Mafia Pajak dan Teori Kyosaki
Sekali lagi negeri ini dihebohkan kasus korupsi. Gayus Tambunan, pegawai golongan III A Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Departemen Keuangan, kembali menambah daftar nama koruptor terkenal di negeri ini. Dia diduga menjadi makelar kasus pajak, sekaligus pemilik rekening Rp 25 miliar plus rumah mewah di kawasan elite Kelapa Gading, Jakarta Utara. Jumlah kekayaaan yang tidak lazim diperoleh seorang pegawai muda golongan III A.
Dahsyatnya lagi, mafia pajak terkait 149 perusahaan besar itu diduga melibatkan jenderal berbintang di Mabes Polri.
Kita tentu sangat heran, mengapa korupsi di birokrasi pemerintah dan instansi penegak hukum masih terus merajalela. Rupanya, tekanan keserakahan elite pasar (pengusaha hitam) telah mampu menembus elite penegak hukum kita untuk menghindari pembayaran pajak.
Kriminolog Noach memang benar bahwa kejahatan tidak mungkin bisa dihilangkan sepanjang manusia masih ada di bumi ini. Bahkan, kejahatan itu semakin menjadi-jadi. Karena itu, Noach hanya bisa mengusulkan supaya kejahatan dibatasi atau diupayakan berkurang. Pemikiran Noach itu sejalan dengan pandangan kriminolog Frank Tannembaum yang mengatakan: Crime is eternal - as eternal as society (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat).
Tak Kurang Uang
Penulis buku Robert T. Kyosaki, dalam bukunya berjudul Rich Dad, Poor Dad, mengatakan bahwa ada dua pilihan asumsi dasar dalam menyikapi akar kejahatan. Pandangan pertama mengatakan cinta uang adalah akar kejahatan. Pandangan kedua berkata kurang uang adalah akar kejahatan.
Lalu, Kyosaki mengambil posisi dengan berkata: Aku tidak mungkin mengikuti dua pandangan itu sekaligus. Bila aku mengikuti pandangan yang satu, aku melawan pandangan yang lain. Jadi, Kyosaki harus memilih dan dia memilih pandangan yang kedua, yakni kurang uang adalah akar kejahatan.
Karena itu, sesuai dengan pilihan Kyosaki, perilaku korupsi merupakan dampak dari kurangnya uang pada para pelakunya. Artinya, jika uang dan harta sudah banyak, mafia hukum dan pajak akan berhenti berbuat kejahatan. Dengan demikian, pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan menaikkan para gaji aparatur hukum dan pemerintahan. Menurut Kyosaki, membuat mereka menjadi kaya merupakan solusi efektif.
Kenyataannya, setiap aparat di instansi pemerintah, terutama di Departemen Keuangan, sudah dibayar dengan gaji yang lebih daripada cukup, bahkan tergolong mewah jika dibandingkan dengan warga biasa kelas menengah ke bawah. Misalnya, sebagai pegawai Ditjen Pajak, Gayus menerima gaji dan tunjangan Rp 2,4 juta; remunerasi sekitar Rp 8,2 juta; serta imbalan prestasi rata-rata Rp 1,5 juta. Total take home pay resmi Gayus mencapai Rp 12,1 juta per bulan. Belum lagi pendapatan istri Gayus yang mencapai Rp 5,9 juta tiap bulan sebagai staf di Sekretariat DPR.
Tidak kalah mewahnya dengan gaji para pejabat tinggi aparat hukum kita yang rata-rata belasan juta rupiah per bulan plus berbagai fasilitas rumah dan mobil dinas dari negara. Lebih besar lagi, gaji para pemilik dan pengelola perusahaan yang diduga menggelapkan pajak. Bukankah penghasilan mereka jauh lebih dari cukup?
Kelemahan pemikiran Kyosaki terletak pada pemaknaannya yang keliru antara cinta uang dengan kurang uang. Dari segi makna cinta, cinta uang adalah suatu hasrat yang mendalam untuk memiliki uang, bahkan rela mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Ironisnya, objek cinta yang seharusnya ditujukan kepada Tuhan dan sesama justru ditujukan kepada uang. Objek cinta yang salah merupakan suatu penyimpangan sekaligus menjadi akar perilaku menyimpang (jahat).
Sayang, orang-orang seperti Gayus dan anggota mafia hukum justru menghalalkan segala cara dalam menjalankan jabatannya karena tergila-gila pada uang dan harta. Nilai hidupnya seolah sudah melekat pada uang, bukan lagi pada pemaknaan hidup sebagai abdi negara.
Dalam positioning yang demikian itu, terbukti bahwa cinta uang merupakan akar kejahatan. Paradigmanya, bagaimana meraih uang banyak dengan cepat tanpa memikirkan caranya (benar atau salah). Mafia hukum dan pajak, serta perusahaan-perusahaan yang menggelapkan pajak seolah tidak peduli bahwa ulah mereka telah merusak tatanan sosial, hukum, dan ekonomi di negara kita.
Belajar dari si Miskin
Di negeri ini banyak orang yang kurang uang. Tetapi, mereka tidak otomatis menjadi penjahat. Kalau kejahatan timbul karena kurang uang, puluhan juta penduduk miskin Indonesia akan otomatis berubah menjadi penjahat. Namun, kenyataannya tidak demikian. Justru, orang yang tidak cukup uang lebih banyak belajar tentang makna kehidupan ketimbang orang yang banyak uang tapi memperolehnya dari kejahatan.
Manusia tidak seharusnya mau diperbudak oleh uang. Tetapi, uang harus ditempatkan sebagai alat manusia untuk membantu memaknai hidup yang sesungguhnya di dalam kebenaran, keadilan, dan keindahan. Uang juga tidak seharusnya dijadikan alat untuk menindas orang lain demi tujuan retire young (meminjam istilah Kyosaki). Jadi, perilaku korupsi tidak bisa diatasi dengan kecukupan uang yang sifatnya sangat relatif. Paradigma cinta uanglah penyebab banyaknya manusia melakukan kejahatan, termasuk korupsi. (*)
*). Dr Augustinus Simanjuntak, dosen Fakultas Ekonomi UK Petra Surabaya
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 April 2010