Langkah Catur Istana
Situasi kacau kelembagaan negara akibat perseteruan ”buaya lawan cicak” secara cerdik sedang dimanfaatkan oleh istana.
Hingga kini istana tidak memiliki posisi tegas dan jelas. Bahkan, dari rangkaian peristiwa seminggu terakhir, istana cenderung menjalankan strategi beragam dan kontradiktif. Ibarat main catur, hingga kini langkah-langkah politik istana dalam menyikapi konflik antarlembaga negara itu tidaklah mudah dibaca arahnya dan berpihak ke mana.
Jika dirunut kembali, saat perseteruan KPK–Mabes Polri–Kejagung memanas, istana bersikap dingin, berdalih netral, dan menghormati proses hukum. Sikap istana mulai berubah saat Polri menahan Chandra dan Bibit dan menimbulkan sentimen politik amat negatif dari masyarakat.
Ketika kecaman masyarakat atas penahanan itu meningkat dan dukungan untuk penangguhan penahanan keduanya mengalami kulminasi, istana mengambil langkah taktis, membentuk Tim Delapan. Tim bertugas melacak fakta dan klarifikasi atas proses hukum yang membelit dua komisioner nonaktif KPK.
Pembentukan tim itu disambut positif masyarakat yang sedang marah. Setelah gelar rekaman konspirasi di Mahkamah Konstitusi, Tim mendesak penangguhan penahanan Chandra-Bibit, mendesak mundur pejabat yang terlibat skandal rekaman, dan memanggil pihak-pihak yang terkait perseteruan. Dengan Tim Delapan, istana sedang membela KPK.
Sikap berbeda
Namun, sehari kemudian, sikap istana berbeda. Dalam sidang lanjutan Mahkamah Konstitusi (MK), Menteri Hukum dan HAM—wakil istana—dengan bahasa halus dan berputar-putar berupaya menggugat MK dengan menanyakan, ”apa relevansi pemutaran rekaman plot kriminalisasi KPK oleh Anggodo dengan substansi persidangan yang sedang berlangsung?”
Ketua MK menjawab gugatan itu sehingga pemutaran rekaman gagal dimasalahkan. Dengan menggunakan Menteri Hukum dan HAM, istana mencoba mendelegitimasi langkah MK membuka rekaman yang menyingkap tabir perseteruan ”Buaya lawan Cicak”, tetapi gagal.
Sikap aneh juga ditunjukkan istana terkait pencatutan nama RI-1 dalam rekaman Anggodo. Dengan menggunakan alasan hukum bahwa itu bukan delik aduan, istana menegaskan tidak akan menggugat pencatutan itu.
Ini di luar kebiasaan dalam beberapa kesempatan terakhir ketika Presiden amat sensitif dengan hal-hal yang menyangkut ancaman terhadap diri dan keluarganya. Kita masih ingat kasus pencemaran nama baik anggota keluarga di Ponorogo terkait politik uang dalam kampanye pemilu, SMS bernada ancaman terhadap Ibu Ani Yudhoyono, bahkan publikasi ancaman keselamatan Presiden oleh teroris.
Dalam tiga kasus itu, kubu istana begitu reaktif karena dinilai mengancam keselamatan dan nama baik keluarga Presiden. Bukankah secara substantif pencatutan RI-1 oleh Anggodo juga bermakna ancaman terhadap (nama baik dan kredibilitas) Presiden? Mengapa kali ini istana seolah memaafkan?
Sikap mendua istana juga ditunjukkan kubu pendukung SBY di DPR. Rapat dengar pendapat Komisi III-pemimpin kepolisian justru jadi forum bagi kepolisian untuk mendapat darah segar melawan balik semua kekuatan yang memojokkan. Alih-alih memenuhi harapan rakyat agar Komisi III DPR mampu memperjelas kasus kriminalisasi KPK, yang terjadi justru tepuk tangan anggota Komisi III atas berbagai pernyataan dan keluhan yang dipaparkan Polri. Jadilah forum rapat itu mengoyak rasa keadilan masyarakat. Istana sedang memainkan tangannya di DPR: memberi napas segar kepada Polri karena mayoritas mereka barisan istana, bahkan dipimpin politikus Partai Demokrat.
Politik ganda
Fakta-fakta politik itu menegaskan, istana tidak memiliki sikap kokoh terkait penyelesaian konflik kelembagaan yang sudah mencapai tahap akut. Istana memainkan langkah politik ganda dan menikmati lembaga-lembaga dalam kekuasaannya sedang saling berbantah dan serang. Sebagai misal, perseteruan antara Tim Delapan dengan kepolisian, kejaksaan, dan Komisi III DPR seolah dibiarkan memanas. Bagi publik, situasi ini sungguh aneh.
Langkah-langkah catur istana itu mengesankan bahwa SBY sengaja menghindari keterlibatan langsung dalam situasi konflik yang terjadi. Dengan posisi yang seolah membela semua pihak yang terlibat konflik, SBY ingin menunjukkan dirinya adalah pengayom, baik bagi KPK, DPR, Polri, maupun kejaksaan.
Bahkan, dalam penyelesaian konflik kelembagaan itu pun SBY menghindari menggunakan langsung tangannya, tetapi lebih memilih membentuk Tim Delapan. Selain menjalankan tugas mencari fakta dan klarifikasi proses hukum kriminalisasi KPK, Tim Delapan sekaligus menjadi bemper istana dalam berhadapan dengan masyarakat dan semua lembaga yang sedang berseteru.
Dengan cara ini, Presiden SBY tak akan tersentuh dan bersentuhan langsung dengan arena perseteruan. Jika istana sengaja menciptakan langkah catur itu, drama ”Buaya lawan Cicak” justru sedang memasuki fase baru yang lebih anarkistis. Situasi ini harus diwaspadai karena akan membuka peluang bagi lahirnya pola pengelolaan kekuasaan yang antidemokrasi.
Wawan Mas’udi Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 November 2009