MA Terbitkan SK Keterbukaan Informasi

Masyarakat tak perlu lagi menyuap petugas peradilan untuk mendapatkan informasi putusan perkara. Sebab Ketua MA telah mengeluarkan SK tentang keterbukaan informasi di pengadilan.

Walau mengapresiasi program transparansi dunia peradilan yang dikeluarkan oleh MA tersebut, namun Indonesian Corruption Watch (ICW) mengingatkan adanya potensi masalah dalam implementasinya.

Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, mengatakan keputusan Ketua MA (KMA) nomor 144/SKMA/SK/VIII/2007 tanggal 28 Agustus 2008 itu merupakan langkah positif bagi proses reformasi dunia peradilan.

Apabila bisa benar dilaksanakan, ujarnya, maka akan meminimalisir praktek korupsi dalam dunia peradilan Indonesia selama ini.

Masalahnya, lanjut dia, ada beberapa problem terkait keluarnya keputusan tersebut yang potensial menimbulkan masalah dalam implementasinya.

Masalah pertama, ujar Emerson, program transparansi di MA terjadi salah satunya karena dukungan lembaga donor. Apabila dana dari donor tersebut terhenti, dikhawatirkan program transparansi tersebut juga berhenti.

Selain itu, kami menilai will transparansi belumlah secara menyeluruh. Akibatnya ketika terjadi pergantian pimpinan di sebuah lembaga peradilan diganti, maka kebijakan juga akan berganti, jelasnya dalam diskusi bertajuk 'Mencermati Keterbukaan Informasi di Pengadilan' di Jakarta, Selasa (11/9).

Masalah kedua, lanjutnya, adalah masih adanya resistensi di internal pengadilan sendiri, baik dari pegawai hingga panitera pengadilan. Sebab dengan keluarnya KMA tersebut, peluang untuk mencari keuntungan dari proses peradilan semakin kecil.

Ketiga, kami menilai implementasi KMA takkan berjalan dengan baik tanpa perbaikan kualitas SDM, pengawasan dan pembinaan hakim, panitera, staf pengadilan, serta perbaikan manajemen perkara, tandasnya.

KMA nomor 144 itu sendiri memuat gagasan untuk membuka akses publik terhadap pengadilan. Tertera adalah kewajiban bagi institusi peradilan untuk menjamin transparansi bagi publik dalam penyelenggaraan peradilan. KMA terdiri dari 35 pasal dan sembilan bab.

Dalam KMA tersebut, hak publik dilindungi untuk mengetahui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan yang belum berkekuatan hukum tetap pada kasus terkait korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang dan perkara yang menarik perhatian publik.

Namun, ICW memberikan beberapa catatan kritis terhadap beberapa substansi KMA 144 itu. Pertama adalah Pasal 4, di mana MA belum mewajibkan adanya petugas khusus yang mengurus informasi dan dokumentasi untuk publik di tiap tingkat pengadilan seluruh Indonesia.

Kedua, Pasal 19 yang mengatur informasi tentang organisasi, administrasi, kepegawaian dan keuangan pengadilan.

Dalam KMA, yang bisa diakses publik hanya pedoman pengelolaan saja, sedangkan pengelolaannya sendiri tak bisa diakses publik. Harusnya lebih lengkap, ujar Emerson.

Ketiga, lanjutnya, KMA masih memberikan kewenangan penuh bagi penanggung jawab (ketua pengadilan, panitera dan atau sekretaris MA) untuk menentukan boleh tidaknya perolehan sebuah informasi peradilan.

Keempat, Pasal 30 - 31 memang memberikan peluang bagi masyarakat pemohon untuk mengajukan keberatan kepada Kepala PN bila permohonan informasi ditolak. Masalahnya, tidak diatur mekanisme banding lebih lanjut apabila keberatan yang diajukan tak sesuai harapan.

Selain itu keberatan hanya bisa diajukan kepada yang setingkat Kepala PN. Namun tak ada mekanisme keberatan terhadap penanggung jawab di tingkat MA, jelasnya.

Terakhir, Pasal 34 yang mengatur sanksi administratif bagi penanggungjawab informasi dan dokumentasi yang dengan sengaja membuat informasi tak benar atau menghalangi pelaksanaan KMA 144.

Tapi bagaimana sanksi dengan yang benar-benar tidak melaksanakan keputusan KMA 144 ini? Itu tidak diatur sama sekali, tukasnya.

Sementara di tempat yang sama, pengamat hukum UI Muhammad Yasin mengatakan untuk menjalankan KMA 144 tersebut, MA perlu mempersiapkan SDM yang baik.

Sebaiknya setiap pengadilan harus memiliki petugas khusus yang melayani permintaan informasi. Jika ingin menampilkannya secara softcopy, tentunya petugas harus melek teknologi, ujar Yasin.

Selain itu, imbuhnya, MA harus mulai memikirkan untuk mencari sumber dana untuk menjalankan program tersebut. Sebab program saat ini masih dibiayai sepenuhnya oleh lembaga donor dari Australia dalam rangka Indonesia - Australia Legal Development Facility (IALDF).

Bagaimana dananya kalau donor terhenti. Apakah biaya MA akan terhenti ke seluruh PN. Makanya sumber pendanaan lebih lanjut harus mulai dipikirkan, tandasnya. (Mjs/Ol-03)

Penulis: Markus Junianto Sihaloho

Sumber: Media Indonesia Online, Selasa, 11 September 2007 16:02 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan