Maaf, Hukum, dan Perdamaian
Masuknya Pak Harto ke rumah sakit kembali menimbulkan polemik tentang kasus hukum penguasa Orde Baru itu. Muncul beragam pendapat dan komentar. Sebagian pendapat ada yang mencla-mencle, inkonsisten, tetapi ada pula yang menunjukkan kekurangpahaman tentang masalah hukumnya sendiri.
Salah satu contoh, permintaan agar Presiden Yudhoyono merehabilitasi mantan Presiden Soeharto. Permintaan itu muncul akibat kekurangpahaman tentang asas praduga tak bersalah bahwa bagaimana mungkin bicara tentang rehabilitasi sebelum ada vonis pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde) yang menyatakan penguasa Orde Baru itu tidak terbukti bersalah.
Saya sendiri memilih tidak tergesa-gesa menulis hal itu meski beberapa hari lalu berkesempatan mengemukakan pendapat tentang kasus hukum Pak Harto di RRI Jakarta. Inti pendapat itu, terlepas dari polemik tentang kasus hukum Pak Harto, sebagai umat beragama, marilah kita mendoakan agar Pak Harto dapat sembuh.
Memaafkan
Saya berusaha tidak larut dalam eforia emosional soal kasus hukum Pak Harto dan berupaya memandangnya secara lebih proporsional meski sebagai seorang mantan Ketua BEM 1977-1978 pernah ditahan selama enam bulan oleh Kopkamtib di era kepemimpinan Pak Harto. Namun, saya sudah lama memaafkan Pak Harto pribadi maupun seluruh aparat keamanan yang dulu terlibat proses penangkapan, penahanan, dan interogasi terhadap diri saya.
Demikian juga pendapat yang keberatan Pak Harto dimakamkan dengan upacara kenegaraan. Andai Pak Harto wafat, juga merupakan pendapat keliru, karena Pak Harto belum pernah divonis sebagai terbukti bersalah. Karena itu, seluruh hak- hak kenegaraan Pak Harto, baik sebagai mantan presiden maupun seorang jenderal bintang lima, sama sekali tidak bisa dikurangi sedikit pun.
Dengan dikeluarkannya surat penghentian penuntutan terhadap perkara pidana Pak Harto, artinya kita tidak usah berpolemik tentang kasus pidana Pak Harto karena kasus pidananya bisa diteruskan jika ada penyidikan baru. Namun, ini hampir mustahil mengingat realitas kesehatan Pak Harto. Karena itu, yang lebih realistis jika polemik atau diskusi tentang kasus hukum Pak Harto difokuskan pada kasus gugatan perdata saja.
Namun, sebelumnya harus dikatakan, tak terlalu tepat jika ada anggapan bicara soal hukum, adalah terpisah dari persoalan