Lompatan Yuridis untuk Jabatan Patrialis

 “Penetapan Patrialis tidak memakai tata cara proses pengangkatan hakim konstitusi. Ada lompatan yuridis yang melanggar undang-undang. Akibatnya, keputusan ini bisa batal demi hukum,” demikian keterangan ahli hukum administrasi negara Dr. W. Riawan dalam sidang perkara gugatan Keputusan Presiden (Keppres) No. 87/P/2013 tentang Penetapan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi. Sidang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Rabu (30/10) lalu.

Riawan menjelaskan bahwa dalam hukum administrasi negara, suatu Keputusan Tata Usaha Negara memiliki tiga dimensi, yaitu: dimensi kewenangan, dimensi perlindungan hukum, dan dimensi partisipasi masyarakat termasuk berkeberatan pada suatu ketetapan. “Tiga dimensi ini saling melekat,” jelas Riawan

Hak partisipasi inilah yang menurut Riawan memberikan kewenangan mutlak pada masyarakat untuk bicara dan memengaruhi pengambilan kebijakan. “Dalam sistem hukum administrasi negara, wewenang mengajukan keberatan ini mutlak. Ada perlindungan hak-hak publik,” ungkapnya.

Menurut Riawan, presiden bisa di-impeach (disangsikan dan dipanggil untuk memberi pertanggungjawaban) karena telah melanggar klausul Undang-undang Mahkamah Konstitusi tentang penetapan hakim MK. “Sangat jelas bahwa presiden tidak mematuhi pasal 20,” tegas Riawan. Bahkan, menurutnya, DPR harus segera memanggil presiden untuk  bertanya. “Keppres ini bentuk pelanggaran UU. Ia hanya punya kekuatan formil, tapi dipersepsi sebagai memenuhi kekuatan materiil.”

 “Pejabat publik tidak bisa sewenang-wenang karena terikat sumpah jabatan untuk melaksanakan Pancasila, UUD, dan undang-undang. Mandatnya memang ada pada presiden, Mahkamah Agung, dan DPR. Tapi mandat ini didapat dari rakyat. Artinya, pejabat tidak punya keleluasaan sendiri,” ujar Riawan yang akademisi Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta ini.

Supaya tidak menimbulkan multitafsir atau bahkan kemudian selera banyak pihak, presiden harus mengeluarkan peraturan terkait mekanisme pemilihan hakim konstitusi. “Demikian halnya dengan Mahkamah Agung dan DPR. Pembuatan perpres ini bukan idealnya, melainkan sudah seharusnya,” Riawan menekankan.

Peraturan inilah, lanjut Riawan, yang tidak pernah ada di ketiga lembaga negara itu. “Kalau tidak ada peraturan presiden terkait penetapan hakim MK, buat apa mengatur keppresnya? Keppres ini sifatnya administratif. Ketidakcukupan dasar hukum itu sudah cukup mengualifikasi adanya pelanggaran,” tegas Riawan.

Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sudah cukup baik merangkum kaidah ketatanegaraan yang harus mencerminkan tiga dimensi kewenangan pejabat pemerintah. “Di Pasal 19 UU MK, kata-kata ‘transparansi’ dan ‘partisipatif’ ini sudah dinormatifkan, sudah jadi materi muatan ayat. Dua syarat ini berkaitan dengan hak masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap suatu ketetapan,” jelas Riawan.

Sementara, untuk amanat UU MK pasal 20 ayat (2) yang mengharuskan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif dan akuntabel, Riawan mengambil contoh. “Fit and proper test terhadap Achmad Sodiki itulah bentuk bahwa belum ada peraturannya pun, pernah dilakukan mekanisme yang kena ke pasal 20,” terang Riawan.

Penjelasan pasal 19 UU MK, menurut Riawan, adalah aturan mekanisme. “Ia bukan norma hukum baru dan tidak dapat dibaca lepas begitu saja. Kita tidak bisa mengabaikan penjelasan. Dalam legal drafting, penjelasan ini menjadi pedoman pelaksanaan,” kata Riawan.

Namun Riawan mengakui, majelis hakim Tata Usaha Negara dapat melakukan terobosan hukum untuk perkara ini. “Ini kewenangan majelis hakim TUN untuk menilai bahwa ada pelanggaran dan membatalkannya,” tutup Riawan.

Tabel 1. Undang-undang Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003 Pasal 18, 19, dan 20

Pasal

Penjelasan

Pasal 18

(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.

Pasal 18

Ayat (1)

Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan ini bersifat

administratif.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 19

Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

Pasal 19

Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 18 ayat (1).

(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan