Lolos Manis di Hadapan Dewan

Kenaikan anggaran lembaga kepresidenan yang mencapai 57 persen -dari Rp 727 miliar dalam APBN 2005 menjadi Rp 1,147 triliun dalam APBN 2006- lolos mulus.

Meski sempat diributkan banyak kalangan lantaran kenaikan sebesar 57 persen itu dianggap tidak patut di tengah rakyat yang terjepit kesulitan ekonomi akibat kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005, anggaran kepresidenan itu ternyata tidak mendapatkan hadangan berarti dalam paripurna DPR yang mengesahkan UU APBN 2006 pada Jumat lalu di Senayan.

Aneh juga, kenaikan anggaran orang nomor satu dan nomor dua di republik ini -presiden dan wakil presiden- yang sempat memancing reaksi keras di masyakarat itu begitu sangat mudah lolos di DPR.

Saat mengesahkan RUU APBN 2006 menjadi UU APBN, sama sekali tidak terdengar wakil-wakil rakyat yang mengutak atik atau merevisi anggaran presiden-wakil presiden tersebut.

Yang lebih aneh, sebagaimana yang dituturkan juru bicaranya, Andi Mallarangeng, SBY berjanji akan merevisinya. Apalagi, kata Andi saat itu, presiden mengaku tidak mendapatkan laporan mengenai kenaikan tersebut. Meski, Menkeu Jusuf Anwar mengaku bahwa kenaikan itu sudah dibahas dalam rapat kabinet yang dipimpin SBY.

Revisi memang dilakukan, tetapi nilainya dianggap tidak berarti karena masih di atas Rp 1 triliun.

Karena itu, tidak bisa disalahkan jika muncul penilaian negatif bahwa presiden -tentu juga menteri-menterinya- dan DPR memang tidak beriktikad baik untuk merevisi kenaikan anggaran belanja kepresidenan yang sangat tinggi tersebut secara siknifikan.

Mungkin benar argumen Menkeu bahwa kenaikan 57 persen itu sudah sesuai kondisi riil kebutuhan dan kondisi harga barang-barang kebutuhan yang berkaitan dengan kinerja lembaga kepresidenan.

Namun, harus diingat, argumen seperti itu sama sekali tidak memiliki dasar moral dilihat dari kesulitan masyarakat Indonesia yang sedang dibebani kesulitan ekonomi akibat keputusan presiden menaikkan harga BBM yang sangat tinggi. Yakni, lebih dari 50 persen untuk premium dan lebih dari 100 persen untuk minyak tanah yang mengkibatkan harga barang dan jasa melambung.

Lihat saja perbandingannya. Kalau presiden dan wakil presiden bisa membebankan kenaikan harga barang serta jasa yang dibutuhkan akibat kebijakan yang dibuatnya pada APBN, lalu masyarakat harus membebankan kenaikan harga itu pada siapa?

Masyarakat justru harus mencari sendiri. Itu pun belum tentu didapatkan. Jangankan mencari, saat ini pun, justru banyak karyawan dan buruh yang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagian bahkan sudah di-PHK.

Karena itu, begitu soal kenaikan anggaran lembaga kepresidenan tersebut sangat manis lolos dari hadangan DPR, masyarakat tidak hanya beranggapan bahwa presiden dan DPR sama-sama tidak memiliki sense of crisis, melainkan sangat mungkin -mudah-mudahan hal ini tidak benar- memang terjadi persekongkolan.

Indikasinya? Salah satu di antaranya, mungkin sebelum rapat paripurna dewan untuk mengesahkan RUU APBN 2006 menjadi UU APBN 2006, pemerintah menaikkan tunjangan operasional wakil rakyat yang kurang terhormat itu sebesar Rp 10 juta.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 31 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan