Laporan Akhir Tahun ICW 2012
Menjadi Motor dan Fasilitator Gerakan Sosial
Pada tahun 2012, keberadaan dan peran civil society dalam pemberantasan korupsi semakin dibutuhkan. Paling tidak ada dua peristiwa besar di mana civil society sangat dibutuhkan. Pertama ketika polisi berupaya melakukan kriminalisasi terhadap KPK, yakni ketika polisi hendak menahan Novel Baswedan dengan dugaan pidana yang terjadi pada tahun 2004 lalu. Upaya Mabes Polri itu tidak bisa dilepaskan dari kasus korupsi driving simulator yang ditangani oleh KPK. KPK menetapkan Irjen Djoko Susilo dan sejumlah pihak lainnya dalam penggelembungan harga pembelian driving simulator. Dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp. 121 miliar itu, polisi sejak awal berusaha menghambat KPK. Saat KPK menggeledah kantor Korps Lalu Lintas, polisi menahan para penyidik KPK sehingga tidak bisa keluar membawa barang bukti. Upaya menghambat KPK dilanjutkan dengan mengusut dugaan penganiayaan berat yang dilakukan Novel Baswedan tahun 2004 saat ia bertugas di Bengkulu. Kasus ini diduga merupakan bentuk kriminalisasi untuk menghambat KPK. Novel adalah polisi yang bertugas di KPK dan menangani kasus driving simulator tersebut. Gerakan #SaveKPK yang digalang oleh civil society bahkan melakukan aksi demonstrasi tengah malam di gedung KPK untuk mempertahankan Novel Baswedan agar tidak ditangkap oleh polisi.
Tekanan yang digalang oleh civil society melalui #SaveKPK bukan hanya membuat Polisi urung menangkap KPK. Tekanan juga dilakukan agar Presiden sebagai atasan Kapolri mau turun tangan agar membuat polisi tidak menghambat penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Melalui sejumlah aksi demonstrasi di berbagai kota dan pernyataan sikap dari berbagai elemen dari civil society, akhirnya Presiden memerintahkan Kapolri untuk menyerahkan penanganan kasus korupsi driving simulator ke KPK. Sebelumnya Polisi bersikeras untuk menangani kasus itu. Tentu mudah diduga, penanganan Polri justru untuk mengamankan kepentingan tertentu, terutama mereka yang turut menikmati hasil korupsi. Hasil lain dari gerakan #SaveKPK adalah ditariknya Rancangan UU KPK. RUU ini hendak merevisi UU KPK yang saat ini ada. Revisi UU KPK itu dilakukan oleh sejumlah politisi sebagai “balasan” terhadap KPK yang menangkap sejumlah politisi karena praktik korupsi. Karena tekanan publik yang besar, akhirnya RUU yang hendak mengamputasi sejumlah kewenangan KPK itu ditarik kembali oleh partai politik di DPR.
Peran penting kedua yang ditunjukkan oleh civil society melalui penggalangan dana. Gerakan Saweran KPK digalang oleh civil society untuk menekan DPR yang membintangi anggaran pembangunan gedung KPK. Kode bintang di dalam APBN adalah tanda untuk kegiatan-kegiatan yang anggarannya belum disetujui oleh DPR. Mengapa DPR menolak pembangunan gedung KPK? Jelas dan sangat terang-benderang, pembintangan anggaran itu adalah wujud dari ketakutan DPR terhadap KPK yang memenjarakan sejumlah politisi yang terlibat kasus korupsi.
Saweran KPK akhirnya mampu mengumpulkan dana dari masyarakat hingga Rp. 403,6 juta. Keberhasilan Saweran KPK tidak diukur dari besarnya uang tetapi justru partisipasi masyarakat dari segala lapisan dan golongan. Anak-anak sekolah, mahasiswa, dan berbagai organisasi masyarakat mengumpulkan uang mereka untuk membantu KPK. Dukungan melalui donasi kepada KPK merupakan bentuk riil dari dukungan masyarakat untuk memberantas korupsi di Indonesia. Saweran KPK mampu memfasilitasi masyarakat sehingga masyarakat tidak hanya menonton tetapi berpartisipasi secara aktif untuk memberantas korupsi dengan menyumbang pembangunan gedung KPK. Gerakan Saweran KPK akhirnya berhasil memaksa DPR untuk menghapus tanda bintang di anggaran pembangunan gedung dan saat ini KPK telah mulai membangun gedung baru.
Peran penting civil society pada tahun 2012 lalu semakin menunjukkan bagaimana pemberantasan korupsi mustahil dilakukan tanpa dukungan riil dari civil society. Bila civil society tidak bergerak, bisa diduga saat ini KPK akan menjadi lumpuh. Bukan hanya karena anggaran dipotong atau pembangunan gedung ditolak, tetapi karena para penyidiknya dikriminalisasi oleh polisi dan kewenangannya diamputasi oleh DPR. Karena civil society, maka kemungkinan terburuk yang harus dihadapi oleh KPK itu tidak terjadi.
Keberhasilan gerakan civil society di atas membuat ICW juga turut berbangga. Terutama karena kasus driving simulator itu berawal dari investigasi yang dilakukan oleh ICW. Selain itu, ICW terlibat aktif untuk mengorganisir gerakan Saweran KPK dan #SaveKPK. Namun demikian, peran civil society ke depan akan semakin diperlukan. Pelemahan KPK atau kriminalisasi terhadap pimpinan atau staf KPK akan terus dilakukan. Semakin berhasil KPK membongkar berbagai skandal korupsi, maka ancaman yang dihadapi akan semakin besar. Musuh terbesar dari KPK dan gerakan pemberantasan korupsi adalah keberhasilan. Semakin kita berhasil mendorong pemberantasan korupsi, maka tantangan yang akan dihadapi di masa-masa mendatang akan semakin besar pula. Sebagai konsekuensinya, tugas ICW dan seluruh komponen civil society lainnya juga semakin besar untuk mempertahankan KPK dan gerakan anti korupsi dalam perang melawan korupsi.
Danang Widoyoko
Koordinator ICW