Langkah Progresif Berantas Korupsi

Memberantas korupsi itu gampang-gampang susah. Asalkan supremasi hukum benar-benar ditegakkan menurut koridornya, pemberantasan korupsi pun akan gampang. Namun, karena kasus korupsi di negara kita sudah sedemikian kronis, upaya pemberantasannya pun semakin susah.

Mengapa demikian? Sebab, kasus korupsi di Indonesia sudah sangat mengakar di masyarakat. Kultur sosialnya sangat mendukung terciptanya budaya korupsi. Pelaku korupsinya juga sudah dalam bentuk berjamaah (kolektif), semuanya sepakat melakukannya dan dikemas secara rapi sehingga sulit diungkap.

Kolektivitas semacam itu, menurut Satjipto Rahardjo, terbentuk karena para pelakunya merupakan orang-orang yang istimewa atau tidak sembarang orang. Dalam istilah lain dikatakan sebagai penjahat kelas menak (white collar). Biasanya, mereka mempunyai kedudukan, kekuasaan, kewenangan publik, serta koneksitas untuk melakukan korupsi. Karena itu, pantas bila kemudian kejahatan korupsi dilabeli dengan istilah extraordinary crime (kejahatan luar biasa).

Oleh karena itu, diperlukan cara-cara yang luar biasa pula (extraordinary measures) untuk menanggulanginya. Salah satunya dengan menggunakan langkah yang progresif, tidak stagnan dengan menggunakan langkah yang konvensional seperti saat menangani kasus kejahatan biasa.

Komprehensif
Progresif berarti harus dilakukan secara komprehensif, menyeluruh, menyangkut segala aspek yang mendukung terciptanya hukum. Bukan sekadar membuat aturan normatif yang berkualitas, namun diperlukan juga kualitas moral aparat penegak hukumnya.

Selain itu, masyarakat harus mendukung langkah-langkah pemberantasan korupsi tersebut dengan menciptakan bersama budaya antikorupsi.

Upaya itu harus dijalankan secara sinergis. Saling mengisi satu sama lainnya. Jangan sampai muncul ketimpangan yang pada akhirnya akan menghambat gerakan yang sangat mulia tersebut.

Dalam sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini, kita telah dikenalkan dengan rumusan undang-undang pemberantasan korupsi. Sering juga undang-undang itu direvisi dengan alasan untuk melengkapi, bahkan dimaksudkan untuk menambah bobot sanksi agar dapat menimbulkan efek jera terhadap pelakunya.

Dapat kita simak UU No 30/2002, yang isinya sangat dahsyat karena memuat aturan yang dapat menunjang terbentuknya lembaga superbody, sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mampu melakukan tindakan pemberantasan korupsi yang sangat luar biasa.

Namun, di saat kita mempunyai rumusan normatif yang istimewa itu, justru kondisi aparat penegak hukum sedang carut-marut karena muncul kasus mafia peradilan.

Sungguh ironis, di institusi yang sangat mulia seperti Mahkamah Agung (MA) ternyata juga ada kasus jual-beli putusan hukum, sebagaimana kasus suap yang dilakukan Probosutedjo. Kasus tersebut tentu telah mencoreng reputasi penegak hukum. Imbasnya, pada akhirnya, masyarakat akan kecewa dan merasa pesimistis terhadap kelangsungan pemberantasan korupsi.

Wajar jika munculnya kasus itu merupakan tanggung jawab pendidikan hukum. Pertanyaannya, mengapa tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pendidikan hukum? Institusi pendidikan hukum merupakan lembaga yang berkaitan secara langsung membentuk pribadi para praktisi hukum, apakah itu hasilnya berkualitas atau malah tak berkualitas sama sekali.

Sangat perlu bagi para akademisi, ilmuwan, dan juga teoretisi kita untuk secara bersama-sama membenahi kualitas kurikulum dan sistem pendidikan hukum kita, agar kelak dapat membentuk praktisi hukum yang andal, profesional, dan juga harus berakhlak mulia.

Peran mereka ialah memberikan pencerahan kepada para penegak hukum agar tetap berpegang teguh pada keberanian untuk mempertahankan kebenaran sekalipun itu godaan yang dihadapinya sangat berat.

Sinergi antarkomponen tersebut harus dipupuk untuk bersama-sama memerangi penyakit korupsi yang sudah sangat akut, mewabah di setiap lapisan masyarakat kita. Jangan sampai bangsa kita terkenal karena skill korupsinya yang mengagumkan, melainkan bangsa kita harus dikenal karena keindahan moralnya.

*. Zalim Rosyati, mahasiswa Psikologi Universitas Muria, Kudus

Tulisan ini disalin dari Jawa pos, 16 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan