Laporan Kekayaan Legislator

Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis (10/3) lalu mengumumkan baru 62,75 persen dari 545 anggota DPR yang menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara. Artinya, masih ada sekitar 37,25 persen atau sebanyak 203 wakil rakyat yang telah dilantik lebih dari setahun lalu, tetapi belum melaporkan kekayaan mereka kepada KPK.
 
Tidak hanya DPR, data KPK juga menunjukkan 9.676 anggota DPRD-provinsi, kabupaten/kota-di seluruh Indonesia juga belum setor laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
 
Masih banyaknya anggota legislatif yang belum melaporkan kekayaan sungguh ironis. Pelaporan kekayaan adalah salah satu bentuk komitmen anti korupsi setiap pejabat publik, termasuk anggota Dewan. Selama belum melaporkan kekayaan, wajar saja publik meragukan komitmen anti korupsi mereka dan mencurigai asal-usul harta para wakil rakyatnya di parlemen.
 
Langgar sumpah jabatan
Sikap tidak terhormat para legislator yang malas lapor kekayaannya tidak saja menunjukkan rendahnya budaya transparansi, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar sumpah jabatan. Ketika dilantik, salah satu inti sumpah yang diucapkan oleh setiap anggota legislatif adalah memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU.
 
Kewajiban pelaporan kekayaan anggota Dewan adalah mandat dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam Pasal 5 Ayat 3 regulasi tersebut menegaskan bahwa anggota DPR/ DPRD selaku penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat.
 
Pada faktanya bukan kali ini saja banyak anggota Dewan malas melaporkan kekayaannya. Keluhan KPK soal ketidakpatuhan para legislator ini sebelumnya juga muncul pada awal masa kerja DPR/DPRD periode 2009-2014.   
 
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch setidaknya ada dua sebab mengapa tingkat kepatuhan laporan kekayaan anggota legislatif tergolong rendah. Pertama, tidak ada keharusan pelaporan kekayaan sebagai syarat untuk menjadi anggota legislatif. Dalam UU No 10/ 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terdapat sejumlah syarat agar seseorang bisa menjadi anggota legislatif, tetapi tidak ada satu pun yang menyebutkan keharusan bagi calon untuk melaporkan kekayaannya. 
 
Bandingkan dengan proses seleksi calon pejabat publik lainnya, seperti pimpinan KPK, calon kepala daerah, bahkan calon presiden dan wakil presiden.  UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, khususnya Pasal 14, menyebutkan penyerahan laporan kekayaan kepada KPK merupakan syarat untuk mendaftarkan diri bagi pasangan calon presiden  dan wakil presiden.
 
Kedua, tidak ada ancaman pidana bagi penyelenggara negara, termasuk anggota Dewan yang tak mau melaporkan kekayaannya. UU No 28/1999 hanya menyebutkan sanksi administratif bagi pejabat yang tidak mau melaporkan kekayaannya. Namun, pemberian sanksi administratif diserahkan kepada masing-masing pimpinan lembaga yang bersangkutan. Tanpa adanya ancaman pidana maupun sanksi administratif yang keras, sulit berharap mereka akan melaporkan kekayaan secara sukarela.
 
Berbeda dengan langkah penindakan, ketiadaan kewenangan dalam pencegahan-khususnya penanganan laporan kekayaan pejabat-menjadikan KPK tidak "bergigi". Dalam urusan LHKPN, muncul kesan KPK hanya sebatas meminta dan menerima laporan kekayaan. Regulasi anti korupsi yang ada tidak memberikan kewenangan KPK untuk mengambil tindakan keras bagi pejabat publik yang malas lapor kekayaan.
 
Sesungguhnya persoalan terhadap ketidakpatuhan pejabat atas pelaporan kekayaan sudah disadari betul oleh KPK sejak 10 tahun lalu. Pada 2006, KPK pernah melakukan studi tentang efektivitas pelaporan kekayaaan penyelenggara negara di Indonesia. Dari studi ini KPK mengidentifikasikan 15 faktor penyebab kenapa banyak penyelenggara negara, termasuk anggota legislatif, tidak melaporkan kekayaannya.
 
Faktor tersebut adalah lemahnya sanksi hukum; kewajiban pelaporan tidak diimbangi dengan kewenangan KPK; wajib lapor kekayaan belum menjadi syarat rekrutmen secara luas; menolak diakui atau tidak tahu kriteria sebagai wajib lapor; dan belum ada contoh pejabat yang dikenai sanksi karena tidak melapor.
 
Faktor lainnya adalah pejabat yang tidak lapor kekayaan tidak diumumkan; batas waktu pelaporan dan mekanisme penagihan tidak tegas; kelompok kerja LHKPN bentukan KPK kurang optimal; kehabisan formulir; kesulitan memahami dan melengkapi formulir; tidak ada waktu khusus untuk melengkapi formulir; keberatan atas biaya yang timbul; ada kejanggalan kekayaan; khawatir atas konsekuensi turunan; dan menganggap kekayaan adalah urusan privat.
 
Jika dibandingkan dengan negara lain, pelaporan kekayaan penyelenggara negara di Indonesia yang hanya diwajibkan sebelum dan sesudah menjabat bukanlah suatu yang memberatkan. Dalam studi KPK pada 2006 itu juga disebutkan ada 12 negara yang mewajibkan pejabat publik mereka melaporkan kekayaannya setiap tahun. Ke-12  negara tersebut adalah Romania, Filipina, Meksiko, Latvia, Korea Selatan, Kenya, India, Banglades, Albania, Tanzania, Amerika Serikat, dan Singapura.
 
Makin perburuk citra DPR
Masih banyak anggota DPR yang malas melaporkan kekayaan pada akhirnya juga memperburuk penilaian publik terhadap institusi parlemen. Selain malas melaporkan kekayaan, sejumlah anggota DPR juga malas menyelesaikan kewajiban legislasi atau  pembentukan UU. Dalam catatan ICW, selama setahun kerja DPR periode 2014-2019, dari 38 rancangan UU yang jadi prioritas, DPR hanya berhasil menyelesaikan tiga UU, yaitu UU Pemilihan Kepala Daerah, UU Pemerintahan Daerah, dan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
 
Agar masalah laporan kekayaan legislator tak berulang dan sekaligus memberikan efek jera kepada mereka yang malas serta tak jujur, ada sejumlah tindakan yang perlu dilakukan.
 
Untuk jangka pendek, KPK sebaiknya mengumumkan nama-nama legislator yang belum memperbarui atau sama sekali belum melaporkan kekayaannya. Pada saat bersamaan, Majelis Kehormatan Dewan DPR/DPRD juga harus berani menjatuhkan sanksi atau merekomendasikan penundaan pencairan gaji dan tunjangan bagi mereka yang malas lapor kekayaan.
 
Adapun rekomendasi jangka panjang adalah perlu disusun sebuah regulasi berupa ancaman pidana bagi penyelenggara negara, termasuk anggota legislatif, yang tidak mau atau tidak jujur dalam melaporkan kekayaannya. Ketentuan ini dapat memaksa legislator untuk segera melaporkan kekayaannya secara jujur. Jika legislator masih membandel juga, KPK harus diberi kewenangan agar dapat menjerat mereka hingga ke pengadilan.  
 
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
---------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Laporan Kekayaan Legislator".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan