Langkah Arsyad Sanusi Patut Diapresiasi
Meski Majelis Kehormatan Hakim hanya merekomendasikan teguran tertulis karena terbukti melanggar kode etik, Jumat (11/2), Arsyad Sanusi memilih mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi. Arsyad memilih mundur demi menjaga keluhuran, kehormatan, kewibawaan, sekaligus kepercayaan publik kepada MK.
Langkah hakim Arsyad patut diapresiasi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD menilai, keputusan Arsyad menunjukkan sikap kesatria seorang hakim yang membanggakan.
Keputusan mundur itu disampaikan Arsyad, Jumat, seusai Majelis Kehormatan Hakim (MKH) mengumumkan secara terbuka hasil penyelidikan dugaan pelanggaran kode etik oleh Arsyad dan hakim konstitusi Akil Mochtar.
Ketua MKH Harjono mengatakan, Arsyad terbukti melanggar kode etik hakim konstitusi, khususnya prinsip integritas serta prinsip kepantasan dan kesopanan. Adapun Akil, MKH tak menemukan bukti adanya pelanggaran.
Kasus itu bermula dari pengakuan Dirwan Mahmud, calon bupati Bengkulu Selatan yang didiskualifikasi MK. Ia mengaku diperas oleh Neshawaty Arsyad (anak hakim Arsyad) dan Zaimar (adik ipar Arsyad). Dirwan mengaku pernah menyambangi apartemen Arsyad untuk bertemu Nesha, kemudian menggelar beberapa pertemuan untuk membicarakan kemungkinan memenangi perkaranya di MK.
”Tidak ditemukan bukti, hakim Arsyad Sanusi mengetahui dan terlibat dalam rangkaian pertemuan yang kolutif itu. Namun, karena kejadiannya berangkai, sedang Neshawaty adalah putrinya, Zaimar adalah adik iparnya, dan Makhfud adalah bawahannya secara langsung, hakim Arsyad Sanusi dinilai harus bertanggung jawab secara etik atas peristiwa itu,” ujar Harjono.
Atas putusan itu, Arsyad pun mengaku sempat mempertanyakan, terutama terkait tanggung jawab yang harus dipikulnya atas perilaku Makhfud. ”Apakah saya selaku hakim konstitusi wajib mengawasi perilaku Makhfud,” ujarnya.
MA prihatin
Menurut Ketua MK, terhitung sejak 11 Februari 2011, Arsyad akan nonaktif sambil menunggu terbitnya keputusan presiden tentang pemberhentiannya. Saat ini Arsyad sudah tak menangani perkara apa pun. MK juga menyurati Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa dan berharap segera dipilih pengganti yang tepat.
Terkait pengunduran diri Arsyad, Harifin mengaku prihatin. Namun, Harifin memahami itulah risiko yang harus dihadapi seorang hakim. ”Itulah konsekuensi dari seorang hakim. Saya tahu betul beliau sama sekali tidak tahu apa-apa. Hanya karena keluarganya yang melakukan itu, itulah suatu konsekuensi dari pejabat yang diharapkan masyarakat,” katanya. Ketua MA juga mengatakan, MA kini mulai mencari pengganti Arsyad.
Soal kriteria pengganti Arsyad, Mahfud mengungkapkan, ”Yang pasti mengerti tentang ketatanegaraan dan paham konstitusi. Namun, jika spesifikasi, kami merasa di sini sepertinya perlu hukum bisnis.”
Secara terpisah, pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin menilai, langkah Arsyad seharusnya menjadi contoh bagi pejabat lain. Pejabat publik memang sudah seharusnya bertanggung jawab atas perilaku yang tidak pantas yang terjadi kepada dirinya.
”Ini contoh untuk semua pejabat. Menghukum diri sendiri. Mengeksekusi hukuman untuk dirinya sendiri. Ini ciri seorang negarawan. Setia hingga akhir,” katanya.
Menurut Irman, saat ini sudah waktunya bagi Indonesia untuk membangun budaya semacam itu. Untuk itu, ia menyarankan agar setiap pejabat publik yang memilih mundur tidak dikecam, baik melalui kasus hukum maupun opini publik.
”Sampai budaya mundur yang mapan, sebaiknya mereka tidak perlu digebuki. Mundur itu sesungguhnya merupakan hukuman tersendiri yang berat. Kalau deretan kesalahan antre untuk ditimpakan kepada pejabat, tak ada satu pejabat pun yang bersedia mundur,” katanya. (ana)
Sumber: Kompas, 12 Februari 2011