MA Bersikeras Tolak Sebutkan Nama Hakim

Mahkamah Agung (MA) menolak menyebutkan nama hakim, staf, dan panitera yang diduga kuat bermasalah. Alasannya, pengungkapan identitas serupa itu tidaklah etis.

Demikian penjelasan Ketua Muda Pengawasan MA Gunanto Suryono, kemarin, di Kantor MA, Jakarta. Pengungkapan nama, menurut Gunanto, baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bersalah. Itu (nama-nama hakim, staf, dan panitera) tidak bisa diungkap. Secara etis tidak benar, katanya.

Didesak soal perlunya MA menerapkan prinsip transparansi, Gunanto hanya berujar singkat, Mau transparan bagaimana. Kalau sudah dihukum, baru bisa (diungkap).

Sebenarnya secara pribadi, Gunanto ingin orang lain dapat mengambil hikmah dari pelanggaran yang dilakukan oleh para hakim, staf, ataupun panitera itu. Namun, sambung dia, ada sistem yang membatasi kemungkinan dilakukannya pengungkapan nama-nama mereka.

Terkait dengan pelanggaran atau penyimpangan oleh aparat peradilan, Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqoddas mengibaratkan mafia peradilan di Indonesia seperti kanker ganas. Sehingga pemberantasannya harus dilakukan secara sistematis dan tidak cukup hanya dilakukan oleh lembaga negara saja. Mafia peradilan ini membuat peradilan negara kita terpuruk, katanya dalam orasi pada acara Deklarasi Gerakan Nasional Anti Mafia Peradilan.

Dalam deklarasi diputuskan pula beberapa langkah guna memerangi mafia peradilan, antara lain membuka 47 pos pengaduan di seluruh Indonesia serta melakukan pendampingan dan bantuan hukum terhadap seluruh pelapor dalam kasus mafia peradilan.

Belum diperiksa
Sementara itu, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Khairiansyah Salman, kemarin, membantah dana sebesar Rp10 juta yang diterimanya dari Departemen Agama terkait dengan proses audit BPK. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi III DPR, Khairiansyah menjelaskan bahwa dana diberikan oleh Depag dalam rangka pengkajian makalah pada September 2003.

Dan saya hadir di acara itu karena diperintahkan pimpinan BPK dalam rangka pengkajian makalah, katanya.

Seperti diberitakan Media sebelumnya, Khairiansyah menjadi tersangka akibat diduga menerima dana abadi umat (DAU) Departemen Agama senilai Rp10 juta ketika menjabat sebagai auditor BPK, untuk biaya transpor dalam rangka proses audit.

Lantaran itu, Khairiansyah mengaku terkejut dan shocked saat mengetahui lewat internet penetapan status dirinya sebagai tersangka. Terlebih pada saat bersamaan, Khairiansah mengaku sedang melakukan perjalanan ke luar negeri guna menerima penghargaan atas jasanya membongkar korupsi. Hingga kini pun saya belum menerima surat dari Kejaksaan Agung soal penetapan status tersangka dan belum pernah diperiksa oleh Timtas Tipikor, katanya.

Perlindungan saksi
Pada kesempatan terpisah, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki mengatakan mekanisme perlindungan saksi harus secepatnya diatur dalam sebuah undang-undang. Agar dapat melindungi saksi-saksi yang melaporkan perbuatan melanggar hukum dan korupsi. Selain itu, perlu ada pengembangan strategi khusus di KPK, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung berkaitan dengan mekanisme perlindungan saksi tersebut.

Teten juga mengharapkan lembaga-lembaga itu tidak melibatkan saksi terlalu jauh secara aktif dalam menjerat para pelaku tindak pidana, khususnya pelaku praktik korupsi. Perlindungan saksi diperlukan agar minat masyarakat yang ingin membongkar kasus-kasus korupsi yang sangat sulit untuk diusut tidak menjadi surut, katanya. (KL/*/*/P-5)

Sumber: Media Indonesia, 8 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan