Lapor Korupsi Bisa di Rumah Kejakgung; Gaji Tertinggi Jaksa Diusulkan Rp 14 Juta
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengaku sering menerima laporan kasus korupsi di rumah dinas maupun di rumah pribadi. Tak diketahui alasan sang pelapor tidak mengirim pengaduan ke Kejagung atau kantor kejaksaan sesuai locus delicti (lokasi kejadian perkara).
Arman -sapaan Abdul Rahman Saleh- menduga bisa jadi langkah tersebut ditempuh karena pelapor merasa khawatir laporannya tidak ditindaklanjuti petugas kejaksaan. Masyarakat tampaknya waswas. Ada kesan ketidakpercayaan pengaduan di kantor (kejaksaan). Mereka memilih melaporkan (adanya korupsi) di rumah, kata Arman saat menggelar press gathering di gedung Kejagung akhir pekan lalu.
Menurut Arman, berkas pengaduan itu tidak diserahkan langsung, tapi diletakkan begitu saja di gardu pengamanan. Kadang-kadang orang asal taruh saja surat (pengaduan) di gardu. Ada yang meninggalkan fotokopi KTP dan tidak, ungkap mantan hakim agung tersebut. Sebagian lagi, kata dia, mengirimkan laporannya lewat jasa pos.
Arman mengatakan tidak membedakan pengaduan korupsi yang disampaikan di rumah maupun di kantor. Semua laporan sampai di tangannya atau minimal ke pejabat kejaksaan yang berwenang menangani. Yang penting, pengaduan itu harus disertai data pendukung yang akurat, termasuk kelengkapan alat bukti.
Dia mengatakan, kekhawatiran masyarakat atas tidak dilanjutkannya pengaduannya harus menjadi pemicu bagi kejaksaan untuk meningkatkan fungsi pengawasan, baik oleh jajaran JAM Pengawasan maupun Komisi Kejaksaan. Ini mutlak dilakukan. Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum harus dibangkitkan, tegas pendekar hukum kelahiran Pekalongan ini.
Dia mengakui, setahun terakhir ini kinerja pengawasan mulai membaik. Sejumlah jaksa (nakal) telah ditindak, termasuk kasus penyimpangan penanganan narkoba. Bahkan, sejumlah jaksa juga diproses di Timtastipikor, ujar Arman.
Dari catatan koran ini, kasus jaksa nakal di antaranya tuntutan ringan kepemilikan 20 kilogram sabu-sabu dengan buntut pencopotan dua jaksa dan pemeriksaan Kajati DKI. Juga penetapan tersangka terhadap dua jaksa yang terindikasi memeras mantan Dirut PT Jamsostek Ahmad Djunaidi.
Selain soal pengawasan, Arman mengakui lembaga yang dipimpinnya masih sarat permasalahan. Di antaranya keterbatasan jumlah jaksa (6 ribu personel) dan belum mandirinya kelembagaan kejaksaan. Menurut dia, khusus soal kemandirian kejaksaan, nanti jika ada revisi UU No 16/2004 (tentang Kejaksaan), kejaksaan diharapkan bisa menjadi institusi yang terpisah dari eksekutif sebagaimana kehakiman.
Permasalahan mendesak lainnya adalah perlunya kenaikan kesejahteraan dari struktur penggajian yang sudah ada. Menurut dia, gaji jaksa yang perlu disempurnakan adalah mereka yang bergolongan menengah ke bawah.
Wakil Jaksa Agung Basrief Arief mengungkapkan hal senada. Sesuai rumusan yang akan diusulkan ke Depkeu, gaji plus tunjangan jaksa yang ideal mulai Rp 4 juta hingga Rp 14 juta. Itu yang akan kami sampaikan, tetapi rumusannya belum selesai, jelas Basrief. (agm)
Summber: Jawa Pos, 24 Juli 2006