Mafia Peradilan Versus Law Society
Tertangkapnya lima pegawai Mahkamah Agung oleh KPK, jumat (30/9), dan pengakuan Probosutedjo yang telah mengeluarkan Rp 16 miliar untukpenanganan kasusnya, adalah fakta mafia peradilan dalam sistem pengembanan hukum praktis kita.
Dalam prinsip berpikir system, emergent itu dipahami sebagai produk yang lahir dari pola interaksi antarkomponen yang terdapat dalam sebuah sistem. Jika dasar dan pola interaksi antar- komponen dalam sistem itu baik, maka dia akan melahirkan emergent yang baik pula. Juga sebaliknya. Dalam pengembanan hukum, mafia peradilan ini merupakan produk (emergent) abnormal. Ini berarti ia lahir dari seluruh rangkaian aktivitas pengembanan hukum kita yang juga abnormal.
Pengembanan hukum
Meuwissen (1979:22-32) mendefinisikan pengemban hukum praktis sebagai aktivitas yang ditujukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan dan kehidupan sehari-hari secara nyata, meliputi pembentukan, penemuan, dan bantuan hukum.
Dari pemahaman itu, dapat dicermati, seluruh komponen atau aktor pengemban hukum itu terdiri dari berbagai profesi, mulai dari anggota legislatif, eksekutif, polisi, jaksa, dan hakim hingga advokat. Jika mafia peradilan itu merupakan produk abnormal, berarti kualitas dasar dan pola interaksi antarkomponen dalam sistem pengembanan hukum praktis kita amat rendah.
Hal ini terjadi karena para aktor pengemban hukum kita hanya mengemban tugas-tugas keprofesiannya secara individual tanpa mengindahkan tujuan (visi) kolektif dalam pengemban hukum kita, yaitu terciptanya produk pengembanan hukum yang adil, pasti, dan bermanfaat (Radbruch) bagi masyarakat. Ketiadaan visi kolektif menandakan ketiadaan identitas dalam sistem pengembanan hukum kita.
istributed structure
Dalam pendekatan berpikir sistem, identitas itu dapat dipahami dengan mengenali struktur pembentuknya. Apakah struktur yang meng-air (distributed structure) atau struktur yang terkotak (compartementalised structure).
Sistem yang memiliki struktur yang meng-air adalah sistem yang identitasnya terdiri dari shared invariant values, di mana nilai-nilai yang mengatur pola interaksi tersebar (distributed) ke semua komponen.
Jadi nilai-nilai yang menggerakkan hubungan antarkomponen adalah sama bagi semua komponen. Berbeda dengan struktur terkotak di mana nilai- nilai yang mewarnai pola interaksi antarkomponen adalah nilai yang varian, tergantung interes, status, posisi atau jabatan (fungsi/peran) yang distribusinya ti- dak merata pada semua komponen.
Dari uraian itu dapat dipahami, belum terbentuknya identitas dalam pengembanan hukum praktis kita disebabkan karena sistem pengembanan hukum kita belum memiliki struktur yang meng-air. Struktur yang meng-air ini hanya akan terbentuk jika setiap aktor pengemban hukum, pada semua level komunitas pengemban hukum, berinteraksi berdasarkan nilai-nilai kolektif yang baik (shared invariant values), seperti kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Jika tiap aktor pengemban hukum berinteraksi dengan nilai-nilai yang invarian tersebut, maka perilaku kolektif dalam sistem pengembanan hukum itu akan melahirkan produk pengembanan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang invarian tersebut.
Hal ini terjadi karena sistem pengembanan hukum merupakan jaringan pengabdian yang saling berkaitan dalam melahirkan produk (emergent properties) hukum.
Untuk itu, pola interaksi yang dilakukan para pengemban hukum mensyaratkan kekoherensian antara ide, pikiran, sikap, dan tindakan, baik dalam interaksi horizontal (collegial relationship) maupun vertikal (structural relationship).
Law society
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menciptakan kekoherensian itu adalah dengan membentuk komunitas hukum, law society.
Di beberapa negara yang kualitas pengembangan hukumnya baik, seperti di Amerika Serikat, Eropa, Ausralia, law society terbukti cukup efektif dalam mencegah penyimpangan dalam sistem pengembanan hukum praktis. Ia menjadi forum komunikasi/dialog antara para pengemban hukum dan masyarakat luas tentang hukum dan keadilan.
Struktur kelembagaannya dapat dibentuk oleh masyarakat mulai dari tingkat pusat hingga desa. Keanggotaannya bersifat terbuka, mulai dari polisi, jaksa, hakim, pengacara, LSM, dan tiap anggota masyarakat yang memiliki integritas tinggi dan kepedulian atas penegakan hukum dan keadilan. Kegiatannya dapat difokuskan pada pembahasan isu-isu atau kasus-kasus aktual yang terjadi dalam kegiatan pengembanan hukum kita.
Jika lembaga ini terbentuk berarti kita telah menciptakan laboratorium pembelajaran primer (Hayyan ul Haq, Kompas, 4/8/2005) bagi para pengemban hukum praktis, sekaligus menjadi pusat pembelajaran bagi masyarakat agar tetap terjaga dan sadar pentingnya hukum dan keadilan.
Yang lebih penting, ia dapat menjadi medium pengawasan yang dilakukan seluruh pemerhati hukum dan keadilan atas pengembanan hukum yang sedang berjalan. Syaratnya, interaksi antarkomponen dalam law society harus berbasis invariant non-material values, seperti kebaikan, kebenaran, dan keadilan.
Jika nilai-nilai ideal itu menjadi dasar interaksi para pengemban hukum kita, maka praktik itu akan membentuk kultur (the best daily practices) dan identitas pengembanan hukum kita yang tidak akan pernah menolerir berbagai praktik penyimpangan, termasuk mafia peradilan.
Hayyan ul Haq Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Utrecht
Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Oktober 2005