Laporan Kejagung Soal ICW ke Polisi

Potensial Konflik Kepentingan

Kejaksaan Agung (Kejagung) melaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) terkait dengan pemberitaan tentang uang pengganti korupsi yang harus disetor kejaksaan kepada negara (Jawa Pos, 8/1/2009).

Pelaporan itu terkait dengan besarnya uang negara yang sudah diselamatkan kejaksaan. Pada Hari Antikorupsi Sedunia beberapa waktu lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, institusinya berhasil menyelamatkan uang negara Rp 8 triliun dan USD 18 juta dari berbagai kasus korupsi di seluruh Indonesia selama 2004-2008.

Sebaliknya, menurut ICW, klaim jaksa agung tersebut tidak sesuai dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat pada 2004 hingga semester I (2008). Uang negara yang masuk ke kas negara hanya Rp 382,67 miliar.

Berita tersebut dimuat harian ibu kota pada 5 Januari 2009, dan atas berita itu, Kejagung melaporkan ICW ke Mabes Polri. Pasalnya, ICW tidak pernah meminta klarifikasi ke Kejagung sebagaimana dikemukakan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Jasman Panjaitan.

Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Media Massa (Hubmedmas) Agung Dipo mengatakan, pihaknya melaporkan dua anggota ICW, yaitu Koordinator Monitoring Emerson Yuntho dan Peneliti Hukum Illian Deta Arthasari.

Kejaksaan, kepolisian, dan MA adalah primus inter pares (pemimpin rakyat) di bidang hukum. Dengan begitu, jika kejaksaan melaporkan ICW ke polisi, dikhawatirkan, konflik kepentingan akan terjadi.

Kritik yang dilontarkan ICW tidak bisa dianggap fitnah atau perbuatan tidak menyenangkan terhadap lembaga penegak hukum. Sebab, ICW bagian dari masyarakat yang sekadar menyampaikan kritik terhadap lembaga penegak hukum. Kecuali hal itu menyangkut individu dengan individu.

Di sisi lain, lengkah kejaksaan melaporkan ICW ke polisi dapat menekan kekuatn civil society yang selama ini mengkritik lembaga pemerintah demi perbaikan dan kemajuan bangsa. Jika setiap kritik masyarakat ditanggapi dengan melaporkannya ke polisi, dikhawatirkan, cita-cita menjadi negara demokratis tidak akan terwujud. Sebab, pmerintah tidak memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat berupa saran atau kritik. Pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan bersih tidak bisa terwujud.

Semestinya, aparat penegak hukum mendahulukan temuan ICW berupa dugaan korupsi. Sedangkan laporan Kejagung tentang pencemarn nama baik dikesampingkan dulu. Dengan demikian, aparat penegak hukum bisa mengetahui apakah terjadi kebohongan publik atau memang benar ada kerugian negara.

Banyak Cara
Sebenarnya, ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan perbedaan. Bisa saja kejaksaan mengundang ICW atau sebaliknya. Lantas, kedua pihak menunjukkan data-data yang mereka miliki sebagai upaya klarifikasi.

Khusus bagi Mabes Polri, kita berharap agar bertindak proporsional dan profesional untuk memperoleh kebenaran yang hakiki. Maksud kita tidak perlu menimbulkan bias, kejaksaan tidak dianggap masyarakat sebagai "mengorupsikan" uang hasil "korupsi" serta ICW tidak dituding orang sebagai "hanya omong doang". Hal itu perlu digarisbawahi menjelang dibuatnya MoU antara Kepolisian RI dan Kejagung agar tidak terjadi pengembalian berkas perkara dari penuntut umum ke penyidik, seperti yang terjadi selama ini.

Kita berharap agar hasil akhir dari "pergesekan" Kejagung-ICW kali ini akan memberikan uraian rinci kepada masyarakat. Sehingga, kejaksaan bersih dari prasangka buruk dan ICW juga semakin memperoleh kepercayaan publik sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang benar-benar berdasar fakta.

JOKO RIYANTO SH, alumnus Fakultas Hukum UNS-Solo

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Januari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan