Legitimasi

Akhirnya kejaksaan membuka diri untuk melakukan ekspos perkara bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Efektifkah?

 

Dalam banyak hal, ekspos justru berpotensi mengarah pada sekadar legitimasi kemelut dan silang sengkarut penanganan BLBI di kejaksaan. Sulit mengatakan kejaksaan punya iktikad baik. Kecuali pada saat ekspos Kejaksaan Agung langsung menyerahkan semua dokumen yang pernah mereka miliki. Kasus BLBI hingga saat ini masih menjadi megaskandal yang sangat merugikan negara.Total dana yang dikucurkan di luar bunga dan perubahan nilai uang mencapai Rp431,6 triliun.

Biaya yang dikeluarkan negara untuk penarikan BLBI dan pengembalian aset mencapai Rp600 triliun. Jumlah yang luar biasa dibanding korupsi yang pernah terungkap di negeri ini. Pelanggaran hukum dan penyimpangan hampir terjadi di setiap tahap proses BLBI,mulai dari tahap penyaluran (penyimpangan: 95,8%), tahap penggunaan (penyimpangan 58,70%) hingga pengembalian aset.

Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) adalah salah satu bank dalam status bank beku operasi (BBO) yang mendapatkan kucuran terbesar dalam kebijakan BLBI. Sjamsul Nursalim tercatat menjadi presiden direktur dan pemegang saham dominan pada BDNI.

BDNI–Sjamsul Nursalim

Pada lampiran Audit BPK No02/Auditama II/AK/XII/1999, dicantumkan, BDNI mendapatkan porsi tertinggi, yaitu 25,63% atau Rp37,04 triliun.

Dalam perkembangannya, kewajiban akhir Sjamsul Nursalim adalah Rp28,4 Triliun,yang kemudian dijadikan angka patokan penyusunan master settlement and acquisition agreement(MSAA). Persoalannya, Sjamsul justru dapat dikategorikan obligor yang tidak patuh.Sjamsul baru membayar 17,4% tunggakannya. Dengan demikian masih mempunyai utang Rp23,5 triliun.

Lantas bagaimana mungkin Sjamsul mengantongi surat keterangan lunas (SKL)? MSAA memang mengatur bahwa jika closing date terjadi Sjamsul akan bebas dari setiap tuntutan hukum. Namun hal tersebut hanya terjadi jika Sjamsul sudah menunaikan semua kewajiban. Apakah Sjamsul sudah membayarkan semua utang yang diatur dalam MSAA? Ternyata tidak.

Kewajiban pembayaran Rp1 triliun yang harus dibayar tunai pun gagal dilunasi. Dengan demikian,kalau pun SKL, Inpres Tahun 2002, dan release and discharge (R&D) diterbitkan, tentu saja dokumen tersebut dapat dikatakan cacat demi hukum.Konsekuensinya tidak dapat dijadikan dasar untuk menghentikan penegakan hukum pidana korupsi. Apalagi MSAA sesungguhnya hanya perjanjian perdamaian (perdata).

Pada Pasal 1853 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sangat jelas diatur,” Kepentingan perdata yang berasal dari kejahatan dapat diadakan perdamaian. Namun, tidak menghalangi jawatan kejaksaan untuk menuntut perkaranya. Artinya, pendapat yang menyatakan MSAA,SKL, dan inpres menghilangkan pertanggungjawaban pidana adalah logika hukum yang menyesatkan.

Dugaan Korupsi

ICW sudah menyerahkan 36 dokumen pada KPK (21/10) yang dapat dijadikan alat bukti dan informasi awal pengungkapan skandal BLBI.Berkas tersebut sangat terkait dengan kasus Sjamsul Nursalim. Jika dicermati, terdapat tiga alternatif pidana korupsi yang bisa diusut KPK. Pertama, pada tahap prapenyaluran.

Temuan Divisi Forsat dan Business Fraud Solution, menyebutkan BDNI ternyata sempat mengosongkan kas dan melakukan transfer ilegal pada 10 perusahaan dan bank di Amerika, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong.Total nilai transfer USD607 juta. Kedua pada tahap penggunaan.

Temuan BPKP pada 2001 menunjukkan negara dirugikan Rp6,93 triliun dan USD96,7 juta akibat dugaan korupsi dalam penyalahgunaan dana BLBI oleh BDNI. Ketiga pada tahap pengembalian aset.Kewajiban BDNI Rp27,4 yang harus diserahkan dalam bentuk aset ternyata hanya bernilai Rp6,3 triliun. Masalahnya, penurunan nilai aset ini bukan terjadi karena adanya penurunan nilai uang atau fluktuasi ekonomi seperti yang didalilkan pihak BDNI.

Selisih nilai aset diduga kuat disebabkan oleh tindak pidana. Penjelasan di atas dan dokumen yang diberikan ICW pada KPK merupakan dorongan agar KPK segera mengusut tuntas kasus korupsi BLBI mulai dari skandal BLBI-BDNI yang diduga melibatkan Sjamsul Nursalim.

Semua alasan, penolakan, bahkan retorika seharusnya segera dikonkretkan dalam bentuk penerbitan surat perintah penyelidikan oleh pimpinan KPK.Karena hanya KPK yang dinilai publik punya legitimasi menangani megakorupsi BLBI ini. Apalagi terbukti, fakta persidangan Urip- Artalyta menegaskan adanya korupsi dalam pengusutan BLBI sebelumnya oleh Kejaksaan Agung.

Dengan demikian, apa pun hasil gelar perkara BLBI di Kejaksaan Agung,KPK tidak boleh menjadikannya sebagai sandaran utama. Akan lebih tepat jika KPK mempertegas posisi independennya, baik secara struktural ataupun institusional. Di sisi lain, SP-3 yang dikeluarkan kejaksaan pun harus dipahami sebagai produk administrasi di kejaksaan.

Sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kewenangan KPK mengusut kasus korupsi.KPK bahkan bisa mulai kasus korupsi BLBI dari tahap investigasi awal. Kewenangan KPK tidak boleh direduksi oleh politisi, administrator kejaksaan, apalagi koruptor.(*)

Febri Diansyah, Peneliti Hukum Anggota Badan Pekerja ICW

 

Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 24 Oktober 2005

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan