Lambannya Eksekusi Kasus Hendrawan Mesti Dijelaskan [31/07/04]
Keanehan apa lagi ini? Pertanyaan pendek dengan tanda tanya tebal ini, lagi-lagi, harus diajukan kepada aparat hukum. Dalam sidang kasasi 2 Juli 2003 para Hakim Agung memutuskan Hendrawan Haryono, mantan Wakil Presiden Direktur PT Bank Aspac, bersalah dalam penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia senilai Rp 543,4 miliar dan dihukum empat tahun penjara. Siapa sangka eksekusi keputusan itu baru berlangsung setahun kemudian, tepatnya 29 Juli 2004.
Ketidaksigapan aparat hukum itu tentu saja sangat aneh. Begitu sulitkah membuat salinan putusan atau paling tidak petikan putusan kasasi, yang tebalnya hanya 2-3 lembar? Berapa lama waktu dibutuhkan untuk mengirim salinan putusan dari Mahkamah Agung ke Pengadilan Negeri terus ke kejaksaan dan akhirnya ke terpidana? Mengapa eksekusi putusan ditunda-tunda?
Bandingkan kasus Hendrawan itu dengan putusan kasus Akbar Tandjung, yang hanya perlu beberapa hari untuk menyampaikan petikan maupun salinan putusan Mahkamah Agung ke pengadilan, kejaksaan, dan terdakwa. Bahkan dua terdakwa lain dalam kasus penyelewengan dana Bulog itu, yakni Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, dieksekusi empat hari kemudian.
Seperti biasa, aparat hukum tidak tangkas dalam menjelaskan penyebab molornya eksekusi itu. Juru bicara Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman, 27 Juli 2004, mengatakan bahwa kejaksaan belum menerima salinan putusan kasasi Hendrawan. Sebaliknya, petugas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengaku sudah mengirim salinan itu ke kejaksaan 22 Juli 2004, dan diterima oleh bagian tata usaha kejaksaan.
Penyebab keterlambatan dalam hitungan hari itu tak kunjung terang. Apalagi keterlambatan keluarnya salinan putusan dari Mahkamah Agung. Padahal, majelis hakim diperintahkan oleh undang-undang untuk mengirim salinan putusan ke kejaksaan dan pengadilan serta terdakwa untuk dieksekusi paling lambat dua pekan setelah putusan dibacakan. Apa lacur, sejak diputus pada 2 Juli 2003 baru sekitar awal Mei 2004 Direktorat Pidana Mahkamah Agung mengirim salinan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Demi rasa keadilan, aparat hukum--khususnya Mahkamah Agung--wajib menjelaskan keanehan ini kepada masyarakat. Penjelasan klise seperti yang sudah-sudah, bahwa ini masalah teknis belaka, tidaklah cukup dan sama saja dengan membodohi masyarakat. Kendati publik mungkin skeptis, pengusutan soal ini tetap dinanti. Kita ingin tahu sejauh mana para petinggi lembaga-lembaga hukum berkemauan membereskan soal yang sangat mengganggu rasa keadilan ini.
Hendrawan akhirnya memang ditahan beberapa hari menjelang masa pencekalannya habis. Nasibnya tak semujur Samadikun Hartono, mantan Komisaris Utama PT Bank Modern, yang berhasil mengantongi izin berobat dari kejaksaan saat menunggu putusan kasasi perkaranya. Ketika Mahkamah Agung memutuskan Samadikun bersalah menyelewengkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan dihukum empat tahun penjara, kejaksaan tak bisa menahannya. Samadikun keburu raib dan hingga kini aparat tak berhasil menangkapnya kembali.
Nasib Pande Lubis, mantan Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, juga tak semujur Samadikun. Kendati eksekusi putusan kasasinya juga tertunda beberapa bulan, sebab kejaksaan beralasan belum menerima salinan putusan, Pande akhirnya dipenjara.
Kasus-kasus Hendrawan, Samadikun, dan Pande Lubis adalah contoh nyata betapa masyarakat harus mengawasi kerja para penegak hukum yang masih centang-perenang. Apalagi ini menyangkut uang yang sangat besar, yang berarti juga kekuatan besar.
Hendrawan bisa jadi lolos dari jerat hukum bila tak ada media yang memberitakan kasusnya. Begitu pula, Samadikun tak akan tertangkap kembali jika masyarakat tidak terus-menerus mengingatkan aparat bahwa ia masih buron. Kita tak boleh jera dan letih untuk mengingatkan agar kasus-kasus seperti ini tidak menguap begitu saja seperti raibnya Edi Tansil.
Tulisan ini merupakan Tajuk Rencana Koran Tempo, 31 Juli 2004