Mafia Menyandera Anggaran
BELUM tuntas penyelesaian kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games yang melibatkan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, dan pejabat Kementerian Pemuda dan Olah Raga, publik kembali dikejutkan oleh kemunculan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Proyek Percepatan Dana Pembangunan Daerah Transmigrasi (PPDT). Kasus itu melibatkan pejabat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pengusaha swasta, dan beberapa pihak yang diduga kuat berelasi dengan kekuatan partai politik tertentu.
Kasus yang terungkap di dua kementerian itu setidaknya menunjukkan tiga hal. Pertama, kebijakan anggaran terus tersandera oleh praktik mafia yang membuat APBN sebagai arena perburuan rente (rent seeking) yang melibatkan politikus, pengusaha, dan birokrat. Selain untuk mendapatkan keuntungan, perburuan rente itu juga menjadi bagian dari upaya melanggengkan kekuasaan politik.
Kedua, hal itu menunjukkan ada kelemahan sistemik dalam sistem dan proses penganggaran sehingga praktik mafia anggaran terus berulang. Kelemahan tersebut terjadi sejak proses perencanaan, penentuan kebijakan, hingga implementasi anggaran di lapangan. Ketiga, kuatnya oligarki dan dominasi kepentingan pragmatis politik menjadikan arah kebiijakan lebih memilih membangun koalisi kepentingan (bisnis) dengan kroni sebagai bentuk politik balas budi daripada memperjuangkan kepentingan konstituen.
Kelanggengan Mafia
Kelanggengan praktik mafia anggaran itu dilatarbelakangi beberapa faktor. Pertama, ada anggapan dari politikus partai politik bahwa menjadi pejabat publik di kementerian adalah arena strategis untuk memperoleh akses kekuasaan, terutama dalam menggunakan sumber dana kementerian sebagai sarana membangun basis kekuasaan politik. Maka tak jarang kita temui ada orang-orang dekat partai yang masuk ke kementerian dengan dalih menjadi staf khusus, asisten, sekretaris, dan sebagainya. Akhirnya tidak bisa dicegah bila dana publik (APBN) dijadikan arena bancakan.
Kedua, praktik mafia anggaran itu melibatkan banyak pihak dengan strategi terkonsolidasi. Pihak-pihak yang terlibat dari kalangan pejabat kementerian, pengusaha, sampai politikus sama-sama mengatur strategi dan konsolidasi untuk membagi-bagi kue bancakan yang bermodus sesuai dengan peran dan wewenang masing-masing.
Konstruksi itu tergambar dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet SES Games. Dalam kasus itu ada proses perencanaan yang rapi pada tahap pembuatan kebijakan di tingkat kementerian dan DPR, serta ada pengusaha yang dijanjikan sebagai pelaksana proyek yang diwajibkan memberikan fee ke berbagai pihak yang dianggap ”berjasa”.
Ketiga, ada ruang diskresi yang cukup besar pada DPR dan pemerintah dalam penyusunan anggaran. Dalam hal ini, DPR memiliki wewenang menentukan mata anggaran hingga level satuan tiga, yang meliputi jenis, fungsi, dan kegiatan. Wewenang dan informasi yang dimiliki itu dapat disalahgunakan sebagai alat tawar-menawar dalam melakukan transaksi dengan pihak yang berkepentingan.
Keempat, ada zona gelap dalam perumusan dan penetapan kebijakan anggaran. Itu ditandai dengan ketertutupan proses penyusunan dan informasi anggaran dari akses publik. Kondisi itu menyebabkan keminiman kontrol publik terhadap kebijakan anggaran.
Menutup Peluang
Berangkat dari realitas itu, perubahan strategis yang harus dilakukan adalah menutup peluang terjadi praktik mafia anggaran. Itu dapat dilakukan melalui penataan kembali pola dan sistem penganggaran dengan mengurangi ruang diskresi yang dimiliki DPR dalam penentuan kebijakan anggaran. DPR seharusnya tak lagi memiliki wewenang alokasi anggaran hingga level mata anggaran satuan tiga. Cukup pada level penentuan program untuk menegaskan kembali fungsi DPR adalah pada level kebijakan.
Selain itu, keberadaan Badan Anggaran (Banggar) DPR perlu dievaluasi. Jika mengacu pada Pasal 107 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPR, fungsi Badan Anggaran hanya membahas hasil keputusan komisi. Namun dalam praktik Badan Anggaran sering kali melanggar ketentuan itu. Dalam kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) Tahun 2011, misalnya, Badan Anggaran mengabaikan pertimbangan komisi dan menyalahi kesepakatan yang dibuat antara pemimpin Badan Anggaran dan Kementerian Keuangan mengenai daerah penerima DPID 2011. Akibatnya, ada beberapa daerah tak mendapatkan dana itu. Hal tersebut disinyalir karena ada permainan mafia anggaran agar daerah tertentu memperoleh dana DPID.
Keterungkapan kasus suap di Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjadi pintu masuk bagi penegak hukum, khususnya KPK, untuk mengungkap tuntas praktik mafia anggaran. Seharusnya penindakan terhadap pihak yang diduga kuat terlibat dua kasus itu tidak sebatas pada pihak yang tertangkap tangan. Namun harus mampu mengungkap aktor utamanya. Itu penting bukan semata-mata untuk memberikan efek jera atau mengembalikan uang negara, melainkan penting bagi pengungkapan mafia anggaran yang lebih luas, yang bisa saja terjadi di banyak kementerian lain.
Sementara di tingkat kementerian, perlu diatur secara tegas soal pengaturan konflik kepentingan dalam penyusunan dan pendistribusian anggaran. Menteri tak seharusnya merekrut dan mendistribusikan program kepada pihak yang terafiliasi dengannya, baik secara kekeluargaan maupun politik. Lebih jauh perlu ada pengaturan yang tegas mengenai larangan rangkap jabatan publik di kementerian dan partai politik. Dalam hal ini, hak prerogatif Presiden menjadi sangat penting. Tindakan tegas Presiden seharusnya hadir dengan melakukan inspeksi ke semua kementerian saat praktik korupsi dan pengabaian konflik kepentingan (conflict of interest) telah ditemukan di satu kementerian. Sebab, kehadiran Presiden dibutuhkan rakyat tidak hanya saat pertandingan Timnas PSSI di Senayan. Semoga. (51)
Abdullah Dahlan, Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 19 September 2011