Lima perusahaan HPH cicil & lunasi tunggakan DR [13/07/04]
Lima perusahaan sektor kehutanan yang memperoleh Surat Peringatan (SP) I dan III akhirnya membayar tunggakan DR dan PSDH sejak awal Juli 2004 mengikuti 39 perusahaan sejenis yang sudah membayar lebih dulu bulan lalu.
Kelima perusahaan tersebut masing-masing PT Timber Dana Kaltim meluasi Rp26,24 miliar, PT Artika Optima Inti II Papua membayar Rp2,77 miliar dari tunggakan Rp15,58 miliar, PT Sari Bumi Kusuma membayar Rp37,47 miliar dari tunggakan Rp38,80 miliar, PT Trisetia Intiga membayar Rp3,26 miliar dari tunggakan Rp11,08 miliar dan PT Intisixta melunasi Rp2,33 miliar.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Luky Dhani mengatakan dengan pembayaran itu penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari DR dan PSDH hingga awal Juli 2004 telah mencapai Rp1,19 triliun yang berasal dari pembayaran DR Rp827,44 miliar dan PSDH Rp357,99 miliar. Penerimaan sebesar itu merupakan akumulasi dari pembayaran tunggakan DR dan PSDH tahun 2003 sebesar Rp642,81 miliar serta penerimaan DR dan PSDH 2004 senilai Rp542,63 miliar.
Untuk tahun ini, kata Luky, pemerintah mentargetkan penerimaan dari kedua kewajiban itu senilai Rp1,01 triliun, sebagai konsekuensi dari penurunan jatah tebangan dari hutan alam, yakni hanya 5,7 juta meter kubik.
Selain PT Sari Bumi Kusuma, PT Timber Dana, dan PT Erna Djuliawati, maka HPH yang membayar tunggakan DR dan PSDH selama periode Maret sampai Juli 2004 adalah PT Trisetia Intiga, PT Artika Optima Inti II, PT Intisixta, PT Rinaneda Inti Lestari, PT Mutiara Sabuk Katulistiwa, PT Talibu Luna Timber, PT Kayu Tribuana Rama, PT Asri Nusa Mandiri prima, PT Poleko Yobarson, PT Mangole Timber Uni I dan PT Mangole Timber unit V.
Sementara itu, PT Artika Optima Inti I dan IV, PT Benua Inda, PT Su-malindo Lestari Jaya, PT Ketapang Indah Plywood, dan PT Mamberamo Alas Mandiri menjadi enam perusahaan penunggak DR dan PSDH di atas Rp25 miliar yang belum melunasi kewajibannya.
Sebelumnya 39 perusahaan HPH pada Mei 2004 telah lebih dulu melunasi tunggakan kewajiban Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) senilai Rp 130,24 miliar.
Ke-39 perusahaan yang melunasi tunggakan DR dan PSDH tersebut umumnya dilakukan perusahaan yang berlokasi di sembilan propinsi di luar Jawa yakni Sumut (dua perusahaan), Kalteng (16), Sumbar (3), Kaltim (8), Kalsel (1), Sulteng (4), Riau (1), Jambi (2) dan Maluku Utara (1).
Dengan pembayaran itu, maka hingga Mei 2004 jumlah tunggakan yang sudah dibayarkan oleh perusahaan kehutanan totalnya Rp325 miliar dan dibayarkan sebelum Mei 2004. Pembayaran itu sudah termasuk tunggakan iuran kehutanan lainnya.
HPH dicabut
Dengan demikian, jumlah dana yang masuk ke kas negara dari pembayaran tunggakan DR dan PSDH mencapai Rp 204,27 miliar, sedangkan dari pelunasan iuran kehutanan lainnya mencapai Rp 120,42 miliar. Iuran kehutanan selain DR dan PSDH itu adalah Industri Pengolahan Kayu Hilir (IPKH), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).
Luky Dhani mengatakan sampai awal Juni 2004, pemerintah sudah menerima setoran tunggakan DR dan PSDH senilai Rp642,81 miliar atau 50,2% dari total tunggakan kedua kewajiban itu senilai Rp1,28 triliun.
Setoran ke Kas Negara tersebut berasal dari pembayaran tunggakan oleh perusahaan pemegang HPH, Hutan Tanaman Industri (HTI), Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH), dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) di 13 propinsi, yakni Jambi, Sumbar, Riau, Sumut, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Maluku Utara, Sultra, Papua, dan Maluku.
Luky juga mengatakan sampai Juli 2004 ada 25 perusahaan HPH atau Industri Pengolah Kayu Hulu (IPKH) dengan nilai tunggakan Rp424,79 miliar telah diberi surat peringatan.
Untuk menghadapi kemungkinan HPH tetap tidak mau membayar kewajibannya dan lebih memilih izin HPHnya dicabut, sementara tegakan di areal konsesinya sudah habis ditebang, Luky menyarankan Departemen Kehutanan menerapkan paksa badan, seperti kebijakan yang diterapkan Ditjen Pajak.
Departemen Kehutanan bisa meminta data perusahaan ke Kadin Indonesia atau Mahkamah Agung. Mereka hanya menjadikan hutan sebagai 'sapi perah' untuk mendapatkan dana cepat bagi pengembangan usaha di sektor lainnya.
Direktur Eksekutif Greenomics, Elfian Effendi mengatakan munculnya tunggakan ini membuat para pengusaha hutan, apalagi pemilik HPH yang besar-besar, menjadi tidak dipercaya dan masuk black list dunia perbankan serta tidak dipercaya pemerintah.
Apalagi, tegasnya, lebih dari 80% HPH yang ada kemampuan keuangannya tidak sehat. Investasi kembali dari keuntungan sekitar 80% perusahaan HPH di areal konsesinya juga jelek, kata Elfian.
Mereka tidak serius mengelola hutan secara lestari. Tidak ada pemikiran jangka panjang dalam mengelola perusahaan, padahal bisnis di sektor ini usaha jangka panjang.
Karena itu, kata Elfian, ketidak percayaan perbankan dan pemerintah disebabkan ulah mereka sendiri. (msb/dot)
Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Juli 2004