Layanan Birokrasi Masih Jeblok

Salah satu agenda utama yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajaran kabinetnya di awal pemerintahan adalah memperbaiki layanan birokrasi dan karena itu diperlukan reformasi birokrasi.

Salah satu agenda utama yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajaran kabinetnya di awal pemerintahan adalah memperbaiki layanan birokrasi dan karena itu diperlukan reformasi birokrasi. Kemacetan lalu lintas birokrasi harus segera diakhiri, begitu kira-kira pesan sang Presiden.

Pertanyaannya, sebegitu rusakkah layanan birokrasi kita sehingga menjadi target Presiden untuk diperbaiki? Dan apakah yang dijanjikan tersebut kini sudah terlaksana?

Sejarah birokrasi di Indonesia memang gelap, terutama semasa Orde Baru, yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar ongkos kemahalan. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian tarif/biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi dan kolusi.

Atas layanan birokrasi yang buruk itu, sangat wajar jika akhirnya pelayanan publik di Indonesia pun sulit diakses oleh rakyat miskin, demikian menurut Bank Dunia, yang dilaporkan dalam World Development Report 2004. Bahkan, masih menurut Bank Dunia, layanan birokrasi di Indonesia bukan saja sulit diakses oleh rakyat miskin, tapi juga menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi (high cost economy), yang kemudian membebani kinerja ekonomi Indonesia.

Secara normatif, upaya pemerintah memperbaiki layanan birokrasi sudah dilakukan. Setidak-tidaknya, Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan SK Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Peningkatan Pelayanan Publik. Presiden juga mencanangkan setiap 14 September sebagai Hari Pelanggan Nasional.

Sayangnya, hingga detik ini, perbaikan layanan birokrasi yang dilakukan oleh Presiden Susilo hanya sebatas normatif. Sebab, secara empiris membuktikan sebaliknya. Masyarakat konsumen masih sering menjadi korban atas ketidakmanusiawian dan ketidakprofesionalan layanan birokrasi. Memang, upaya Presiden Susilo membuat SMS center 4949 patut mendapatkan apresiasi. Namun, nyatanya SMS center 4949 tidak berbeda jauh dengan Kotak Pos 5000, ala Presiden Soeharto dulu. Tindak lanjut atas informasi yang masuk ke SMS center 4949 tidak pernah jelas, dan publik tidak pernah mengetahui langkah konkret apa yang dilakukan Presiden terhadap kasus-kasus yang masuk ke SMS center tersebut.

Pencanangan Hari Pelanggan Nasional juga nyaris tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas layanan, terutama terhadap komoditas public utilities yang disediakan oleh berbagai operator, seperti PDAM, PT Telkom, PT PLN, dan PT Pertamina. Buktinya, setidak-tidaknya menurut Data Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, komoditas yang disediakan oleh ketiga operator tersebut masih jeblok di mata konsumen.

Layanan publik, seperti KTP, SIM, STNK, paspor, akta tanah, akta kelahiran, IMB, juga belum ada kemajuan yang berarti, terutama dari sisi perbaikan manajemen dan pengadministrasian. Sebagai contoh, tidak sedikit anggota masyarakat yang bisa mengantongi lebih dari satu kartu identitas yang bernama KTP. Ini menunjukkan kacaunya sistem administrasi kependudukan, baik pada level daerah maupun nasional. Jangan heran kalau para petualang jihad (kaum teroris) begitu at home di Indonesia karena di negeri inilah mereka bisa beralih rupa dengan begitu mudahnya. Calo-calo di seputar pengurusan SIM dan STNK juga masih leluasa bergentayangan di sekitar lokasi. Mengurus SIM/STNK jika mau cepat, ya lewat biro jasa saja, begitu kira-kira.

Begitu juga dengan mengurus paspor. Kalau kita datang ke kantor Imigrasi, pasti akan didekati oknum yang bisa mempercepat proses pengurusan. Tentu dengan imbalan biaya berlipat-lipat. Bahkan Presiden Susilo beberapa waktu lalu dibuat meradang dengan kinerja keimigrasian ini, yang justru menjadi salah satu pemicu hengkangnya para calon investor yang akan datang ke Indonesia.

Otonomi daerah, yang semula diidealkan untuk efisiensi layanan birokrasi, kini yang terjadi justru sebaliknya. Di berbagai tempat, otonomi daerah justru menjadi sumber utama ketidakefisienan layanan birokrasi. Konyolnya, sumber-sumber ketidakefisienan tersebut justru dilegalkan, misalnya via perda, peraturan gubernur, atau aturan di bawahnya. Bahkan sering terjadi berebut kaveling antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/pemerintah kota, khususnya untuk komoditas basah, misalnya, izin trayek angkutan umum dan pengujian KIR.

Presiden Susilo, melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dalam waktu dekat ini juga akan meluncurkan RUU Layanan Publik. Saat ini rancangan undang-undang tersebut sudah sampai di meja DPR, bahkan sedianya menjadi salah satu rancangan undang-undang yang akan disahkan pada masa sidang 2005. Secara substansi RUU Layanan Publik lumayan baik karena ingin mengikis habis ketidakefisienan layanan birokrasi, yakni dengan membuat standar pelayanan, seperti prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern, penanganan pengaduan, saran dan masukan, serta jaminan pelayanan (Pasal 17 RUU Layanan Publik, Draf VIII). RUU Layanan Publik ini juga memberikan ruang yang luas bagi masyarakat jika terjadi sengketa antara masyarakat dan pemberi pelayanan publik, bahkan melalui akses gugatan publik, baik dengan cara class action maupun legal standing (Pasal 40 RUU Layanan Publik, Draf VIII).

Secara regulasi, saat ini memang terjadi kekosongan hukum (vacuum of law) untuk standardisasi layanan birokrasi. Sangat pantas jika di berbagai sektor praktek layanan birokrasi berjalan bak tanpa arah. Regulasi yang ada hanya sebatas SK Men-PAN Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Peningkatan Pelayanan Publik. Namun, SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ini seperti macan ompong saja, apalagi di era otonomi daerah seperti sekarang ini.

Kehadiran RUU Layanan Publik sedikit-banyak memberikan angin segar bagi perubahan birokrasi kita. Namun, lahirnya suatu produk hukum bukanlah jaminan akan terjadinya perubahan yang cepat. Apalagi di negeri ini praktek law enforcement masih memble, dan semangat kepatuhan terhadap produk hukum juga masih rendah.

Sejatinya, perubahan paradigma di tataran pelaksana birokrasi merupakan hal yang sangat mendesak. Ideologi sebagai pangreh praja alias pegawai raja/pemerintah masih melekat erat hingga saat ini. Seharusnya ideologi para state apparatus (baca: PNS!) adalah pamomong masyarakat. Pantas, jika mereka justru minta dilayani oleh masyarakat, bukan melayani masyarakat. Mereka harus berubah!

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan