Legislasi yang Mati Rasa

Dua kali lagi matahari menghampiri ufuk barat, tahun 2008 segera berlalu. Artinya, dalam hitungan jam kita akan bersulang dengan tahun 2009. Sepanjang tahun 2008, praktik penyelenggaraan negara meninggalkan serangkaian catatan penting, termasuk dalam proses legislasi atau pembentukan undang-undang. Di antara catatan tersebut: maraknya penolakan masyarakat atas produk legislasi yang dihasilkan Presiden dan DPR.

Dalam hal substansi UU merugikan masyarakat, penolakan sudah dimulai ketika proses pembahasan RUU tengah berlangsung di DPR. Pengalaman menunjukkan, semakin dominan kepentingan (seperti politik dan ekonomi) pembentuk UU, keberatan dan penolakan masyarakat semakin diabaikan. Karena itu, dalam banyak contoh kasus, proses dan hasil legislasi seperti mengalami mati rasa.

Guna membangunkan pembentuk undang-undang dari suasana mati rasa itu, berbagai kelompok masyarakat berupaya melakukan lobi, membangun opini, dan menawarkan draf alternatif. Jika cara yang paling lunak itu tidak tercapai, penolakan dengan ancaman mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi cara lain berikutnya. Tidak jarang, penolakan diikuti dengan unjuk rasa dan aksi-aksi lain yang terbilang satir.

Degradasi representasi
Dari catatan yang ada, sepanjang Desember 2008 setidaknya terdapat tiga RUU yang mendapat penolakan luas berbagai kalangan masyarakat, yaitu UU Mahkamah Agung (MA), UU Mineral dan Batu Bara, dan UU Badan Hukum Pendidikan. Catatan tersebut bisa menjadi lebih banyak, misalnya, jika ditambah dengan UU bidang politik (seperti Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden/Wapres) yang disahkan beberapa waktu lalu.

Catatan tersebut membuktikan, pembentuk UU tidak menganggap penting aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Padahal, dalam posisi sebagai representasi rakyat, anggota DPR tidak boleh menafikan suara-suara masyarakat. Sebagaimana dikemukakan David Close (1995), dalam perkembangan negara modern, legislatif merupakan institusi pertama yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Namun, dalam perkembangannya, karena kepentingan politik partai politik dan kepentingan politik individu, makna hakiki representasi itu mengalami degradasi secara drastis.

Berkaca dari pasal-pasal krusial yang terdapat dalam undang-undang bidang politik, pengingkaran aspirasi masyarakat tidak hanya karena kepentingan politik tunggal, tetapi hasil pertemuan dua kepentingan sekaligus: kepentingan partai politik dan kepentingan individu anggota DPR. Meskipun terdapat sedikit suara berbeda selama pembahasan di DPR, pertemuan kepentingan itu benar-benar menghancurkan posisi terhormat DPR sebagai yang mewakili rakyat.

Tidak hanya dalam undang-undang bidang politik, legislasi yang mati rasa juga terjadi dalam proses revisi paket UU Kekuasaan Kehakiman. Sampai saat ini masyarakat tidak bisa menerima dan sulit memahami langkah DPR memberikan prioritas penyelesaian revisi UU MA. Padahal, tanpa itu MA tetap bisa melaksanakan tugas menegakkan hukum dan keadilan. Dengan tetap memaksa untuk menyelesaikan revisi UU MA, wajar jika masyarakat mencurigai ada ”kolusi” antara DPR dan MA. Setidaknya, ”kolusi” tersebut lebih mudah dipahami dan dijelaskan dengan menaikkan batas pensiun hakim agung menjadi 70 tahun.

Selain dalam proses pembentukan, mati rasa dalam fungsi legislasi juga dapat disimak dari pengabaian (by design), misalnya, RUU Pengadilan Korupsi. Sebagaimana diketahui, merujuk putusan MK, Desember 2009 menjadi batas akhir untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jika tidak selesai, waktu yang tersisa menjadi hari-hari menjemput kematian Pengadilan Tipikor.

Begitu juga dengan revisi UU Komisi Yudisial (KY). Sekalipun tidak ada batas waktu seperti Pengadilan Tipikor, dengan mengabaikan penyelesaian UU KY, DPR sedang menghancurkan desain besar pembaruan kekuasaan kehakiman. Tidak hanya itu, menelantarkan KY, perlahan-lahan DPR sedang membunuh salah satu organ konstitusi yang merupakan anak kandung reformasi.

Bantuan MK
Untuk mencegah hadirnya undang-undang yang merugikan kepentingan masyarakat, proses pembentukan undang-undang ditata sedemikian rupa sehingga semua proses berlangsung dalam kerangka checks and balances. Misalnya, agar tidak dimonopoli oleh satu kamar, lembaga legislatif juga mengenal adanya kamar kedua. Tidak cukup dengan checks and balances internal lembaga legislatif, eksekutif juga diberi ruang untuk mengajukan keberatan atas rancangan undang-undang yang disetujui lembaga legislatif.

Namun, menurut John Agresto (1984), proses itu belum cukup menghilangkan kecurigaan munculnya UU yang opresif atau despotik. Sebagaimana dikhawatirkan Jeremy Waldron dalam The Dignity of Legislation (1999), ”Legislatures have a bad name in legal and political philosophy, a name sufficiently disreputable to cast doubt on their credentials as respectable source of law” .

Dalam sistem ketatanegaraan kita, sebagai kamar kedua di lembaga legislatif, DPD tidak mungkin diharapkan bisa mengimbangi DPR. Bahkan, merujuk hasil perubahan UUD 1945, Presiden yang mempunyai kuasa besar dalam proses pembentukan undang-undang juga tidak mampu mengimbagi kekuatan DPR. Dengan kewenangan yang diatur Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, Presiden dapat menolak menyetujui RUU yang merugikan kepentingan masyarakat. Sayang, itu tidak pernah terjadi. Presiden lebih mengutamakan menjaga hubungan baik dengan DPR dibandingkan dengan menyahuti suara masyarakat.

Dalam konteks itu, secara konstitusional, harapan besar untuk membangunkan kembali legislasi yang telah cukup lama mengalami mati rasa ada pada MK. Untuk beberapa kasus, MK terbilang berhasil mengoreksi sejumlah UU. Yang paling mutakhir, putusan MK yang menyatakan penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut bertentangan dengan UUD 1945.

Semoga tahun depan, setidak-tidaknya DPR hasil Pemilu 2009 bisa keluar dari jebakan legislasi yang mati rasa tersebut. Kalaupun tidak, sepanjang MK tidak terjangkit virus mati rasa, UU yang opresif atau despotik seperti disitir Agresto masih bisa dikoreksi. Tanpa itu, negeri ini akan mengalami mati rasa secara permanen.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas

Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 Desember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan