MA: KPK Diberi Akses Buka Rahasia Bank

Mahkamah Agung menegaskan, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Mengacu pada ketentuan itu, prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No 20/2001 juncto Pasal 42 UU Perbankan tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Demikian surat Mahkamah Agung (MA) Nomor KMA/694/ R.45/XII/2004 yang ditandatangani Ketua MA Bagir Manan tanggal 2 Desember 2004, perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank. Surat MA ini dikeluarkan untuk menjawab Surat Gubernur Bank Indonesia (BI) tertanggal 8 Agustus 2004 Nomor 6/2/GBI/DHk/Rahasia, yang meminta pertimbangan hukum MA untuk menjawab persoalan kewenangan KPK dalam membuka rahasia bank.

Menanggapi hal itu, ekonom Bank BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan, keputusan MA yang memberikan wewenang kepada KPK untuk menyidik tindak pidana yang terjadi di perbankan merupakan suatu terobosan yang sangat jitu. Hal tersebut, katanya, dipastikan akan bisa mengurangi kasus kejahatan perbankan yang selama ini cenderung meningkat.

Peran KPK akan menambah kekuatan dalam memberantas kejahatan perbankan, katanya. Selama ini, lanjut Ryan, kejahatan perbankan terus berulang akibat keterbatasan polisi dalam mengusut kasus-kasus tersebut. Selain itu, masuknya KPK sebagai penyidik akan menimbulkan efek jera bagi oknum pelaku dan orang lain karena selama ini KPK dikenal berani dan cepat bertindak, katanya.

Kendati demikian, Ryan mengingatkan bahwa kejahatan di perbankan selalu berkembang dan canggih. Oleh karena itu, aparat KPK sebaiknya memiliki pengalaman dan mengetahui lika-liku perbankan.

Diatur khusus

MA menegaskan, Pasal 12 UU No 30/2002 telah mengatur secara khusus kewenangan KPK, khususnya di dalam Pasal 12 huruf c dan huruf d. Selain itu, berpedoman pada asas bahwa ketentuan undang-undang (UU) yang baru mengesampingkan UU yang lebih lama, maka prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No 20/2001 juncto Pasal 42 UU Perbankan tidak berlaku bagi KPK.

Pasal 29 Ayat (1) UU No 20/2001 hanya membolehkan penyidik, penuntut umum, atau hakim meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Di dalam Ayat (2) dan Ayat (3) diatur tentang cara pengajuan permintaan keterangan dan kewajiban Gubernur BI untuk memenuhi permintaan tersebut.

Ketua MA Bagir Manan kepada wartawan di Jakarta, Senin (20/12), mengatakan bahwa surat tersebut dikeluarkan oleh MA untuk menjawab keraguan BI soal kewenangan KPK dalam mengakses kerahasiaan bank. Di dalam surat tersebut, kata Bagir, MA hanya menegaskan kembali UU No 30/2002 yang memberikan kewenangan kepada KPK. MA hanya memberi tahu kepada BI bahwa KPK berwenang, kata Bagir menjelaskan.

Surat keputusan bersama

Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas menyambut gembira dan bersyukur atas keluarnya fatwa MA tersebut. Ia menyatakan, fatwa MA itu menjawab kendala utama yang selama ini dihadapi KPK, terutama dalam mengakses rekening bank para tersangka korupsi yang ditangani KPK. Erry berharap fatwa ini akan memudahkan KPK menjalankan fungsinya.

Selama ini kami tidak sampai ke pembukaan rekening bank, baru sebatas digunakannya bukti-bukti lain. Untuk dua kasus pertama yang akan ditangani KPK, KPK hanya menunggu penetapan pengadilan agar KPK bisa membuka akses bank. Adanya fatwa MA ini akan sangat membantu KPK dalam mempercepat perolehan bukti-bukti, kata Erry.

Ia melanjutkan, KPK selama ini sudah melakukan penjajakan dengan BI agar KPK diperkenankan membuka akses ke rekening bank. Keluarnya fatwa MA ini akan kami tindaklanjuti dengan Bank Indonesia, yakni dibuatnya surat keputusan bersama (SKB) antara KPK dan BI. Kami sungguh menyambut gembira fatwa MA ini, kata Erry.

Surat Ketua MA tersebut dibuka dengan penjelasan umum yang tercantum di dalam UU No 20/2001 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Disebutkan dalam penjelasan, penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.

Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan mana pun, dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan UU No 31/1999 tentang KPK sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001.

Di dalam undang-undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagaimana lex specialis.

Surat MA juga menyebutkan, Pasal 12 UU No 30/2002 merupakan lex specialis yang memberikan kewenangan kepada KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sebagai lex specialis, ketentuan Pasal 12 dapat mengesampingkan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum. (FAJ/VIN)

Sumber: Kompas, 21 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan