Laporan Akhir Tahun ICW 2015

Kerja utama ICW pada 2015 ini adalah memberikan respon secara lebih sistematis terhadap tantangan eksternal yang muncul, terutama karena situasi politik yang tidak mendukung gerakan antikorupsi. Pada satu sisi t

Tahun 2015 dapat dianggap tahun paling sulit dalam mendorong agenda antikorupsi.  Pemimpin baru tak selamanya berarti harapan semakin besar. Pada awalnya mungkin iya, meski realitas politik menggerus sedikit demi sedikit suasana batin publik yang memimpikan Indonesia dibawah Presiden baru akan lebih berani melawan korupsi. Karena kenyataannya justru berbalik arah dengan harapan. Tali temali upaya dari berbagai sisi dan kekuatan untuk meredam agenda antikorupsi kian telanjang ditunjukkan. Hasilnya adalah pukulan mundur bagi gerakan antikorupsi. Kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK dan staff mereka, terhadap Komisioner Komisi Yudisial (KY), ancaman kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI), ancaman kepada Komnas HAM, usulan revisi UU KPK yang materinya mencerminkan ambisi politik Sengkuni untuk membubarkan atau memandulkan lembaga anti-rasuah ini, dan tebaran teror psikologis dan teror ‘hukum’ terhadap aktivis antikorupsi, baik di pusat maupun di daerah menjadikan tahun 2015 adalah tahun teror bagi gerakan antikorupsi secara keseluruhan.

Berbagai pengalaman internasional menunjukkan bahwa kemauan politik adalah conditio sine qua non untuk mencapai agenda pemberantasan korupsi yang efektif. Oleh karena itu, peran negara dalam memberantas korupsi selalu penting. Naik turunnya semangat melawan korupsi ditentukan oleh kemauan politik dan aksi konkret yang ditunjukkan negara, dalam hal ini adalah Presiden, DPR dan berbagai elemen penting lainnya yang ada di pemerintahan. Indonesia menjadi contoh dari sebuah negara yang masih labil, tidak konsisten dan oleh karena itu, grafik kepercayaan publik terhadap pemerintah didalam memberantas korupsi acapkali naik turun karena tergantung dari situasi politik yang menjadi konteksnya.

Akan tetapi peran melawan korupsi bukan semata monopoli negara, meskipun mereka memiliki tingkat tanggungjawab yang terbesar. Masyarakat, sebagai korban korupsi - baik langsung maupun tak langsung- juga selalu dalam posisi yang penting.

ICW, meskipun menghadapi ujian berat, menempatkan perhatian utamanya untuk terus menerus memberdayakan masyarakat, melalui berbagai macam agenda aksi, pendekatan, dan cara yang memungkinkan. Sementara momentum reformasi –meski bersifat kasuistik di daerah tertentu- yang ada di depan mata, terutama memanfaatkan para aktor kunci di lembaga pemerintah yang memiliki komitmen kuat melakukan perbaikan tata kelola, baik pada tingkat nasional maupun lokal, juga dipandang penting untuk digarap.

Kerja utama ICW pada 2015 ini adalah kombinasi dari dua pendekatan diatas, serta memberikan respon secara lebih sistematis terhadap tantangan eksternal yang muncul, terutama karena situasi politik yang tidak mendukung gerakan antikorupsi. Pada satu sisi terus mendorong penguatan posisi tawar masyarakat sipil, pada sisi yang lain berkolaborasi dengan para champions di pemerintahan untuk mempercepat perbaikan.

Pada konteks yang pertama, agenda utama ICW adalah melakukan konsolidasi gerakan antikorupsi di beberapa daerah yang cenderung melemah selama beberapa periode terakhir. Merawat jaringan baru, seperti Pemuda Muhammadiyah, dengan mendorong berbagai macam agenda advokasi berjamaah, menyusun agenda kerja di bidang antikorupsi, termasuk mencanangkan Madrasah Antikorupsi yang diselenggarakan di berbagai kampus dibawah naungan Muhammadiyah. Disamping menggerakkan energi kelompok masyarakat yang potensial, seperti perempuan, untuk turut serta melakukan advokasi antikorupsi, seperti gerakan nasional “SaveKPK”. Gerakan semacam “KainPercaKPK”, Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA), dan Srikandi Antikorupsi merupakan sebuah ikhtiar dan kontribusi ICW untuk memperluas aktor masyarakat sipil yang aktif memberantas korupsi.

Sementara untuk mempersiapkan kader-kader aktivis antikorupsi, Sekolah Antikorupsi (SAKTI) dihelat, dengan harapan tunas-tunas baru, terutama di kalangan pemuda, yang memiliki visi, misi, komitmen yang kuat untuk memerangi korupsi akan tumbuh melalui sebuah proses yang direncanakan. Pendekatan seperti SAKTI ternyata memberikan inspirasi karena berbagai daerah pada akhirnya membuat agenda yang identik, dengan nama yang berbeda-beda.

Penguatan kapasitas masyarakat sipil, terutama NGO antikorupsi di berbagai wilayah, dilakukan dengan memberikan pelatihan dalam berbagai isu, sementara pengembangan instrumen pengawasan pemerintah juga terus dilakukan. Opentender.net, rekamjejak.net, modul budget tracking, dan berbagai tools lainnya telah diproduksi, dengan harapan bisa membantu kerja-kerja advokasi antikorupsi.

Pada konteks kolaborasi dengan aktor negara, ICW menggandeng dan digandeng beberapa instansi, seperti Pemprov DKI, Pemkot Bandung, dan beberapa pemerintah daerah lainnya untuk membantu dan mempercepat reformasi birokrasi. Sistem pelaporan gratifikasi, peningkatan transparansi pengadaan barang dan jasa, kerjasama dengan LKPP adalah salah satu contoh konkret dari usaha itu. Hasilnya memang belum bisa dipetik langsung, akan tetapi hadirnya para champions yang menganggap masyarakat sipil adalah mitra, bukan musuh, merupakan fenomena yang baru, dan memberikan angin segar bagi gerakan antikorupsi di Indonesia.

Adnan Topan Husodo

Koordinator ICW

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan