Lupakan Kasus Soeharto?

Mei 2012 hampir berakhir. Tahun ke-14 setelah Orde Baru tumbang. Siapa di antara kita yang masih ingat kasus Soeharto? Mantan Presiden RI yang lolos dari dakwaan korupsi oleh kejaksaan itu dinyatakan tidak melakukan perbuatan melawan hukum oleh pengadilan hingga Mahkamah Agung.

Jika lembar sejarah dibalik, teriakan yang paling berkumandang 14 tahun lalu adalah turunkan Soeharto dan berantas KKN. Hingga akhirnya diterbitkan Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN.

Jika Tap MPR itu dibaca cermat, seharusnya kita paham, salah satu amanat penting reformasi ternyata belum dikerjakan dengan cukup baik. Pasal 3 dan 4 menyebutkan perlunya pemeriksaan kekayaan dan pemberantasan korupsi secara tegas terhadap pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto.

Bandingkan dengan apa yang terjadi di Mesir. Hosni Mubarak, yang berkuasa 30 tahun di Mesir, dituntut hukuman mati. Dua putranya pun ditahan dengan tuduhan korupsi saat sang ayah berkuasa. Mubarak tetap dihadirkan di pengadilan meskipun berada di atas tempat tidur dorong rumah sakit dan sel berjalan. Sayangnya, fenomena Indonesia belum seujung kuku pun dibandingkan dengan proses hukum yang terjadi di Mesir atau bahkan Filipina, Nigeria, dan Peru.

Tiga negara terakhir sempat masuk dalam daftar Stolen Asset Recovery (StAR) Inisiatif yang diluncurkan di markas PBB tahun 2007. Menurut StAR, data perkiraan aset yang diduga diselewengkan pemimpin politik di dunia ”dimenangi” oleh mantan Presiden Soeharto dengan nilai 15 miliar-35 miliar dollar AS. Sebuah angka yang masih mencengangkan hingga saat ini. Di tempat berikutnya ada Ferdinand Marcos (Filipina) senilai 5 miliar-10 miliar dollar AS; Mobutu Sese Seko (Zaire, 5 miliar dollar AS); Sani Abacha (Nigeria, 2 miliar-5 miliar dollar AS); dan Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) dengan 1 miliar dollar AS.

Angka-angka di atas mungkin belum tentu angka dalam makna pembuktian hukum karena itu masih perlu dikejar dan dibuktikan. Akan tetapi, keseriusan negara-negara yang asetnya pernah dicuri menjadi sangat penting.

Beberapa negara, seperti Filipina, memberikan harapan. Berusaha selama 18 tahun dengan Commision on Good Government (PCGG), hingga tahun 2004 Filipina berhasil mengembalikan aset Marcos dari Swiss senilai 624 juta dollar AS. Nigeria, dengan menyewa kantor hukum profesional Monfrini & Partners, berhasil merebut aset Sani Abacha sekitar 505,5 juta dollar AS. Bagaimana dengan proses hukum di Indonesia?

Menggugat Yayasan
Apakah Indonesia pernah mencoba merebut aset-aset yang ”dicuri” pada zaman Orde Baru? Ya, pernah. Namun, sayang, dakwaan jaksa tumbang sebelum pembuktian dilakukan. Dengan alasan sakit permanen, hakim menyatakan tidak menerima.

Gugatan perdata pun tak manjur. Bahkan, hingga tingkat Mahkamah Agung dosa masa lalu seolah ”dicuci”. Soeharto justru dinyatakan tidak melanggar hukum. Hanya Yayasan Supersemar, salah satu yayasan yang dipimpin oleh Soeharto, yang dinyatakan bersalah dan wajib mengganti kerugian 315 juta dollar AS dan Rp 139,229 miliar.

Jika ditelisik lebih jauh, ternyata salah satu penyebab hambarnya putusan itu justru karena materi gugatan jaksa pengacara negara itu sendiri. Soeharto tidak digugat sebagai presiden dengan dugaan penyalahgunaan kekuasaan selama menjabat, tetapi hanya sebagai ketua Yayasan Supersemar. Yayasan ini dinilai menyalahgunakan uang yang diberikan oleh negara.

Sungguh janggal. Apalagi, di sana disebutkan penerbitan PP No 15/1976 yang jadi asal muasal penyisihan laba bersih bank pemerintah yang lalu diturunkan melalui Keputusan Menteri Keuangan 333/KMK.011/1978 dianggap sebagai sesuatu yang benar. Dikatakan, ”dalam mencapai tujuan negara RI, penggugat menerbitkan PP 15/1976”. Artinya, Presiden RI yang diwakili Jaksa Agung waktu itu membenarkan kebijakan Soeharto. Padahal, bukan tak mungkin korupsi dilakukan dengan bungkus kebijakan dan aturan sehingga seolah-olah ia benar secara hukum, tetapi busuk di dalam.

Kemudian, posisi Soeharto sebagai directing mind atau pengendali yayasan gagal dibuktikan. Artinya, kecil kemungkinan kerugian yang harus diganti yayasan bisa ditagih kepada Soeharto atau ahli warisnya. Lalu, berlebihankah jika dikatakan gugatan tersebut justru merupakan gugatan ”memenangkan” Soeharto?

Kini, 14 tahun telah berlalu. Apa yang bisa dilakukan? Tindakan konkret terdekat yang bisa dilakukan adalah eksekusi putusan MA dan menyelamatkan aset senilai 315 juta dollar AS—atau kira-kira Rp 2,9 triliun dalam kurs hari ini—dan Rp 139,229 miliar. Selain itu, kita menagih janji Jaksa Agung untuk mengajukan gugatan perdata terhadap enam yayasan lain.

Tanpa Kewajiban
Gugatan perdata dilakukan berangkat dari prinsip untuk pemulihan kerugian keuangan negara, sekaligus cara meluruskan sejarah. Namun, perlu argumentasi yang lebih kuat untuk membuktikan bahwa penyalahgunaan kewenangan sesungguhnya terjadi sejak peraturan diterbitkan. Tantangannya adalah membuktikan bahwa kebijakan dijadikan bungkus untuk merampok uang rakyat. Mampukah?

Ada sejumlah persoalan hukum yang perlu didiskusikan, mulai dari kuasa yang dibutuhkan dari Presiden SBY, kedaluwarsa gugatan perdata 30 tahun, hingga pembuktian adanya indikasi konflik kepentingan ketika PP dan diturunkan dalam bentuk Keputusan Menteri Keuangan diterbitkan. Hal ini mengingat Soeharto juga tercatat sebagai ketua dari yayasan yang menikmati penyisihan laba bersih bank-bank pemerintah tersebut.

Satu diskusi di Yogyakarta dengan Prof Ismiati Jenie memberikan inspirasi kemungkinan penggunaan ketentuan ”pembayaran tak terutang” (onverschulddigde betaling) di KUH-Perdata. Sesuai Pasal 1359 KUH-Perdata, setiap pembayaran yang sudah dilakukan akan tetapi sesungguhnya tidak ada kewajiban atau utang, semua pembayaran itu dapat dituntut kembali. Utang di sini tentu saja tak diartikan secara sempit, tetapi lebih sebagai kewajiban hukum.

Tentu saja konsekuensi pembuktiannya lebih berat karena penggugat perlu membuktikan bahwa pembayaran yang dilakukan oleh bank-bank pemerintah, yang sesungguhnya menjadi hak rakyat Indonesia, cacat hukum. Karena itu, seharusnya secara substansial tak ada kewajiban membayar sejumlah uang kepada yayasan yang diketuai Soeharto tersebut meski ada dasar peraturan pemerintah dan keputusan Menteri Keuangan.

Pertanyaan sederhana akhirnya kembali pada apakah pemerintahan SBY yang menyatakan berkomitmen menjalankan agenda reformasi dan pemberantasan korupsi ini masih ingat dan menganggap penting penuntasan kasus Soeharto? Atau justru menjadi salah satu barisan yang ingin menutup rapat skandal korupsi Orde Baru? Tulisan ini adalah bagian dari upaya melawan lupa.

Febri Diansyah ; Peneliti Hukum pada Indonesia Corruption Watch

Sumber:  Kompas, 31 Mei 2012

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan