Liku-Liku Percaloan dan Mafia Peradilan di Indonesia

Kopi Cek Rp 250 Juta Terselip di Kamar Harimau
Kasus suap Rp 5 miliar yang diduga melibatkan ketua majelis yang kebetulan juga Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menjadi bukti betapa parahnya kerusakan pada sistem peradilan di Indonesia. Bagaimana modus suap dan para calo perkara itu beroperasi?

ERWAN W.-BAHARI, Jogja

KISAH tertangkapnya Bu Yoso -begitu Harini Wijoso disapa- sangat mengejutkan warga perumahan Gading Sari. Di perumahan yang terletak bersebelahan dengan kompleks Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Jogja itulah, mantan hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jogjakarta itu menghabiskan hari tuanya.

Rumah bertembok warna putih itu memang lumayan besar, berdiri di atas dua kavling -nomor 9 dan 10- yang digabungkan menjadi satu. Rumah berpagar besi abu-abu itu terlihat sepi. Saat diamati Jawa Pos seharian kemarin, pintunya selalu tertutup.

Di teras kavling rumah nomor 9 tampak seorang penjaga duduk. Dia tampak sedang membaca koran Jawa Pos yang memuat berita kasus suap di MA yang melibatkan si pemilik rumah. Ibu tidak ada. Ibu di Jakarta, jawab pria itu singkat ketika koran ini memastikan apa betul itu rumah Harini.

Setelah itu, dia kembali berbalik ke kursi yang berada di teras. Tak mengacuhkan beberapa pertanyaan yang diajukan Jawa Pos, dia malah sibuk membenahi beberapa gelas teh dan botol air mineral yang menumpuk di meja.

Berdasar informasi dari sejumlah tetangga, di rumah itu Harini tinggal bersama sang suami Endro Wijoso, yang dulu pernah menjadi dosen Akademi Perkebunan LPP Jogja. Beliau hanya berdua dan ditemani beberapa pembantu, ujar seorang tetangga.

Lantas, ke mana anak-anak mereka? Pasangan Endro-Harini hanya memiliki seorang putri yang sekarang bermukim di Solo mengikuti suaminya. Putri Harini itu bekerja di sebuah bank. Dari perkawinan putrinya, pengacara pengusaha Probosutedjo itu mendapatkan tiga orang cucu. Semua tinggal di Solo, imbuhnya.

Sejak Harini ditangkap KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) karena kasus suap sekitar Rp 5 miliar, Endro menyusul ke Jakarta. Kabarnya, Bapak ikut menyusul Bu Yoso, ungkap Ribut, seorang satpam kompleks perumahan tersebut.

Di Jakarta, keluarga itu juga punya rumah di Jalan Puri Mutiara I No 243, Jakarta Selatan. Bahkan, di rumah Jakarta itu pula KPK menggerebek dan menyita uang transaksi haram Rp 5 miliar dengan lima pegawai MA. Dari jumlah itu, kabarnya, Rp 700 juta sudah diterima Harini dan digunakan untuk merenovasi rumahnya di Jogja. Tapi, Jawa Pos tidak menemukan rumah Harini di Gading Sari tersebut baru direnovasi.

Berita tertangkapnya Bu Yoso yang menjadi pengacara Probosutedjo dalam kasus korupsi HTI (hutan tanaman industri) senilai Rp 100 miliar lebih beserta lima pegawai MA oleh KPK telah menyebar di kompleks itu. Meski terkesan diam-diam, banyak tetangga di sini yang menceritakan kasus yang sedang dialami Bu Yoso, tambah Ribut.

Soal kepribadian keluarga Harini, Kepala Dusun I Banyumeneng Wasito, yang wilayahnya membawahkan kompleks itu, punya catatan tersendiri. Menurut dia, selama ini keluarga pasangan manula itu terbilang tidak neko-neko. Mereka termasuk akrab dan aktif dengan kegiatan

kampung. Kalau perumahan ada kegiatan, Bu Yoso paling
aktif, kata Wasito.
Pid,ok.0710

Sementara itu, kasus suap yang melibatkan lima staf MA guna melancarkan kasasi Probosutedjo, adik tiri bekas Presiden Soeharto, sangat memukul salah satu hakim agung yang dikenal bersih. Saya bersyukur kasus ini bisa terbongkar. Kalau tidak, kasus serupa akan terus merajalela di lingkungan MA, aku hakim agung Artidjo Alkotsar kepada Jawa Pos di Gedung MA, Jakarta, kemarin.

Menurut Artidjo, salah satu penyebab terjadinya transaksi antara pihak yang beperkara dan staf MA adalah longgarnya aturan di lingkungan MA. Tak jarang, para tamu maupun pihak yang beperkara bisa menemui hakim agung di rung kerja. Selain tidak etis, itu sangat berbahaya karena bisa menggoda hakim agung yang bersangkutan, ungkapnya.

Kalau hakim agung menolak tamu dari luar, kata dia, para calo perkara maupun yang beperkara tidak putus asa. Mereka pun menemui staf hakim agung untuk minta dipertemukan dengan hakim agung yang menangani perkaranya. Kesempatan itu dimanfaatkan staf tadi yang sok mengaku bisa mengatur pertemuan.

Itu sering terjadi. Sekarang tinggal hakim agungnya sendiri. Berani tegas menolak atau akan tergiur. Kalau saya, tidak ada kompromi soal semacam itu, kata bekas pembela kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas Jogjakarta itu.

Lokasi transaksi perkara bisa terjadi di mana saja di lingkungan MA. Mulai ruang kerja hakim agung, ruang staf, kantin, tempat parkir, sampai wartel di kompleks MA.

Cara hakim agung menghadapi rongrongan kasus suap perkara yang ditanganinya pun beragam. Artidjo saat kali pertama diangkat menjadi hakim agung pada 2000 langsung mensterilkan ruang kerjanya. Tidak menerima tamu yang ada kaitannya dengan perkara, katanya.

Tak hanya itu, Artidjo wanti-wanti kepada stafnya agar jangan mencoba-coba menjadi makelar perkara atau memasukkan tamu yang tidak jelas ke ruang kerjanya. Sampai sekarang, staf saya tak berani macam-macam. Bahkan, mereka (staf MA) menjuluki ruang kerja saya sebagai ruang harimau, kelakar hakim agung kelahiran Pulau Madura itu.

Meski demikian, tetap ada saja pihak beperkara yang nekat mencoba menyuap Artidjo. Suatu kali di bawah pintu ruang kerjanya, terselip amplop. Isinya fotokopi traveller

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan