Limbung di Tengah Pusaran Korupsi
Bangsa ini seolah kian limbung dan tak berdaya menangani korupsi yang terus menggerogoti uang negara. Setelah berbagai fakta menunjukkan banyaknya kasus korupsi yang tidak tuntas, ketidakjelasan uang pengganti yang seharusnya dilunasi para koruptor menambah kekecewaan publik terhadap upaya penanganan korupsi.
Publik lagi-lagi mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi di negeri ini. Sebanyak 61,3 persen responden menilai pemerintah tidak serius menangani masalah korupsi. Mayoritas publik (81,3 persen responden) menganggap proses penegakan hukum terhadap koruptor belum konsisten.
Terkait soal uang pengganti korupsi, sebanyak 74,7 persen responden menyatakan tidak yakin sistem hukum yang ada akan mampu mengembalikan kerugian negara dari para koruptor yang telah divonis bersalah. Adapun sekitar 73,4 persen responden menyangsikan aparat hukum akan mampu memburu dana hasil korupsi.
Pemberantasan korupsi di negeri ini memang menghadapi berbagai tantangan yang rumit. Dari serangkaian kompleksitas masalah pemberantasan korupsi, semua bermuara pada tata kelola pemerintahan yang selama ini dituding tidak memiliki political will atau komitmen dan keinginan yang tegas dalam memberantas korupsi.
Negara ini sepertinya tidak berdaya menghadapi endemik korupsi yang menyebar di berbagai lapisan sistem yang ada, terutama dalam birokrasi. Korupsi menjadi persoalan mulai dari kepolisian, kantor jaksa agung, partai politik, hingga parlemen. Di tengah semangat desentralisasi, gelontoran dana perimbangan juga meningkatkan wabah korupsi di daerah.
Sejumlah aturan hukum yang dibuat sejak tahun 1998 seharusnya mampu menekan praktik korupsi di negeri ini. Produk perundang-undangan yang lahir selama sepuluh tahun terakhir secara substansial sudah lebih baik jika dibandingkan dengan produk hukum pada era sebelum reformasi. Namun, instrumen hukum yang diciptakan dalam praktiknya tidak sejalan dengan realitas di lapangan.
Pemerintahan pertama pascareformasi yang dipimpin oleh BJ Habibie memotori upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-undang yang disahkan pada Mei 1999 itu antara lain mendefinisikan korupsi sebagai tindak kriminal dan mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan kekayaan mereka. Komitmen pemberantasan korupsi, yang menjadi salah satu semangat utama reformasi, diperkuat dengan lahirnya UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan hanya selang tiga bulan dari UU No 28/1999.
Melalui undang-undang inilah ditetapkan hukuman yang lebih tegas atas tindakan korupsi. Pasal 2 undang-undang itu menyebutkan, setiap orang yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Melalui undang-undang itu pula disyaratkan pendirian sebuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pembentukan KPK baru terealisasi tiga tahun kemudian melalui UU No 30/2002. Pembentukan KPK juga diiringi dengan pembentukan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.
Semangat?
Setiap pemerintahan pascareformasi selalu mengangkat semangat antikorupsi dalam agenda kerja pemerintah. Demikian juga Presiden Yudhoyono yang menjual semangat pemberantasan korupsi dalam janji 100 hari kerja pemerintahannya, akhir tahun 2004. Semangat Presiden ketika itu tampak menggebu-gebu. Secara tegas Yudhoyono menyatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi.
Semangat memberantas korupsi Yudhoyono pada awal pemerintahannya diperkuat dengan menerbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2005. Ia juga mendirikan tim pemburu koruptor di bawah wewenang Jaksa Agung dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk memburu buronan dan aset-aset mereka.
Menilik jumlah pendakwaan terhadap kasus tindak pidana khusus oleh Kejaksaan Agung, memang terjadi peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Selama satu tahun pemerintahan Yudhoyono, misalnya, jumlah kasus pada tahap pendakwaan yang selesai ditangani meningkat dari 586 kasus pada tahun 2004, menjadi 637 kasus pada tahun 2005. Jumlah ini jauh lebih banyak jika dibandingkan pada tahun pertama reformasi 1998 yang tercatat hanya 115 kasus yang selesai ditangani.
Sejumlah prestasi yang dicapai oleh pemerintahan saat ini ternyata belum mampu mengangkat apresiasi publik terhadap upaya pemerintah memberantas korupsi. Ini tercermin dari suara mayoritas responden yang menyatakan tidak puas atas kinerja pemerintah dalam menangani masalah korupsi. Sebanyak 75,3 persen responden dalam jajak pendapat ini menyatakan hal tersebut.
Publik masih menilai bahwa proses penanganan korupsi di negeri ini belum dilakukan secara menyeluruh. Perlakuan hukum terhadap koruptor, menurut mayoritas responden, masih dianggap kental dengan nuansa politik. Jajaran hukum yang ada pun dianggap masih rentan dari intervensi kekuatan-kekuatan, baik ekonomi maupun politik tertentu.
Sebanyak 76,4 persen responden menilai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah masih kental dengan nuansa politik. Delapan dari sepuluh responden pun menyatakan penanganan kasus-kasus korupsi selama ini dijalankan secara pilih-pilih.
Persepsi publik tersebut boleh jadi tergiring oleh kegagalan pemerintah membongkar sejumlah kasus korupsi kelas kakap. Selain itu, sejumlah kebijakan kontroversial yang ditetapkan pemerintah juga menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat soal keseriusan pemerintah menangani korupsi.
Salah satu kebijakan kontroversial pemerintah adalah pembubaran Tim Tastipikor melalui Keppres Nomor 10 Tahun 2007. Tim yang beranggotakan 48 orang terdiri dari unsur kejaksaan, kepolisian, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan itu menyisakan sejumlah kasus yang tidak tuntas ditangani. Sejumlah kasus yang belum selesai ditangani itu kemudian dilanjutkan kejaksaan atau kepolisian.
Di tengah rumitnya mengatur strategi pemberantasan korupsi, pemerintah saat ini juga menghadapi gugatan soal lemahnya manajemen penagihan kerugian negara dari para koruptor. Seperangkat aturan dan perangkat hukum yang ada tidak mungkin berjalan sendiri-sendiri. Dalam memerangi korupsi dibutuhkan keselarasan misi dan tujuan serta eksekusi dari semua instrumen yang ada. Dalam hal ini, mayoritas publik (66,1 persen) merasakan tidak ada keselarasan visi dan tujuan berbagai lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi. (SUWARDIMAN-Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, 3 September 2007