Mahkumjapol Berbahaya

Jangan Sampai Institusi Penegak Hukum Saling Intervensi

Kebijakan pemerintah membentuk forum koordinasi dan konsultasi aparat hukum Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Mahkumjapol dinilai akan berbahaya dan mengancam demokrasi.

Berbahaya dalam artian mengancam independensi, kejelasan, dan ketegasan pembagian peran elemen-elemen demokrasi dalam trias politica, khususnya antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif, di mana peran yudikatif bakal tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif.

Kekhawatiran itu disampaikan dosen Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (UI), Bambang Widodo Umar, dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma’arif secara terpisah kepada Kompas, Rabu (5/5).

”Tepatkah kebijakan itu? Apakah tidak mengarah hubungan subordinasi dari komunitas yudisial ke eksekutif, padahal kekuasaan kedua lembaga tinggi negara (MA dan Kepresidenan) seharusnya terpisah sesuai trias politica?” ujar Bambang.

Apalagi di lembaga legislatif (DPR) sendiri banyak fraksi partai politik juga sudah kembali mulai merapat pada Fraksi Partai Demokrat yang memiliki jumlah kursi besar di DPR. Dari kondisi-kondisi itu, Bambang melihat sekarang tengah terjadi pemusatan kekuasaan secara total.

Bambang menambahkan, sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia ketika semua kekuasaan legislatif dan yudikatif perlahan-lahan merapat dan ”dikuasai” oleh kekuatan eksekutif.

”Kelembagaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak boleh disatukan. Kalau seperti MA, Polri, Kejagung, mau disatukan dalam satu forum koordinasi kan nanti ujung-ujungnya semua diatur di bawah Presiden. Apalagi kalau tidak ada kontrol dan pengawasan,” ujar Bambang.

Sementara Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan, pembentukan forum koordinasi dan konsultasi aparat hukum tidak akan menjadi masalah jika orang- orang di dalamnya adalah manusia merdeka. Namun, sebaliknya, jika forum itu mengebiri mereka, hal itu sangat membahayakan dan bisa berdampak fatal. Apalagi situasi politik saat ini terbilang sangat rentan sehingga sifat kenegarawanan sangat diperlukan.

Harus terobos kebuntuan
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, mengatakan, forum itu harus mampu menerobos kebuntuan implementasi penegakan hukum yang umumnya terjadi dalam hubungan antarlembaga penegak hukum. ”Pembentukan forum itu baik supaya tidak ada kebuntuan dalam implementasi penegakan hukum dan masing-masing aparat saling memahami tugas dan kewenangan,” kata Trimedya.

Menurut Trimedya, kebuntuan implementasi penegakan hukum sering kali terjadi di lapangan. Misalnya, penanganan kasus antara Badan Reserse Kriminal Polri dan pihak Kejaksaan. ”Ada ungkapan, kasus berulang tahun. Artinya, kasus tidak selesai-selesai, dibolak-balik, dan kasus cenderung dijadikan komoditas,” katanya.

Trimedya menambahkan, ada indikasi pihak kejaksaan meminta persyaratan yang aneh-aneh sehingga sulit dipenuhi Polri. ”Misalnya, kasus Raymond (kasus perjudian). Masak dua tahun tidak selesai-selesai. Bagi orang yang berkecimpung dalam praktik hukum, bisa mencium hal yang aneh,” katanya.

Oleh karena itu, menurut Trimedya, forum itu seharusnya mampu menangani kebuntuan-kebuntuan implementasi penegakan hukum seperti itu, termasuk terkait penanganan kasus dan putusan-putusan di MA.

Dilihat dari konsep dan idealisme, kata pengajar Fakultas Hukum UI, Indriyanto Seno Adji, pembentukan forum itu tentu bagus untuk mengefektifkan aparat penegak hukum.

”Akan tetapi, dalam tataran implementasi, tidak bisa dihindari kendala-kendala yang ada sehingga forum seperti itu sering kali menjadi tidak efektif. Misalnya, Mahkejapol yang pernah dibentuk,” katanya.

Indriyanto mengingatkan, di forum itu jangan sampai masing-masing institusi penegak hukum saling mengintervensi. (DWA/FER/NWO)
Sumber: Kompas, 6 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan