Lebih 30 persen Disalahgunakan

Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Masykur Musa mengatakan, dalam proses pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah, setidaknya ada tujuh titik potensi tindak pidana korupsi.

Tujuh poin itu menjadi langganan temuan ketidakwajaran BPK saat audit laporan keuangan kementerian maupun pemerintah daerah. “Korupsi itu terjadi pada dua level, yaitu level perencanaan yang menyangkut penyusunan dan kemudian level pelaksanaanya,“ ujar dia saat berbicara dalam forum keprihatinan korupsi yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta kemarin.

Titik pertama yang paling rawan penyelewengan menurut Ali adalah program bantuan sosial (bansos).Pihaknya menemukan lebih dari 30% mata anggaran bansos disalahgunakan oleh bupati atau wali kota yang ingin kembali maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) periode selanjutnya untuk meraih simpati masyarakat.

Kemudian mata anggaran yang disebut BA 99,yaitu bagian anggaran di luar perencanaan yang biasanya dinegosiasikan oleh penyusun anggaran dengan kepala daerah yang ingin mendapat tambahan dana.Proses ini sering kali menimbulkan negosiasi yang diwarnai dengan suap-menyuap. Titik rawan korupsi berikutnya adalah perjalanan dinas. BPK tiap tahun menemukan seluruh kementerian melaporkan 70% perjalanan dinas fiktif.

Modusnya bermacam- macam, mulai dari memalsukan lama perjalanan dinas hingga menggunakan akomodasi yang tidak sesuai standar. “Hibah juga rawan. Ada lagi proses pengerjaan proyek yang tidak sesuai bestek.Juga pelaksanaan yang tidak melalui DIPA (daftar isian proyek anggaran),”ujarnya. Temuan-temuan tersebut, menurut mantan anggota fraksi PKB DPR itu, terus berulang tiap tahun dengan kerugian negara yang besar.

Pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2010, BPK menemukan kerugian negara sebesar Rp2,9 miliar. Persoalannya, BPK tidak mempunyai kewenangan penyidikan sehingga temuan- temuannya hanya menjadi bukti awal untuk ditindaklanjuti penegak hukum lain. Selama ini, BPK terus melaporkan bukti-bukti awal tersebut kepada KPK,kejaksaan maupun kepolisian, tetapi dari total laporan hanya sekitar 20% yang ditindaklanjuti.

“Temuan-temuan kami itu lebih banyak yang tidak ditindaklanjuti daripada temuan yang diteruskan penyidikannya,” ujar dia. Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang juga hadir dalam forum keprihatinan korupsi tersebut mengungkapkan,kasus korupsi sudah pada level mengancam dan membahayakan negara. Pemberantasan korupsi tidak bergerak karena tiap pihak menyandera pihak lain.

 Menurut Mahfud, ada dua jenis penyanderaan yang membuat korupsi sulit diberantas. Pertama, pelaku korupsi mengatur agar tidak ada pihak lain tahu kecuali dia dan orang yang berkepentingan sehingga jika pelaku korupsi tertangkap,mereka bisa saling menyangkal tidak ada bukti dan saksinya.

Kemudian semua orang sudah disandera dengan kasus masing-masing sehingga pemberantasan korupsi tidak berjalan. ”Yang lebih gila, sekarang itu terjadi penyanderaan antara satu dengan yang lain. Contohnya, saya tahu misalnya si A itu bersalah, tapi si A menyandera.

Kalau kamu buka ini, saya buka juga bahwa kamu pernah menerima ini,” ujarnya. Mahfud mengaku dirinya sudah kehabisan teori untuk memberantas korupsi di Indonesia.Saat ini diperlukan sosok yang mempunyai kekuasaan besar, tetapi tidak tersandera sehingga kekuasaannya bisa digunakan untuk melakukan pemberantasan korupsi.

Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj mengatakan, korupsi adalah dosa besar yang membangkrutkan negara. Dalam pandangan NU, koruptor harus mendapatkan hukuman berat. “NU berharap pemerintah mempunyai niat baik untuk menegakan hukum. Tapi jika tidak, pemerintah akan berhadapan dengan rakyat,” ujarnya. mnlatief
Sumber: Koran Sindo, 27 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan