MA Versus Komisi Yudisial
Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung akhir- akhir ini kian kritis. Penyebabnya, adanya rencana MA untuk menggugat KY karena membocorkan 13 nama hakim dan hakim agung yang dilaporkan masyarakat ke publik.
Banyak pihak menyimpulkan bahwa ketegangan di antara kedua lembaga negara itu disebabkan adanya usulan Komisi Yudisial untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk menyeleksi ulang seluruh hakim agung. Padahal, hal itu sebenarnya merupakan imbas dari hubungan yang tidak sehat di antara kedua lembaga itu selama ini khususnya berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap hakim.
Sebelumnya, pertentangan yang terjadi antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) masih berkisar dalam tataran yuridis. Namun, dengan adanya rencana gugatan perdata sebagaimana diberitakan di Kompas (27/1), pertentangan itu sudah tidak yuridis lagi. Sudah ada unsur subyektivitas di sana dan ini tentu saja akan merugikan dunia peradilan pada umumnya.
Persoalan yuridis
Kita semestinya tidak bergembira dengan kenyataan adanya pertentangan antara MA dan KY apalagi jika melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK). Bila ketiga lembaga itu bertikai tentu saja sangat merugikan kita semua. Itu harus disikapi secara bijaksana dan dilihat secara yuridis, bukannya menjadi ajang pertarungan gengsi dan keilmuan di antara para anggota masing-masing.
Bagi kami, terlepas dari rencana MA untuk menggugat KY, sebenarnya masih banyak hal yang perlu didiskusikan secara yuridis mengenai kewenangan pengawasan masing-masing lembaga tersebut. Misalnya mengenai yurisdiksi tugas pengawasan hakim, perlu didiskusikan sejauh mana pengawasan hakim dapat dilakukan oleh KY, apakah termasuk pengawasan terhadap putusan hakim.
KY jelas tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap putusan hakim karena hal itu berkaitan dengan indepedensi kekuasaan kehakiman (independence of judiciary). Namun, KY di dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku seorang hakim dapat saja melakukan pemeriksaan berkas perkara karena dari sanalah KY dapat menelusuri apakah perilaku hakim bermasalah atau tidak. Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY menyebutkan bahwa KY mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Oleh karena itu, dalam rangka menjaga perilaku hakim, KY mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dan mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada MA dan/atau MK. Dalam rangka pengawasan tersebut, KY menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/atau MK serta tindakannya kepada presiden dan DPR.
Dengan demikian, kewenangan KY di dalam pengawasan memang cukup besar, tetapi kewenangan tersebut telah dibatasi oleh UU dengan ketentuan Pasal 22 Ayat (2) UU No 22/2004 yang mewajibkan KY di dalam menjalankan kewenangannya harus menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Sementara itu, tugas pengawasan yang diemban oleh MA sesuai dengan UU No 5/2004 tentang Perubahan atas UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung antara lain menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim. Di sinilah yang menjadi sengketa kewenangan karena adanya perbedaan yang sangat tipis antara pengawasan terhadap perbuatan tercela hakim dari MA dan pengawasan perilaku hakim oleh KY.
Akses publik atas informasi
Kemudian, masalah yuridis lain yang berkaitan dengan pengawasan adalah masalah kerahasiaan. Pasal 22 Ayat (2) huruf b UU No 22/2004 tentang KY dinyatakan KY wajib menjaga kerahasiaan keterangan yang sifatnya merupakan rahasia KY yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Ini artinya kerahasiaan tersebut ditetapkan oleh KY apakah suatu keterangan dapat dipublikasikan atau tidak. Selanjutnya, Pasal 38 UU No 22/ 2004 menyebutkan bahwa KY bertanggung jawab kepada publik melalui DPR yang dilaksanakan dengan cara menerbitkan laporan tahunan yang antara lain berisikan data dari pelaksanaan fungsi pengawasan; dan cara kedua adalah membuka akses informasi secara lengkap dan akurat kepada publik. Dengan demikian, jelas laporan masyarakat terhadap hakim/hakim agung merupakan bagian dari informasi yang harus diketahui publik.
Oleh karena itu, menjadi suatu yang aneh bila kemudian MA berencana menggugat KY karena adanya pembocoran nama-nama hakim agung yang dilaporkan oleh masyarakat. Apalagi kalau gugatan itu benar terlaksana, maka pertanyaannya siapa yang nantinya akan memeriksa perkara gugatan tersebut. Tentu saja akan terjadi konflik kepentingan karena hakim-hakim di pengadilan tersebut berada di bawah MA. Jadi, lebih baik lupakanlah rencana gugatan tersebut dan mari kita berpikir lebih jernih untuk menuntaskan konflik yang ada sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Apabila pelaksanaan kewenangan KY itu kemudian sangat mengganggu independensi hakim dan kinerja hakim, maka langkah yang paling tepat adalah melakukan uji materiil terhadap UU KY dan/atau membawa sengketa tersebut ke MK sebagai sengketa di antara lembaga negara. Ketua MK Jimly Asshiddiqie sendiri sudah mengajak MA dan KY untuk menyelesaikan persoalan yang ada di MK ketimbang melakukan gugatan perdata maupun pidana.
Akhirnya perlu dipahami bersama bahwa MA adalah benteng terakhir dari pencari keadilan sehingga kita memerlukan MA yang bersih dan diisi oleh hakim-hakim agung yang benar-benar bermartabat. Untuk mendapatkan hakim-hakim agung yang bermartabat, maka peran KY sebagai lembaga pengawasan dan yang mencalonkan hakim-hakim agung juga sangat kita perlukan.
Karena itu, apabila terjadi konflik di antara kedua lembaga ini, konflik itu harus diselesaikan secara yuridis dan kelembagaan terlepas dari adanya kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Amir Syamsuddin, Praktisi Hukum, di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 1 Februari 2006