulasi yang mendukung kerja KPK, supaya KPK lebih banyak kasus korupsi dapat ditangani dalam waktu lebih cepat lagi.

Emerson menyatakan pemerintah ke depan harus mampu belajar dari kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menghindari kesalahan yang sama. Dalam hal ini, pemerintah yang baru mesti menguatkan sinergi antar lembaga penegak hukum, untuk mengoptimalkan kinerja pemberantasan korupsi.

Posisi Direktorat Tindak Pidana Korupsi Kepolisian juga perlu diperkuat. ICW mengusulkan agar direktorat ini dipindahkan langsung di bawah Kepala Polri. Sebab, kini Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Kepolisian RI masih berada di bawah Badan Reserse Kriminal.

“Kalau pemerintah memang berniat menjadikan kepolisian dan kejaksaan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, maka jaksa muda pidana khusus di kejaksaan dan pidana khusus korupsi di kepolisian harus setara,” ujar Emerson.

Nota Kesepahaman Optimalisasi Pemberantasan Korupsi antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian juga perlu direvisi. Sebab, kata Emerson, nota ini tidak diperbaiki meskipun sempat terjadi polemik dalam kasus korupsi pengadaan simulator kemudi SIM Polri.

Pemerintah baru juga harus memenuhi tunjangan dan anggaran proporsional untuk lembaga penegak hukum, khususnya untuk kepolisian dan kejaksaan dalam kerja penanganan kasus korupsi.  Sebab, kata Emerson, jika pemerintah benar-benar serius memerhatikan kebutuhan tunjangan operasional dan anggaran bagi kepolisian dan kejaksaan, maka dua lembaga ini dapat menjadi ujung-ujung tombak pemberantasan korupsi.

“Kalau sudah memadai, belum optimal juga, paling tidak jaksa agung dan kapolri bisa dicopot,” kata Emerson. Ia juga menilai perlunya kepala yang bersih dan berkomitmen di dua institusi itu.

“Kata kuncinya ada di pimpinan. Jaksa agung dan Kapolri harus punya komitmen antikorupsi kuat," kata Emerson lagi. Jaksa agung dan kapolri terpilih harus berani mereformasi institusinya dan meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum.

Koruptor yang lari ke luar negeri juga harus dikejar cepat, lewat kerjasama internasional dan pengembalian aset (asset recovery). Membuat jera koruptor juga harus dimaksimalkan dengan penerapan pembalikan beban pembuktian, atau lazim disebut pembuktian terbalik, di mana terdakwa harus bisa membuktikan kekayaannya berasal dari sumber yang sah dan taat hukum.

Pemerintah yang baru juga harus bisa mendorong eksekusi koruptor yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Koruptor juga harus dijatuhi hukuman berat dan dimiskinkan. Pemerintah juga dilarang mengobral remisi bagi koruptor.

Keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban keuangan negara

Koordinator Divisi Investigasi Tama S. Langkun menyoroti keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban keuangan negara. Revisi paket undang-undang yang memuat aturan tegas terkait definisi keuangan negara. Sebab, selama ini definisi “kerugian keuangan negara” ditafsirkan berbeda-beda dan jadi perdebatan banyak pihak.

“Pemerintah yang baru harus memperjelas definisi ini,” kata Tama.

Tama juga mengusulkan reformasi Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, serta satuan pengawas internal lain yang memiliki fungsi audit dan peran menghitung kerugian negara, agar badan-badan pemeriksa ini punya posisi yang lebih kuat.

Sebab, kata dia, pengalaman ICW dan jaringan di berbagai daerah, sering kali menemukan jalan buntu ketika menghtung kerugian negara, Ada kasus yang harus menunggu beberapa tahun, hanya untuk menunggu rampungnya perhitungan kerugian negara. Bahkan, ada yang tak kunjung selesai karena tidak ada ahli untuk menghitungnya.

Pemerintah baru juga harus mampu memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa. ICW mencatat selama tahun 2013, untuk 40% kasus korupsi yang ditangani kepolisian, kejaksaan, dan KPK yang melibatkan lebih dari 1.200 tersangka, merupakan kasus pengadaan barang dan jasa.

“Presiden baru harus punya visi untuk mengurus pengadaan barang dan jasa. Kalau perlu, dibuat undang-undang tentang pengadaan barang dan jasa, sehingga lebih jelas dan agar tidak hanya bergantung pada peraturan presiden seperti selama ini,” ungkap Tama.

Tama juga mendesak pemerintah yang baru agar nanti segera melaksanakan UU Keterbukaan Informasi Publik untuk mewujudkan transparansi penggunaan anggaran.

Beberapa kasus yang dimenangkan ICW lewat sengketa di Komisi Informasi Pusat tidak bisa dieksekusi, karena keengganan berbagai badan publik untuk membuka informasi yang diperintahkan putusan KIP. Padahal, kepatuhan ini sudah diamanatkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.” ujarnya.

“Kalau pemerintah tidak punya visi soal keterbukaan informasi publik, bahaya untuk pemberantasan korupsi ke depan,” kata Tama.

Lembaga-lembaga publik yang tidak mau transparan dan membuka informasi yang merupakan hak masyarakat juga harus diberikan sanksi tegas.

Pembenahan pelayanan publik

“Tema besar pelayanan publik adalah mewujudkan birokrasi bersih dan pelayanan publik berkualitas untuk kesejahteraan rakyat,” kata Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Febri Hendri.

“Kita tahu bahwa korupsi banyak terjadi di birokrasi. Birokrat daerah sampai pusat terjerat. Maka, program reformasi birokrasi sangat penting untuk buat birokrasi jadi bersih, profesional, dan tidak KKN,” tambahnya.

Maka, jelas dia, presiden dan wakil presiden ke depan harus konsisten mendukung program reformasi birokrasi. Selama ini, program reformasi birokrasi dan aksi pencegahan pemberantasan belum berjalan efektif. Sebab, lembaga-lembaga negara menjalankan program reformasi birokrasi sendiri-sendiri dan koordinasinya sangat lemah.

Febri juga mendesak presiden yang baru harus bisa bersikap tegas pada kementerian/ lembaga yang tidak serius menjalankan reformasi birokrasi dan tidak serius memberantas korupsi di institusinya.

Pemerintah ke depan juga harus mensosialisasikan UU Pelayanan Publik. Sebab, menurut Febri, pengalaman ICW dari Sabang sampai Merauke selama bertahun-tahun membuktikan banyak warga negara, bahkan birokrat daerah, yang tidak tahu menahu soal UU Pelayanan Publik. Untuk ini, pemerintah harus mengalokasikan dana lebih besar untuk pelaksanaannya.

“Pelayanan publik yang disediakan daerah itu asal-asalan, tidak bermutu. Pemerintah pusat harus mendukung peningkatan mutu pelayanan publik,” kata Febri.

Pelayanan publik yang menjadi sasaran presiden dan wakil presiden mendatang juga juga tidak boleh hanya pro terhadap investasi, tapi terhadap rakyat miskin, terutama hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Pemimpin baru, kelak juga harus mengevaluasi UU Sistem Pendidikan Nasional. Sebab, sejauh ini telah terbukti undang-undang ini gagal menaikkan akses mutu keadilan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Febri juga menyoroti paradigma sehat dalam kesehatan yang seharusnya jadi tolok ukur penting dalam menyusun anggaran kesehatan. Pemerintah harus menjadikan anggaran untuk aspek promosi dan pencegahan kesehatan lebih besar daripada anggaran penyembuhan.

Wujudkan keadilan ekonomi dan sumber daya alam

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Firdaus Ilyas menekankan pewujudan keadilan ekonomi dan sumber daya alam. Pengelolaan pajak harus bertanggung jawab dan terbuka agar dapat menaikkan penerimaan pajak hingga 14-15%. Pemerintah juga harus mampu mengurangi piutang pajak yang hampir Rp 100 triliun dan menyelesaikan sengketa pajak dengan transparan dan akuntabel.

Pemerintah juga harus membuat payung hukum perpajakan, terutama untuk mengatasi celah hukum dalam perpajakan. Perwujudan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan dan optimalisasi penerimaan negara bagi kesejahteraan rakyat banyak.

“Negara harus berdaulat untuk pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya kepemilikan, tapi juga pengusahaan,” tukas Firdaus. Perbaikan Undang-Undang Minyak dan Gas juga harus segera dilaksanakan demi mengatur kedaulatan negara untuk migas dijamin undang-undang.

Negara juga harus konsisten dengan regulasi, terutama UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), di antaranya adalah mempercepat penuntasan negosiasi kontrak karya dan menyelesaikan kepemilikan divestasi oleh negara sebesar 51%.

“Seperti Freeport, itu adalah pelanggaran terhadap UU No. 4 Tahun 2009, termasuk betapa tidak konsistennya negara dalam menjalankan divestasi, dalam membatasi atau tidak boleh lagi menjual aset tambang dalam bentuk konsentrat,” jelas Firdaus.

Firdaus juga mengingatkan agar negara menjamin keamanan sumber daya alam baik dari sisi hulu maupun hilir. Pemerintah selanjutnya harus mampu menjamin ketersediaan untuk kebutuhan dalam negeri.

Politik anggaran juga harus diperjuangkan dengan mengedepankan rakyat banyak dengan erbasis kinerja untuk kesejahteraan rakyat.

Pengelolaan keuangan negara juga harus memberi akses luas untuk pengawasan oleh masyarakat. Ini dapat dicapai dengan penguatan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Firdaus menyatakan, untuk sektor strategis seperti pajak dan sumber daya alam, publik tidak mudah mendapatkan informasi terkait penerimaan dan pengelolaan keuangan negara. Padahal, pengawasan publik dan penegakan hukum terhadap yang merugikan keuangan negara berkontribusi pada perwujudan keadilan ekonomi.

“Seharusnya, semakin besar pendapatan negara, semakin besar dana yang bisa dialokasikan untuk belanja kesejahteraan rakyat,” tambahnya.

Menurut dia, belanja-belanja yang terkait intervensi kebijakan pelayanan publik, tidak akan terjadi kalau sistem hukum tidak terlepas dari korupsi, khususnya bidang perpajakan dan sumber daya alam. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan