LSM: Prioritaskan RUU Perlindungan Saksi

Puluhan LSM mendesak DPR memprioritaskan pembahasan dua rancangan undang-undang sebagai kunci dalam upaya pemberantasan korupsi. Kedua aturan ini masing-masing RUU Kebebasan Mendapatkan Informasi Publik dan RUU Perlindungan Saksi.

Tanpa kedua RUU itu, UU Antikorupsi dan UU Komite Pemberantasan Korupsi akan mandul, kata Agus Sudibyo, Ketua Institut Studi Arus Informasi (ISAI), di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin. ISAI adalah bagian dari koalisi 57 LSM yang mendesak Dewan memprioritaskan RUU Kebebasan Mendapatkan informasi Publik dan RUU Perlindungan Saksi pada tahun ini.

Pemberantasan korupsi, kata Agus, hanya akan menjadi wacana atau slogan tanpa dibukanya informasi seluas-luasnya bagi masyarakat. Hal yang sama, kata dia, akan terjadi jika perlindungan terhadap saksi ataupun pelapor kasus korupsi tidak diberikan. Selain itu, tidak adanya hukum yang mengatur perlindungan saksi membuat penanganan kasus HAM mengalami hambatan. Penyelidikan kasus Tanjung Priok terganjal karena tidak ada yang mau menjadi saksi, ujarnya.

Menurut Agus, bila pemerintah dan DPR tidak menjadikan pembahasan RUU ini sebagai prioritas, itu menandakan lemahnya komitmen dalam pemberantasan korupsi. Dalam praktek di lapangan mungkin memang sulit menangkap koruptor, tapi aturan mainnya harus dipersiapkan sejak dini, tuturnya.

Agus mengatakan, pemerintah bersikap kontraproduktif dengan mendahulukan usulan pembahasan RUU Kerahasiaan Negara. Di RUU ini justru banyak klausul yang menutup akses publik mendapat informasi, katanya.

Karena itu, Agus mempertanyakan sikap anggota DPR yang menyetujui dan menjadikan pembahasan RUU Kerahasiaan Negara sebagai prioritas dalam program legislasi nasional 2005. Ia menduga, ini karena anggota DPR masih baru, sehingga tidak memahami substansi RUU Kerahasiaan Negara. Sikap mereka kontradiktif dengan menyetujui pula pembahasan RUU Kebebasan Mendapat Informasi Publik, ujarnya.

Saat ini, kata Agus, pemerintah belum memiliki itikad baik dalam persiapan pembahasan kedua RUU itu. Ini, kata dia, ditandai dengan belum dikeluarkannya amanat presiden.

Di tempat yang sama, Danang Widoyoko, Wakil Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, menyatakan, pemerintah menjanjikan pembahasan RUU perlindungan saksi pada semester pertama 2005. Paling lambat diharapkan ampres (amanat presiden) keluar April-Mei, katanya.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Peraturan dan Perundang-undangan Abdul Ghani Abdullah mengatakan, saat ini pemerintah masih menunggu DPR untuk membahas serangkaian RUU, termasuk RUU Perlindungan Saksi. Menurut dia, pemerintah sudah menyiapkan draf RUU itu. Tapi terpulang kepada DPR karena kami menunggu prosedur dan tata tertibnya, ujarnya.

Menurut Ghani, awal pekan ini ia telah mendapatkan surat dari pemimpin Dewan yang menyatakan agar semua RUU dari DPR dan dari pemerintah ditarik kembali. Alasannya, semua itu merupakan produk dari DPR dan pemerintah periode sebelumnya. Periode sekarang, menurut dia mengutip surat Dewan, sebaiknya mengajukan draf RUU kembali untuk didaftarkan dan dibahas oleh DPR. Karena itu, RUU Perlindungan Saksi masih menunggu tindakan DPR untuk membuat prosedur dan tata tertibnya, katanya. yuliawati/istiqomatul hayati

Sumber: Koran Tempo, 26 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan