Macan Ompong Pengawas Haji
Dewan Perwakilan Rakyat mengakui banyaknya anggota rombongan ke Mekah yang tak termasuk dalam Tim Pengawas Haji. Mereka terdiri atas para anggota Dewan komisi lain yang tak mengurusi haji serta para kerabat dan sanak saudara anggota tim (Koran Tempo, 5 November). Selain membawa anggota keluarga, hasil penelitian Indonesia Corruption Watch memperlihatkan bahwa anggota Komisi VIII DPR pun pernah menerima fasilitas dari Kementerian Agama ketika melakukan pengawasan haji pada 2009 berupa akomodasi di Hotel Almadina Palace, Jeddah, senilai 8.675 riyal dan bantuan transportasi di Arab Saudi. Sedangkan pada 2005, uang perjalanan dinas masing-masing sebesar US$ 2.845.
Cara DPR mengawasi penyelenggaraan haji sangat mengecewakan. Menerima uang dan fasilitas dari Kementerian Agama yang mereka awasi jelas mengganggu independensi DPR. Selain itu, pengawasan hanya berfokus pada saat pelaksanaan ibadah, padahal titik paling rawan justru pada saat penentuan ongkos haji dan pengadaan. Apalagi, ketika melakukan pengawasan, konsentrasi mereka terpecah karena nyambi menemani istri atau suami menunaikan ibadah. DPR tidak bisa diandalkan dapat melakukan pengawasan dengan baik. Karena itu, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas dan bebas dari korupsi, adanya lembaga pengawas independen menjadi kebutuhan mendesak.
Komisi pengawas
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dimuat ketentuan mengenai pembentukan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). KPHI merupakan lembaga mandiri yang bertugas mengawasi penyelenggaraan ibadah haji. Tugas utamanya adalah melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.
Ada empat fungsi KPHI. Pertama, memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji Indonesia; kedua, menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat; ketiga, menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji; keempat, merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah Haji.
Dari sisi komposisi, KPHI terdiri atas sembilan anggota. Enam orang dari unsur masyarakat dan tiga orang unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat. Sedangkan unsur pemerintah ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji.
Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, KPHI bertanggung jawab kepada presiden dan melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada presiden dan DPR paling sedikit satu kali dalam satu tahun. Masa kerja anggota KPHI selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Masalahnya, independensi dan kemampuan anggota KPHI sangat patut dipertanyakan. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, anggota "pesanan". Berdasarkan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji, KPHI terdiri atas sembilan anggota. Tapi komposisinya sangat aneh. Dari sembilan anggota, tiga anggota sudah menjadi "jatah" pemerintah (kementerian/instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji). Sisanya, tiga anggota yang berasal dari unsur masyarakat, pun sudah ditetapkan dari kelompok/organisasi tertentu, seperti MUI.
Komposisi KPHI hampir mirip seperti komposisi Dewan Pengawas Badan Pengelola DAU. Dalam Dewan Pengawas Badan Pengelola DAU, selain perwakilan dari Kementerian Agama, anggota lain berasal dari MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, maupun Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Kenyataannya, mereka tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi dengan baik. Dewan Pengawas hanya menjadi pajangan dan legitimasi bahwa tata kelola pengelolaan DAU sudah bagus. Akibatnya, DAU menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya korupsi. Bahkan dua mantan Menteri Agama, Said Agil al-Munawar dan Maftuh Basyuni, diduga memiliki keterkaitan dengan penyelewengan DAU.
KPHI bisa dipastikan akan mengulangi kegagalan dewan pengawas BP DAU. KPHI hanya akan menjadi "macan ompong" dan tidak akan bisa bersikap kritis terhadap Kementerian Agama. KPHI hanya akan menjadi pembenaran terhadap Kementerian Agama bahwa mereka telah mereformasi penyelenggaraan haji.
Penyebab kedua, kualitas KPHI. Berdasarkan latar belakang calon anggota KPHI, pemerintah dan ormas Islam, kemampuan mereka melakukan pengawasan patut dipertanyakan. Calon anggota dari pemerintah sudah bisa dipastikan tidak akan bisa bersikap kritis kepada atasannya. Sedangkan calon anggota dari ormas Islam tidak memiliki pengalaman dalam melakukan pengawasan, terutama dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, akal-akalan proses pemilihan. Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat pertimbangan DPR. Artinya, tanpa ada persetujuan dari Menteri Agama, siapa pun tidak akan lolos. Tentu saja Menteri Agama tidak akan memilih calon anggota yang kritis. Malah, dalam seleksi calon anggota KPHI pada 18-26 Oktober 2010, Menteri Agama Suryadharma Ali turun langsung menjadi ketua tim seleksi dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai wakilnya.
Selain itu, walau pengumuman resmi Kementerian Agama bahwa seleksi dilakukan pada 18-26 Oktober 2010, di berbagai media Menteri Agama menyatakan sudah menerima beberapa calon anggota. Pada 4 Oktober 2010, Menteri Agama menyatakan nama-nama calon anggota tim pengawas haji sudah masuk. Para calon tersebut berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat (www.bataviase.co.id).
Hal tersebut sangat aneh. Sebab, pengumuman resmi mengenai rekrutmen anggota KPHI baru dilakukan dua minggu kemudian. Ini makin memperkuat kecurigaan bahwa Kementerian Agama sudah merancang siapa saja yang akan terpilih sebagai anggota KPHI. Sudah bisa dipastikan bahwa KPHI hanya akan menjadi "boneka" Kementerian Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Walau adanya Komisi Pengawas Haji menjadi kebutuhan mendesak, dengan komposisi dan cara seleksi seperti sekarang, lembaga tersebut tidak akan banyak membantu memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah dan DPR yang menyusun UU penyelenggaraan haji sepertinya sengaja membuat KPHI mandul. Karena itu, UU Penyelenggaraan Haji, yang menjadi dasar pembentukan KPHI, harus ditinjau ulang agar komposisi anggotanya independen serta proses pemilihannya lebih terbuka dan independen.
Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 November 2010