Lubang Besar Pengaturan Dana Kampanye

Diskursus publik tentang implikasi penggunaan metode suara terbanyak menjelang pelaksanaan Pemilu 2009 lebih didominasi oleh bagaimana meletakkan kebijakan affirmative action bagi calon legislator perempuan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Respons Komisi Pemilihan Umum sendiri atas putusan tersebut begitu cepat, hingga mengajukan perpu khusus untuk calon legislator perempuan.

Padahal dampak putusan MK mengenai penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak bukan hanya terkait dengan soal di atas. Masalah di atas penting, namun sepertinya KPU tidak memperlakukan masalah lain yang sama pentingnya pada derajat yang sama. Pasalnya, masih ada masalah lain yang cukup pelik tapi tidak direspons secara memadai oleh berbagai pihak, terutama KPU, yakni isu yang berkaitan dengan pengaturan dana kampanye peserta pemilu.

Harus diingat bahwa putusan MK, disadari atau tidak, telah memunculkan implikasi serius terhadap pengaturan dana kampanye, khususnya dana kampanye calon anggota legislatif. Sebagaimana kita ketahui, pengaturan dana kampanye dalam UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008 menggunakan basis partai politik dan calon perorangan sebagai peserta pemilu.

Secara ideal, pengaturan dana kampanye dalam pasal 129 hingga pasal 140 UU Pemilu Legislatif dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu dalam hal keterbukaan atas sumber pendanaan kampanye (penyumbang) dan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut melalui pelaksanaan audit dana kampanye oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.

Namun, subyek hukum atas pengaturan dana kampanye di atas adalah partai politik dan calon perseorangan (DPD). Artinya, yang memiliki kewajiban dalam undang-undang untuk melakukan pencatatan, pelaporan, dan audit dana kampanye adalah peserta pemilu menurut UU Pemilu Legislatif. Sedangkan calon legislator adalah bagian dari partai politik itu sendiri yang pertanggungjawaban dana kampanyenya sama sekali tidak diatur/tidak diwajibkan oleh UU Pemilu Legislatif.

Masalahnya, penetapan calon legislator terpilih dengan suara terbanyak dalam prakteknya telah menempatkan calon legislator sebagai peserta pemilu yang terpisah sama sekali dari partai politik. Dengan demikian, sangat mungkin mobilisasi dana kampanye akan langsung dilakukan oleh masing-masing calon beserta tim sukses mereka, bukan melalui partai politik.

Padahal dalam UU Pemilu Legislatif terdapat aturan bahwa semua dana kampanye wajib dimasukkan dalam rekening khusus dana kampanye sebelum digunakan untuk kepentingan kampanye (Pasal 129 ayat 4 UU Pemilu Legislatif). Aturan tersebut dipertegas oleh Peraturan KPU No. 1 Tahun 2009 mengenai pencatatan dan pelaporan dana kampanye peserta Pemilu 2009 mengenai larangan penggunaan dana kampanye untuk keperluan kampanye sebelum dimasukkan dalam rekening khusus dana kampanye.

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin semua calon legislator dari masing-masing partai politik bersedia menyetorkan dana kampanye mereka ke dalam rekening khusus dana kampanye partai politik sebelum dipakai untuk kegiatan kampanye? Jawabannya sangat mustahil, karena ini berarti dana kampanye calon legislator akan tercampur dengan dana kampanye calon lainnya dalam satu partai politik.

Di samping itu, calon legislator sangat mungkin akan memilih langsung menggunakan dana kampanye yang mereka dapatkan untuk kampanye. Hal ini mengingat semua calon legislator, baik di lingkup internal maupun antarpartai politik, harus bertarung satu sama lain untuk memperoleh suara terbanyak jika ingin menjadi anggota legislatif.

Karena itu, dapat dipastikan bahwa sebagian besar calon legislator sudah dan akan mencari dana kampanye secara swadaya, sekaligus mengelola dan menggunakannya tanpa melalui aturan main yang telah ditetapkan UU Pemilu Legislatif. Tidak mengherankan jika dalam pelaksanaan audit laporan dana kampanye nanti, saldo rekening khusus dana kampanye partai politik sangat minim jumlahnya.

Meskipun Peraturan KPU No. 1 Tahun 2009 mencoba mengantisipasi bobolnya akuntabilitas dan transparansi dana kampanye calon legislator dengan mewajibkan pencatatan dan pelaporan dana kampanye bagi calon, penegasan di atas sangat mungkin tidak akan banyak digubris mengingat UU Pemilu Legislatif tidak mengaturnya. Bahkan bisa terjadi sebaliknya, KPU akan dituding telah menciptakan norma baru yang tidak diatur sama sekali dalam UU Pemilu Legislatif.

Faktanya memang demikian. Dari kewajiban pelaporan rekening khusus dana kampanye dan laporan awal dana kampanye peserta pemilu, khususnya partai politik, jumlah saldo awal partai politik sangatlah minim. Partai Gerindra adalah partai politik yang memiliki saldo awal terbesar, yakni Rp 15,5 miliar. Sedangkan partai politik besar yang telah berkuasa pada era sebelumnya, yakni Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, dan PPP, justru lebih rendah nilainya. Yang mengejutkan, saldo awal Golkar tak lebih dari Rp 150 juta.

Tentu saja nilai di atas hampir tidak dapat dipercaya, terutama karena level partai politik yang menyerahkannya adalah partai politik tingkat pusat, sekaligus bahwa aktivitas kampanye partai politik melalui media massa, seperti di televisi, yang sudah dilakukan berulang kali, merupakan cerminan dari ongkos/pengeluaran kampanye yang tidak sedikit. Bisa disebut, jumlah belanja kampanye untuk iklan televisi jauh lebih besar dari saldo awal yang mereka laporkan kepada KPU.

Nilai saldo yang kecil itu juga kian menegaskan bahwa dana kampanye calon legislator dalam prakteknya telah dipisahkan dari dana kampanye partai politik yang tersimpan dalam rekening khusus dana kampanye. Karena dana kampanye calon legislator merupakan entitas tersendiri yang tidak diatur sama sekali pertanggungjawabannya dalam UU Pemilu Legislatif, dapat dipastikan bahwa penggunaan dana kampanye calon legislator tidak terkontrol sama sekali.

Munculnya lubang besar pengaturan dana kampanye yang tidak diantisipasi pascaputusan MK hanya menciptakan buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi dana kampanye peserta pemilu, khususnya calon legislator.

Tiadanya kewajiban bagi calon legislator untuk mempertanggungjawabkan dana kampanye mereka membuka peluang bagi berkembangnya invested corruption melalui calon legislator. Situasi ini kemungkinan besar akan dimanfaatkan oleh calon legislator dan partai politik sebagai ajang untuk melakukan pencucian uang dan menggunakan dana kampanye yang melanggar undang-undang.

Pada akhirnya, tanpa didukung dengan sistem akuntabilitas dan transparansi dana kampanye peserta pemilu yang memadai, deklarasi antikorupsi partai politik peserta pemilu 2009 yang dimotori KPK kemarin hanya akan menjadi ajang pencitraan peserta pemilu untuk mempercantik wajah mereka di depan para pemilih, tidak lebih.

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 Maret 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan