Lorong Gelap Korupsi
KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD dapat dimaklumi kesulitan dirinya memasukkan kasus pemberian uang yang tidak jelas motif dan peruntukannya dalam kategori tindak pidana korupsi. Lalu, dimasukanlah pada pelanggaran etika yang memerlukan tindakan etik. Kendati, sebagian kalangan ada yang berpendapat lain, bahwa pemberian-pemberian uang ‘siluman’ atau uang ‘persahabatan’ sejenis itu substansinya korupsi. Tinggal, bagaimana para penegak hukum cerdik mengungkap dan menyeretnya ke ranah tindak pidana korupsi.
Para ahli hukum dan siapapun yang berkomitmen kuat untuk pemberantasan korupsi tentu perlu berdebat lebih mendalam lagi tentang jenis-jenis korupsi dan bagaimana cara jitu menjerat koruptor kelas berat. Demi pemberantasan korupsi yang menggurita, bila perlu berijtihadlah para ahli hukum, ulama, cendekiawan, dan praktisi melampaui logika-logika verbal yang selama ini justru jadi lubang paling empuk bagi koruptor untuk berkelit dari jeratan hukum.
Majelis Tarjih Muhammadiyah bahkan sudah lama mengeluarkan keputuasan tentang Fikih Antikorupsi yang memperluas konsep korupsi lebih dari sekadar suap-menyuap.
Korupsi, lebih-lebih korupsi kelas berat, sering masuk ke ranah abu-abu. Permainan para koruptor pun luar biasa canggih, lebih-lebih didukung para pengacara yang piawai. Koruptor kelas atas selalu sukses bersiasat dan berkelit dari jeratan hukum positif yang selalu bermain di atas logika-logika dan alat bukti verbal. Apalagi ketika para penegak hukum sendiri tidak amanah dan masuk ke permainan mafia hukum. Akhirnya, para koruptor terus bergentayangan dan gampang bebas dari jeratan hukum. Selalu ada seribusatu muslihat para koruptor yang membuat hukum tak berdaya. Inilah lorong gelap dunia korupsi.
Satu hal yang pasti dari kejahatan-kejahatan korupsi yang penuh muslihat itu ialah hancurnya tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Uang milik negara dan rakyat dikuras oleh segelintir orang. Kekayaan dan aset-aset bangsa dan negara dijadikan bancakan para penjarah dengan segala kedok yang dipakai. Bila perlu para koruptor itu menampilkan wajah ganda layaknya mafioso, menjarah milik negara dan kekayaan bangsa besar-besaran, sekaligus menjadi semacam dewa penolong di ruang publik seperti halnya para dermawan. Lalu, makin leluasalah para penjarah negara itu dari pusat hingga ke daerah dalam gelimang hidup supermewah yang positif di mata publik.
Publik juga tidak tahu bagaimana sebar menyebar uang yang sering terjadi dalam pemilu dan pemilukada di negeri ini. Uang jutaan, ratusan juta hingga miliaran dengan mudah berseliweran dalam setiap perhelatan politik. Elite dan partai politik apapun bahkan menjadikan pemilu dan pemilikada layaknya pesta upeti, tak kenal dari partai sekuler maupun agama. Kalau sudah urusan uang, partai agama pun sama-sama suka, malah seolah aji mumpung dalam buaian kefasihan dalil suci dan klaim bersih. Hasil akhirnya sama, uang siluman dan tak jelas asal-usulnya saling berbagi dan peduli di ruang publik. Rakyatpun akhirnya fasih berjalan pintas, dalam logika naif: ambil uangnya, soal pilih orangnya urusan belakangan.
Di negeri ini korupsi masih menggurita dan terus menjadi sisi gelap berbangsa dan bernegara, karena sistem dan orang sama-sama rusak. Sistemnya banyak celah yang rentan sekaligus gampang dimanipulasi dan disiasati. Sementara manusianya, termasuk para penegak hukum, gampang dibeli dan lemah pendirian yang bermuara pada kebobrokan karakter. Menjadi PNS dan wakil rakyat pun dimulai dari jual uang untuk memperoleh uang, akhirnya selama menjabat posisi publik yang ada di pikiran mengembalilan modal sekaligus melipatgandakan untuk hidup serba berlebih. Kerapuhan sistem dan mental manusia Indonesia seperti itulah yang membuat bangsa ini kian tertinggal dari bangsa-bangsa tetangga.
Lorong gelap korupsi sungguh menjadi bencana bagi Bangsa Indonesia. Bukan hanya uang, kekayaan, aset dan sumberdaya alam yang dikuras habis-habisan dengan segala muslihat, sehingga negara selalu hilang kesempatan untuk memakmurkan rakyat dan negeri ini tumbuh sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Akhlak dan martabat diri manusia Indonesia pun jatuh ke titik terendah menjadi sosok-sosok penerabas, pemulung, penjilat, kere munggah bale, sok kuasa, dan tentu saja menjadi pencuri dan pemakan barang haram dan subhat dalam pola hidup gelimang melampaui takaran dengan cara tak wajar.
Akhirnya, lama kelamaan bangsa dan negeri tercinta ini jatuh ke jurang kehancuran. Terpuruk dan kalah jauh dari bangsa-bangsa tetangga. Fisik bangsa dan negara masih tampak utuh, tetapi jiwa entah di mana. Inilah bangsa dan negara yang kehilangan sukma, digerogoti para penjarah dan penjahat kelas atas plus kerapuhan mental elite dan warga masyarakatnya. Menjadi bangsa dan negara imajiner: Wujudu-hu ka-adami-hi, adanya seperti tiada.
(OleH :Haedar Nashir, Penulis adalah Sosiolog UMY dan Ketua PP Muhammadiyah)-f
Tulisan ini disalin dari Kedaulatan Rakyat, 27 Mei 2011