Maaf Rakyat Indonesia
Kata maaf merupakan ungkapan penyesalan mendalam atas (satu) tindakan yang tidak disukai atau melukai, minimal menyusahkan orang lain. Orang sadar akan tindakan yang keliru. Karena itu, terkandung pula tekad untuk tidak mengulangi tindakan tersebut.
Namun, dalam politik, kata maaf bermakna lain. Kata itu digunakan sebagai alasan pembenar atas (satu) tindakan yang salah, namun tidak mengubah tindakannya sendiri. Politik menyoal kekuasaan, relasi antara penguasa dan rakyat. Bila kata maaf diucapkan pemerintah, jangan berharap ada ungkapan penyesalan karena membuat rakyatnya susah. Mereka hanya minta pengertian rakyat atas tidakan keliru yang diambil pemerintah, walaupun tindakan tersebut tetap dilakukan.
Itulah yang kita saksikan akhir-akhir ini. Ketika menaikkan harga BBM Maret 2005, tak kurang Presiden SBY dan Wapres Kalla mengumbar kata-kata maaf. Bunyinya: Maaf, ini keputusan yang berat, tapi percayalah tidak ada maksud pemerintah menyengsarakan rakyatnya.
Bahkan, lagi-lagi saat menaikkan harga BBM Oktober 2005, SBY berucap: Maaf, ini pil pahit yang harus kita telan untuk menyembuhkan APBN. Mudah ditebak kalimat selanjutnya, Menyelamatkan APBN sama artinya dengan menyelamatkan nasib rakyat Indonesia.
Untung atau Rugi?
Perjalanan waktu membuktikan, kata maaf digunakan pemerintah hanya untuk melindungi kepentingan para saudagar yang saat ini mengendalikan negara kita. Logika dagang berlaku utuh dalam kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Beli sedikit untuk melakukan ekspansi dan monopoli. Gunakan umpan Rp 100 ribu untuk mendapatkan triliunan rupiah.
Mari kita ingat. Pada saat menaikkan harga BBM, pemerintah menggunakan logika kerugian BBM. Namun, ketika menaikkan tunjangan pejabat negara, termasuk presiden dan anggota DPR, digunakan logika keuntungan BBM. Mana yang benar? Kenaikan harga BBM dunia merugikan atau menguntungkan kita? Logika dan etika politik sudah selip, ditekuk-tekuk pula.
Rakyat miskin dibohongi dengan cipratan bantuan Rp 100 ribu. Itu pun dengan korban nyawa, keretakan hubungan sosial pada tingkat RT, dan hanya diberikan tiga bulan sekali. Artinya, tidak ada jaminan cipratan Rp 100 ribu itu akan berlanjut untuk masa-masa berikutnya. Sebab, logika pemerintah hanya mohon pengertian rakyat bahwa harga BBM akan digelontor ke arah harga pasar dunia.
Setelah itu, kata Menko perekonomian, mekanisme pasar akan menentukan sesuai dengan prinsip liberalisme ekonomi. Bantuan pemerintah, walau hanya Rp 100 ribu, tidak dikenal dalam logika liberalisme.
Rakyat makin prihatin melihat para pemimpin yang mereka pilih dalam Pemilu 2004, ternyata, aktor sinetron yang pandai berlakon daripada pemikir yang pandai bekerja. Karena itu, menjelang Idul Fitri 1426 H, banyak rakyat yang berdoa: Ya Allah, maafkanlah kami yang telah salah memilih pemimpin.
Lihatlah rangkaian sandiwara ini. Karena mendapatkan keuntungan kenaikan harga BBM Maret 2005, maka 5 Juli 2005 DPR mengajukan kenaikan upah bulanan Rp 38,01 juta (naik 33,9 persen) untuk anggota; Rp 51,39 juta (naik 71,9 persen) untuk wakil ketua, dan Rp 65,17 juta (naik 85.2 persen) untuk ketua. Sehari kemudian, upah presiden diusulkan menjadi Rp 52,22 juta (naik 5 persen) dan Wapres Rp 42 juta (naik 5 persen).
Rupanya belum cukup. Berdasar keuntungan kenaikan harga BBM Oktober 2005, tunjangan operasional anggota DPR ditambah lagi Rp 10 juta per bulan. Adapun untuk presiden, tunjangan rutin operasional diusulkan menjadi Rp 1,14 triliun (naik 57,7 persen), dana operasional tambahan untuk kegiatan khusus Rp 24 miliar, dan untuk sewa pesawat terbang Rp 50 miliar.
Untuk Wapres, tunjangan operasional khusus menjadi Rp 179,2 miliar (naik 145 persen), dana operasional tambahan Rp 12 miliar, dan sewa pesawat Rp 25 miliar.
Kalahkan Sri Mulat
Lalu, muncul sandiwara yang tingkat kelucuannya mengalahkan kelompok pelawak Sri Mulat. Anggota DPR dan fraksi-fraksi berteriak akan melakukan perlawanan di sidang DPR. Keterlaluan, rakyat menderita, kenapa kita naikkan tunjangan, demikian kira-kira kata mereka.
Namun ketika sidang digelar, tidak satu pun wakil rakyat yang menentang. Melakukan interupsi saja tidak. Yang muncul malah kata Maaf, karena kami harus memenuhi tuntutan konstituen.
Siapa konstituen itu? Ya, rakyat. Jadi, pernyataan itu seakan menyatakan bahwa rakyatlah yang menyebabkan mereka korup. Waduh.
Presiden SBY tampil dengan gaya berbeda. Melalui Jubirnya, presiden menyatakan terkejut dengan kenaikan anggaran hingga 57,7 persen, merasa tidak dilapori oleh Menkeu. Logika awam saja tidak bisa menerima alasan SBY tersebut. Bagaimana mungkin presiden tidak tahu keputusan penting yang diambil dalam sidang kabinet yang saat itu dipimpinnya?
Sandiwara digelar. Presiden memanggil Menkeu dan memerintahkan untuk merevisi. Namun, hingga sejam sebelum sidang DPR 28 Oktober 2005, sikap SBY tetap jalan terus dengan anggaran Rp 1,14 triliun. Karena kritik tidak kunjung reda, SBY memerintahkan Menkeu kembali ke anggaran 2005. Hasilnya, usul Rp 1,14 triliun hanya dipotong Rp 166 miliar. Artinya, jumlah itu tetap saja lebih tinggi daripada anggaran tahun 2005.
Geli rasanya melihat presiden dipecundangi bawahannya. Geli bila mengingat presiden tidak memiliki kontrol terhadap tingkah laku pembantunya.
Geram rasanya melihat para pelacur intelektual di seputar pusat kekuasaan, bersedia menanggalkan otak dan nurani mereka, lalu mengutamakan okol dan ketamakan ekonomi.
Geram, sedih, nelangsa melihat deretan kursi yang kosong melompong saat sidang paripurna DPR membahas APBN 2006 pada 28 Oktober lalu. Untuk apa mereka diupah mahal? Apa prestasi spektakuler mereka, baik anggota DPR maupun kalangan eksekutif, untuk menolong kesulitan rakyat?
Mereka bukan sekadar tidak bisa bersikap empati, juga kehilangan akal sehat. Siapa pun tahu, baru mendengar harga BBM atau kenaikan gaji PNS saja, harga-harga sudah merambat naik. Apalagi, bila benar-benar dinaikkan. Sebelum Maret 2005, harga kebutuhan barang (kebutuhan pokok) merambat naik. Lalu, harga melonjak mengikuti kenaikan harga BBM. Harga merambat naik lagi begitu ada kabar kenaikan harga BBM Oktober dan terus meroket saat harga BBM benar-benar dinaikkan.
Sekarang, ketika harga-harga masih naik, diumumkan lagi gaji PNS akan naik 15 persen mulai Januari 2006. Bisa dipastikan, harga akan ikut naik lagi. Lalu, kata Menko Perekonomian, harga BBM akan disesuaikan lagi Januari 2006. Harga barang pun akan kembali menyesuaikan diri. Ibarat pelompat tinggi, pemerintah melompat tinggi sekali dan tidak kembali lagi.
* Riswandha Imawan, guru besar UGM Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 31 Oktober 2005