LKRI...!
Pertama kali dalam sejarah sebagai suatu bangsa, pemerintah membuat Laporan Keuangan Republik Indonesia (LKRI) yang berakhir pada periode 31 Desember 2004. Sebagaimana laporan neraca keuangan sebuah perusahaan yang sering kita lihat dipublikasikan, di situ juga tercantum jumlah aset dan kewajiban. Menurut laporan itu, total utang pemerintah mencapai Rp 1.346 triliun. Itu terdiri dari utang dalam dan luar negeri. Pada sisi lain, aset negara hanya Rp 831 triliun.
Antara aset alias kekayaan pemerintah dan kewajibannya terdapat angka minus Rp 515 triliun. Artinya, jika seluruh aset negara yang ada di tangan pemerintah itu dijual habis, maka kita masih punya utang Rp 515 triliun. Jika angka Rp 515 triliun itu dibagi rata oleh seluruh 220 juta jiwa penduduk Indonesia, maka bayi yang baru lahir detik ini pun langsung harus menanggung beban utang. Besarnya? Minta ampun. Kalau tidak percaya, coba ambil kalkulator. Mulailah menghitung, semoga tidak pusing.
Bisa saja kita beralasan bahwa krisis finansial yang mengantarkan nilai tukar rupiah jeblok membuat kita harus menambah jumlah rupiah lebih banyak untuk membayar utang luar negeri itu ketimbang sebelum krisis. Itu karena kita memiliki utang luar negeri yang tentu saja dihargai dalam mata uang asing. Ada dollar Amerika Serikat, ada euro, dan ada dalam yen Jepang.
Apa artinya Rp 515 triliun itu? Besar, biasa saja, atau masih kecil? Jawabannya tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Orang yang suka menyepelekan suatu persoalan mungkin masih akan mengatakan itu hal biasa. Tetapi, Anda yang tidak gemar berutang atau memang enggan melakukannya karena takut mewariskan utang kepada anak cucu Anda tentu akan menyatakan, wah sudah terlampau berat. Boleh jadi, Anda akan merasa berdosa mewariskan timbunan utang seperti itu dan hukumnya mungkin dosa.
Utang memang bukanlah dosa. Jika kemampuan kita mendapatkan uang tidak cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan hidup seketika saat ini misalnya, maka berutang merupakan salah satu solusi. Tetapi, menurut nasihat orang bijak, jangan sampai utang yang kita buat saat ini justru semakin membengkak dan mencekik di kemudian hari. Lebih celaka lagi kalau kita mewariskannya kepada anak cucu kita.
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, memang ada batasnya, seberapa besar utang yang bisa dianggap aman. Misalnya, untuk negara yang sudah maju, besarnya utang lebih baik jika tidak lebih dari 30 persen dari produk domestik bruto. Sementara negara berkembang sebisa mungkin tidak melebihi 60 persen.
Angka-angka itu pun sebenarnya relatif. Kalau misalnya suatu negara memiliki kekayaan alam melimpah, tidak perlu khawatir memiliki utang dalam jumlah besar. Yang penting, utang-utang itu tidak dikorupsi, tidak masuk kantong pribadi-pribadi mereka yang terlibat dalam pengelolaan utang tersebut.
Seorang mantan pejabat yang menaruh perhatian sangat besar terhadap korupsi mengirimkan data-data yang menggambarkan betapa semakin terstrukturnya korupsi di negara ini. Celakanya lagi, uang yang dikorupsi itu justru dana bantuan, hibah, pinjaman, yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kemampuan rakyat menghasilkan uang, kemudian mereka dipungut pajak, sehingga ada uang masuk ke negara untuk dipakai membangun dan membayar kembali utang itu.
Modusnya macam-macam. Ada yang canggih, ada pula yang masih primitif. Misalnya, dilaporkan telah diadakan pelatihan, padahal tidak pernah ada. Bukti sewa komputer digelembungkan dan hasil penggelembungan masuk kantong pribadi.
Hari gini masih ada yang kayak begituan...! (Andi Suruji)
Tulisan ini merupakan kolom di rubrik finansial Kompas, 13 Juni 2005