LSM, Munir,dan Mulyana

Adalah Munir, tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) pejuang hak asasi manusia yang tewas dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam September tahun lalu. Tanpa rasa takut, Munir memulai perjuangan gigihnya justru ketika kuku-kuku rezim Soeharto tajam menghujam bumi persada.

Tidak seorang pun menaruh prasangka buruk bahwa Munir -juga manusia yang secara kodrati imannya naik turun- akan melakukan hal-hal yang mengkhianati idealismenya selaku pembela kaum tertindas.

Adalah Mulyana W. Kusumah, akademisi yang lebih dikenal sebagai tokoh LSM, yang beberapa hari lalu digelandang ke Penjara Salemba setelah tertangkap tangan karena diduga melakukan suap terhadap staf Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk melawan kesemena-menaan penguasa, Mulyana juga tampil di pelataran nasional pada saat manipulasi Orde Baru atas berbagai aturan hukum di negeri ini tengah berlangsung dahsyat.

Sukar bagi masyarakat menyaksikan pemandangan betapa Mulyana -yang secara kodrati imannya juga naik turun- tergelincir bermimikri dengan para pelaku tindak-tanduk amoral yang selama ini justru gencar diperanginya.

Otoritarianisme Orde Baru telah memberikan bahan bakar bagi bangkitnya LSM-LSM di tanah air. Laksana pertarungan melawan Goliath, para Daud berhadapan dengan dua risiko perjuangan. Takluk di hadapan Goliath atau mampu memaksa Goliath bertekuk lutut. Jika risiko kedua yang terjadi, nama besar menjadi penghargaan.

Munir dan Mulyana adalah dua nama yang telah diidentikkan dengan gerakan reformasi, demokratisasi, penciptaan masyarakat madani (supremasi sipil), dan penegakan hukum.

Itulah deretan kata yang menjadi agenda yang ingin direalisasikan bangsa Indonesia. Munir dan Mulyana adalah mitos, simbol pribadi-pribadi mulia, pembawa watak altruistis sejati.

Wajarkah citra semacam itu disematkan kepada Munir dan Mulyana? Maksimal, jawabannya adalah sudah sepantasnya. Minimal, sah-sah saja. Yang pasti, kendati Munir dan Mulyana bukan insan kamil, tidak ada kenangan buruk kolektif akan diri mereka.

Masyarakat kadung melakukan filter mental, yakni dengan menginventarisasi hal-hal positif sekaligus mendiskualifikasi hal-hal nista akan diri Munir dan Mulyana. Karena itu, hampir semua dugaan yang terbangun pasca tewasnya Munir dan ditangkapnya Mulyana adalah senada. Bunyinya, Munir tewas dibunuh lewat sebuah operasi intelijen dan Mulyana adalah martir korupsi institusi tempatnya bekerja.

Toh, yang paling terkena getahnya -terlepas objektif maupun tidak- adalah penguasa. Penguasa, baik pribadi maupun institusi, kian lekat dengan citra buruk. Torehan itu semakin kental karena Munirgate dan Mulyanagate justru terjadi ketika penguasa memikul amanah yang bersubstansi sama dengan aktivitas-aktivitas Munir dan Mulyana.

Munirgate dan Mulyanagate hanya menampilkan kesan bahwa, jangan-jangan, penguasa masih saja bersilang langkah dengan kedua tokoh tersebut. Menjaga jarak dari analisis-analisis berbau konspirasi, perkembangan kasus Munir kian jernih ke arah pembuktian bahwa dia telah dibunuh.

Sementara itu, kasus Mulyana, hingga saat ini, belum memperlihatkan adanya pihak-pihak lain yang terlibat dalam aksi penyuapan tersebut. Mulyana, dengan kata lain, setidaknya untuk saat ini, masih dianggap sebagai pelaku tunggal penyuapan.

Andai kedua postulat tersebut diterima, Munirgate dan Mulyanagate bisa menjadi dua gambaran dini tentang musuh yang dihadapi para aktivis LSM di Indonesia. Musuh pertama adalah pihak eksternal. Yakni, kemungkinan Pe-Munir-an para aktivis LSM yang masih saja ramai mengusung isu-isu yang menyudutkan mereka yang kontrademokrasi dan penegakan hukum. Relatif, musuh jenis itu sudah menjadi rahasia umum.

Tinggal bagaimana kalangan pro-demokrasi dan penegakan hukum mengonsolidasikan langkah untuk melawan golongan kontrademokrasi tersebut. Munirgate dapat dijadikan sebagai preseden untuk maksud konsolidasi itu.

Musuh kedua jauh lebih kompleks untuk dihadapi. Sekali lagi berangkat dari postulat di atas, pembusukan justru berasal dari dalam lingkungan LSM sendiri. Terlepas dari kemungkinan apa pun tentang siapa sebenarnya inisiator aksi pembusukan itu, Mulyanagate merupakan fakta bahwa tidak ada satu orang pun -termasuk aktivis LSM- yang imun dari kodrat manusia selaku mahluk dengan iman yang naik turun.

Jadi, siapa yang kini sungguh-sungguh dapat dipercaya? Selamat datang masa paranoia!
Wallaahu a

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan